Minggu, 08 September 2013

TENTANG HADITS




PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN HASAN

1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa hadits adalah jadid, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti khabar, artinya berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Selain itu, hadits juga berarti qarib, artinya dekat, tidak lama lagi terjadi.
Menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “Seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW”, sedangkan menurut yang lainnya adalah “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun ketetapannya.”
Adapun menurut muhadditsin, hadits itu adalah “Segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) ataupun hadits maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).

. KEDUDUKAN HADITS DALAM AL-QURAN

Para ulama sepakat bahwa hadits Nabi adalah sumber hukum Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an, dan umat Islam wajib melaksanakan isinya.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits/sunnah Nabi itu merupakan salah satu sumber hukum islam. Banyak ayat yang mewajibkan umat islam untuk mengikuti Rasulullah SAW dengan cara melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi menjauhi segala larangannya sebagaimana firman Allah:
 “Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu dirahmati” ( Ali Imron: 132)
Bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyalahi Rasul, seperti dalam firman-Nya:
 “Hendaklah berhati-hati mereka yang menyalahi Rasul (tidak menuruti ketetapannya), bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau akan ditimpa azab yang pedih” (An-Nuur : 63)
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa orang yang beriman tidak hanya harus berpedoman dan mengikuti ajaran-ajaran Al-Qur’an, tetapi ia juga harus berpedoman dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Dan menjauhi apa yang dilarang olehnya.
Sementara fungsi hadits atau sunnah sebagai sumber hukum islam yang kedua menurut pan dangan ulama ada tiga, yaitu :
Pertama, hadits berfungsi memperkuat AL-Qur’an. Kandungannya sejajar dengan AL-Qur’an dalam hal Mujmal dan Tafshilnya. Dengan kata lain, hadits dalam hal ini hanya mengungkapkan kembali apa yang terdapat didalam Al-Qur’an, tanpa menambah atau menjelaskan apapun.
Kedua, hadits berfungsi menjelaskan atau merinci aturan-aturan yang digariskan oleh AL-Qur’an, baik dalam bentuk tafshil maupun takhshish. Fungsi yang kedua ini adalah fungsi yang dominan dalam hadits. Sebagai contoh adalah perincian tentang tatacara shalat, zakat, puasa dan haji.
Ketiga, hadits berfungsi menetapkan hukum yang baru yang belum diatur secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Contohnya adalah hadits yang melarang seseorang memadu istrinya dengan bibinya, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
“seorang wanita tidak boleh dikawini bersamaan (dimadu) dengan bibinya atau bersamaan (dimadu) dengan putrid saudara perempuan atau putri saudara laki-laki istri (keponakan istri).”
Ketentuan yang terdapat dalam hadits di atas tidak ada dalam AL-Qur’an. Yang ada dalam AL-Qur’an hanya larangan terhadap suami untuk memadu istrinya dengan saudara perempuan si istri (kakak atau adik perempuannya), sebagai mana disebutkan dalam firman Allah:
 “dan diharamkan bagimu memadu dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang sudah terjadi pada masa lalu.” (Q.S An-Nisa : 23)

MACAM-MACAM HADITS DILIHAT DARI SEGI KUALITAS DAN PENYAMPAIAN

1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut : Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Harus bersambung sanadnya. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya). Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih). Tidak cacat walaupun tersembunyi.
Syarat-Syarat Hadits Shahih
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

1. Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
2. Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya.
3. Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
4. Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits).
5. Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya,
2. Hadits Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
Sementara itu, hadis hasan artinya hadis baik, yang memenuhi persyaratan, tetapi diriwayatkan oleh seseorang yang tidak terialu sempurna kekuatan hafalannya. Seperti halnya hadis sahih, hadis hasan terdiri atas dua bagian, yaitu hasan lt-zatihi (dengan sendirinya) dan hasan lizatihi (ada keterangan pendukung lain), yang didukung dengan adanya hadis yang tidak terlalu lemah menceritakan hal yang sama.

3. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat atau hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih atau hasan, karena periwayatannya yang terputus atau karena perawinya tidak memenuhi persyaratan, hadis dlaif tidak dapat dijadikan sumber hukum dan ketentuannya tidak boleh diamalkan.
Hadis dlaif ini dapat dilihat atas dua cara, yaitu bersambung atau tidaknya sanad dan tercelanya rawi, hadis dlaif yang dilihat dari bersambung atau tidaknya sanad meliputi hadis mursal, munqati, mudallas, muallaq, dan muallal. Adapun hadis dlaif yang disebabkan oleh tercelanya rawi ialah hadis maudlu. matruk, munkar, mudraj, maqlub, mudtarib, musahhaf, muharraf, mubham, majhul. mastur, syadz, dan mukhtalit
 
PERIODESASI SEJARAH ISLAM

Periodisasi Sejarah Islam dimulai dari pertanyaan tentang kapan awal sejarah Islam ?. Ada dua cara pandang yang berbeda. Pertama, Sejarah Islam dimulai sejak proses penciptaan alam. Kedua, sejarah Islam dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW. Bagi pendapat pertama, sejarah Islam tidak dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, ada dua alasan, pertama, kata Islam tidak hanya dipergunakan sejak Nabi Muhammad sebagai rasul, tetapi sudah ada sejak proses penciptaan alam itu. Kedua, jika sejarah Islam dimulai masa Muhammad, berarti ada missing link antara Adam sampai Isa.
Sementara bagi pendapat kedua, sejarah Islam dimulai sejak awal kenabian Muhammad yang dimulai dari masa pra diutusnya Muhammad dengan Pra Islam/masa Jahiliyyah.
Periodisasi Sejarah Kebudayaan Islam menurut A.Hasymi membaginya menjadi 9 periode.Periode tersebut adalah sebagai berikut:
  • Masa Permulaan Islam (dari lahirnya Islam 17 Ramadhan 12 sebelum hijrah sampai tahun 41 H/6 Agustus 610 sampai 661 M).
  • Masa Umayah ( 41-132 H/661- 750 M)
  • Masa Abbasiyah I ( 132- 232 H/750 – 847 M)
  • Abbasiyah II (232 – 334H/ 847 – 946 M)
  • Abbasiyah III ( 334 – 467 H/ 946 – 1075 M)
  • Abbasiyah IV (467 – 656 H/1075-1261 M)
  • Mugholiyah (656 – 927 H/ 1261- 1520 M)
  • Usmaniyah (927 – 1213 H/ 1520 – 1801 M)
  • Kebangkitan Baru (1213 H/ 1801 M) sampai awal abad XX
Sebagian ahli sejarah membagi periodesasi Sejarah Kebudayaan Islam menjadi :

1. Periode Klasik (650 – 1250) yang meliputi :
  • Masa Kemajuan Islam I (650 – 1000)
  • Masa Disintegrasi (1000 – 1250)
Periode Klasik (650-1258) terbagi menjadi masa Kemajuan Islam I (650-1000) dan Masa Disintegrasi (1000-1250). Masa Kemajuan Islam I merupakan masa perluasan, integrasi dan keemasan Islam, dimulai sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai dihanguskannya Baghdad oleh Hulagu Khan. Sehingga masa ini meliputi; masa Nabi Muhammad Saw, Masa Khulafaurrasyidin, Masa Dinasti Umayyah Timur atau Umayah Damaskus, dan masa Dinasti Abbasiyah. Sedangkan masa disintegrasi yang dimaksudkan sebagai masa terjadinya pemisahan beberapa wilayah Abbasiyah dan tidak kuasanya para sultan dibawah tekanan para tentara pengawal.

2. Periode Pertengahan ( 1250 – 1800) yang meliputi :
a. Masa Kemunduran I ( 1250- 1500)
b. Masa Tiga Kerajaan Besar (1500-1800) terbagi :
  • Fase Kemajuan (1500-1700)/Masa Kemajuan II
  • Fase Kemunduran (1700-1800)/Fase Kemunduran II
Periode Pertengahan (1258-1800), yaitu masa jatuhnya abbasiyah Baghdad sampai penghujung abad tujuhbelas. Periode ini meliputi Masa Kemunduran I (1250- 1500), yaitu masa Jengis Khan menghancurkan beberapa dinasti Islam kemudian mencapai puncaknya dengan dihancurkannya Baghdad oleh cucunya Hulagu Khan. Masa ini disentralisasi dan disintegrasi dunia Islam meningkat sehingga menghilangkan system khilafah secara formal. Setelah berlangsung hampir dua setengah abad, dunia Islam menemukan kemajuannya dengan munculnya beberapa dinasti yang memberi harapan bagi kemajuan Islam. Masa ini disebut sebagai masa Tiga Kerajaan Besar (1500-1800), yaitu Usmaniyah diTurki, Syafawiyah di Persia dan Mughal di India. Masa ini mengalami dua fase, yaitu Fase Kemajuan (1500-1700) disebut masa Kemajuan II, dan fase Kemunduran (1700-1800) disebut masa Kemunduran II.
Fase Kemajuan yang diraih selama dua abad yaitu munculnya sultan-sultan yang mampu mengangkat harkat dan martabat dinasti. Tapi masa itupun juga mengalami kemunduran karena beberapa hal, 1. Tidak kredibelnya para sultan, 2. Serangan dari dinasti Islam lain, 3. Serangan agama lain seperti Hindu terhadap Mughal di India, dan 4. Serangan dari bangsa lain.

3. Periode Modern (1800 M)
Periode Modern (1800 M) disebut sebagai masa Kebangkitan Islam. Masa tersebut sebagai akibat dari terbukanya mata dunia Islam atas kemunduran dan ketertinggalan Islam dari Dunia Barat. Para penguasa muslim mencari cara untuk memunculkan balance of power dalam rangka mengangkat harga diri umat yang hilang. Maka dari itu muncullah gerakan melawan penjajahan dan pemikiran-pemikiran untuk kemajuan Umat Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar