Hiruk pikuk
kota besar. Jalan raya yang ramai oleh kendaraan. Lalu lintas yang sibuk. Semua
kurasakan dihari pertama ku menginjakkan kaki dikota yang belum pernah
kukunjungi. Butuh alasan yang kuat bagiku untuk berada dikota. Ibu melarangku
karena aku bukan seorang yang bisa melakukan hal sendiri, harus ada seseorang
yang mendampingiku. Dan bukan hanya itu, alasanku ke kota yang terdengar sepele
oleh anggota keluargaku lainnya. Mencari teman,bukan sahabatku yang sudah lama
menghilang,bukan,dia bukan menghilang,ia pergi ke kota yang menurutku sangat
dadakan karena ia tidak pernah menceritakan padaku tentang rencana itu
jauh-jauh hari. Setelah ia pergi ke kota ia tidak pernah sekalipun
menghubungiku, dan aku tidak menemukan jejaknya sama sekali. Pergi jauh dari
kampung kelahiranku bukanlah hal yang biasa bagiku, aku seorang yang sangat
pendiam dan pemalu. Aku bisa akrab dengan Nania, sahabatku yang pergi ke kota,
itu karena Nania lah yang memulai. Ia baik,ceria dan sangat cerewet dan hangat.
Ketika ia berbicara seakan-akan bunga-bunga mengelelinginnya. Aku senang
mendengar semua ocehannya yang berisik, ocehannya yang penuh dengan tawanya
yang lepas. Aku merindukannya, aku merasa kehilangan sebagian dari kehidupanku
yang sangat berharga, karena itulah aku bertekad untuk bertemu dengannya, walau
begitu aku tidak tahu harus bagaimana, aku bahkan tidak tahu dimana ia tinggal
dan dimana ia meneruskan masa depannya, kuliah kah? Atau kerja?, hem,
sepertinya ia kuliah, keluarganya yang kaya tentu saja mampu membiayai kuliah
Nania, dan ia juga perna mengatakannya padaku, bahwa ia mau jadi dokter, walau
ia tertawa lepas sehabis mengatakan impiannya.
“aku bodoh dalam matematikan
apalagi ipa, tapi entah kenapa aku ingin sekali jadi dokter,pakai pakaian putih,dan
semua-semuanya terlihat keren,hahaha,, mimpi apasih aku..” ocehannya kesekian
kalinya.
“kamu bisa.. jika kamu
berusaha,dan..” aku menyemangatinya
“dan jikalau pun gagal,setidaknya
aku berusaha,ya kan?” ia memotong pembicaraanku,bukan ia hanya melanjutkan teks
yang sama setiap Nania mengatakan impiannya.
Kami berdua tertawa lepas. Indah.
“lalu?” ia menghentikan tawanya.
Dan menatap serius padaku.
“lalu...?” aku berpikir sejenak.
“lalu..kamu...Cintaka...impian
kamu apa?” aku tertegun sejenak. Aku bahkan tidak tahu jawaban apa yang akan ku
berikan,bukan,bukan tidak tahu,aku bahkan tidak memikirkan impian aku.
Aku
membuka jendela pagi waktu itu. silau cahanya menyapa wajahku. Aku mulai bergegas
pergi bekerja. aku tinggal dengan Manda syarah, adik sepupu jauh Ibu. Beliau
senang ketika mendengar aku akan mencari peruntunganku dikota. Ia menyambut
baik rencanaku. Ia merasa senang karena akan ada teman yang menemaninya
dirumah. Ia hanya tinggal berdua dengan suaminya, terkadang suami Manda selalu
dinas luar kota,alhasil ia sering sendiri.
“Cin,sarapan
dulu,”
“ya,Manda,Terimakasih”
Aku
memilih bekerja sambil kuliah, bukan kerja yang terlalu berat, menjadi kasir
disebuah kafe. Kuliahku,aku mendapatkan bea siswa disebuah sekolah tinggi yang
menerima mahasiswa dan mahasiswiny kuliah malam,tahu? Tentu saja para mahasiswa
dan mahasiswinya kebanyakan adalah seorang pekerja. Aku tidak sendiri. Namun
walau begitu,aku belum mendapatkan teman akrab,aku masih saja menutup diri.
“belum
dapat teman?” Manda tertawa mendengar ceritaku.
“Manda..itu
bukanlah hal yang mudah,jadi.” Aku memanyunkan mulutku.
“ya,ya
Manda paham, Manda juga begitu dulunya”
“benarkah?”
tanya ku penasaran.
“ya,tapi
sekarang Manda ada cintaka disini, jadi Manda sudah ada
teman,hahaha,bahagianya” Manda tertawa lepas dengan bangga.
“jadi
maksudnya itu...heeumm” aku lesu.
Nania.
Ia teman terbaik yang pernah kumiliki. Aku belum pernah menemukan sosok unik
seperti dirinya,mungkin bahkan tidak tergantikan. Ia selalu ceria bahkan aku
bisa mengatakan ia tidak pernah mengalami masalah apapun. Namun biasanya
orang-orang bilang karakter seperti dia sangat ahli menyimpan masalah
mereka,mereka selalu terlihat ceria agar orang-orang terdekat tidak menanyakan
hal aneh tentang masalahnya. Suatu hari aku melihat ada hal yang berbeda dengan
dirinya. Ketika ia bersamaku, ia selalu menumpahkan semua ocehannya,bahkan
tertawa. Namun saat aku meniggalkan ia sebentar pergi ke toilet dai kejauhan
tiba-tiba wajanya berubah 180 derajat. Wajanya sendu,senyumnya tidak ada,ia
seperti bukan Nania yang kukenal. Namun bodohnya aku, aku tidak menanyakan
apapun padanya. Aku egois, aku ingin dia selalu ceria dan bahagia bersamaku,
aku seperti takut kehilangan dirinya yang ceria dan takut melihat wajahnya yang
sendu itu.
“Cintaka?
Ada apa,kamu agak pendiam” Nania yang menanyakan gelagatku yang aneh.
“hemm..bukan
apa-apa” aku berusaha menghindar.
“hei..kamu
tu gak bisa bohong dari Miss Nania,hemm” ia membanggakan dirinya.
“aku
bilang aku tidak apa-apa” aku tertegun.
“cintaka..jawabanmu
dingin banget, kalau ada masalah apa-apa,jangan ditutupi, cerita dengan
sahabatmu ini..aku pas.”
“lalu?...”
nadaku sedikit tinggi
“lalu...?”
Nania terdiam sejenak “ya..aku akan berusaha membantumu menyelesaikan
masalahnya..”
“lalu
bagaimana denganmu?” suara ku bergetar.”jika kamu dalam masalah apa kamu juga
kan menceritakannya padaku dan berharap aku bisa membantumu..apa kamu juga akan
begitu?”
“hehe..tentu
saja..” Nania tertawa “kenapa jadi tegang begitu sih? Hem?”
“kalo
begitu..ceritakan masalahmu.. apa yang membuatmu sendu dan kelihatan murung?”
aku menatapnya dingin “ceritakan padaku,jika aku sahabatmu?”.
bersambung ...
Sayap Yang Hilang
Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar