Rabu, 09 September 2015

Akane Menemukannya Part II


Tidak ada lagi air mata yang basah dipipi. Air mata serasa sudah kering. Hidupku tetaplah terus berlanjut, ibu juga demikian, ia mencari pekerjaan bahkan double, untuk biaya hidup kami berdua. Senyum ibu perlahan kembali, ibu selalu memberiku cerita-cerita lucu. Namun senyumku sama sekali tidak terpancar dengan indah.

“ibu, berhenti bercerita seperti itu, tidak lucu” komentar itu yang selalu kukatakan, aku tahu kata-kataku itu tak seharusnya terucap,namun.

“ya,ibu tahu,hehehe” tapi ibu tetap tersenyum.

“maaf” aku hanya bisa menunduk.

Aku tidak bisa menepati janji ayah, hanya bisa mencegah air mata ini agar tidak terus-terus hadir menemani hariku. Cahaya? Aku tidak menemukannya, atau mungkin memang belum. Anak pemurung? Aku berusaha untuk tidak terus-terus berdiam diri, tapi bukan berarti aku menjadi periang seperti sebelum ayah meninggalkan kami.
                
Ibu? Ibu giat bekerja. dari mulut ibu tidak kudengar lagi ibu menyebut hal-hal tentang ayah, ibu seperti melupakan ayah, atau ibu berusaha agar aku tidak sedih. ibu bekerja dari pagi hingga pulang malam bahkan tidak jarang ibu pulang larut. Hari-hari ku sepi dirumah, sering ku meminta ibu untuk berhenti bekerja ekstra seperti itu.

“ini untuk masa depanmu, ibu harus mencukupi kebutuhan kita dan tabungan untuk kuliahmu”

“tapi,hanya ada aku dan ibu, semua juga sudah lebih dari cukup,” ingin aku mengatakan ‘apa ibu tidak kasihan melihatku terus-terusan sendiri?’ tapi tidak bisa kusampaikan, aku tidak ingin berkesan seperti anak manja, aku bukan akane yang manja ketika ada ayah dulu.

“tidak bisa begitu akane, ibu harus berusaha lebih dan lebih,mm” ibu membelai pipiku. “oia, sekolahmu lancarkan? Nilaimu bagaimana?”

“semua baik-baik aja”   

“kamu tetap harus juara, apalagi kamu tahun depan UN, dari sekarang kamu harus lebih giat belajar dan dapatkan bea siswa ke luar negeri,yahh”

“apa itu impian ibu”

“akane,tentu saja”

“hm..baiklah”

Aku tidak tahu apa yang menjadi impianku yang sesungguhnya. Jika itu memang menjadi impian ibu,maka itu juga impianku. Seperti ayah, aku tidak tahu apa yang menjadi warna favoritku, ayah selalu memberiku warna merah dan merah, itu membuatku menyukai warna merah,namun ibu? Beliau selalu memberiku warna lain, kata ibu, aku juga harus menyukai warna lainnya.

Mungkin aku seperti robot,tidak punya rasa dan jiwa. Namun aku melakukan apa yang bisa kulakukan. Menulis,membaca, bahkan juga menggambar. Aku menulis semua yang aku rasa, rasa rinduku,rasa sedihku, rasa senang yang suda hampir kulupakan,rasa kesal,harapan-harapan agar ibu cepat pulang dari kerja,semua kutulis, namun tak semua kukatakan pada ibu. Waktu kami berdua benar-benar sedikit.

Di sekolah aku tidak mempunyai teman yang bisa kuajak bicara. Hingga sampai pada kelas dua, aku dicari oleh seseorang yang membutuhkanku. Mereka bilang ingin memintaku menggambar sebuah komik untuk mading Rohis mereka. Aku awalnya menolak, namun lagi dan lagi mereka datang, dan aku terus menolak.
               
“kamu, tidak pernah bawa temanmu main kerumah kita”tanya ibu sambil mengambil nasi goreng untuk sarapan pagiku.

“tidak pernah”

“kenapa? Apa kamu tidak punya teman?” 

Aku hanya diam.

“kalau merasakan kesepian,ajak temanmu sesekali main kerumah kita-”

“akane berangkat dulu” aku belum sempat menyuap satu sendok nasipun, selera makanku tiba-tiba hilang. Aku pergi dan menyalami ibu dengan cepat.      

“akane...akaaaa...”

Meski aku terlihat tidak suka dengan perkataan ibu, tapi itu selalu menjadi pikiranku.

“akane”

“ya,”

“kami ingin kamu bisa mengabulkan permintaan kami? Bagaimana? Kali ini mau ya?”
Intan dan sri memohon padaku lagi. Aku juga sedikit merasa bersalah melihat mereka terus-terusan memohon. Tiba-tiba perkataan ibu tadi pagi terlintas.

“oke, tapi ada satu syarat”

“syarat? Apapun itu kami penuhi?”

Sepulang sekolah aku bersama dengan intan dan sri membuat komik muslimah untuk mading Rohis mereka di rumahku. Aku sempat merasakan ke-kikuk-an dalam melayani mereka. Tapi mereka tidak terlalu menanggapinya.
               
“waah..rumahnya akane besar, bagus juga ya sri” intan berseru.

“iya,,ya ntan” ikut mengangguk sambil menghabiskan cemilan

“oia..mana ibumu akane?” 

“ibuku kerja,pulangnya malam, jadi kalian jangan sungkan” 


Mereka melihat sekilas ekspresi tidak senangku. Semenjak itu mereka tidak menyinggung ataupun bertanya tentang kehidupan pribadiku.

bersambung ..
Akane Menemukannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar