Tidak ada lagi air mata yang
basah dipipi. Air mata serasa sudah kering. Hidupku tetaplah terus berlanjut,
ibu juga demikian, ia mencari pekerjaan bahkan double, untuk biaya hidup kami
berdua. Senyum ibu perlahan kembali, ibu selalu memberiku cerita-cerita lucu.
Namun senyumku sama sekali tidak terpancar dengan indah.
“ibu,
berhenti bercerita seperti itu, tidak lucu” komentar itu yang selalu kukatakan,
aku tahu kata-kataku itu tak seharusnya terucap,namun.
“ya,ibu
tahu,hehehe” tapi ibu tetap tersenyum.
“maaf”
aku hanya bisa menunduk.
Aku
tidak bisa menepati janji ayah, hanya bisa mencegah air mata ini agar tidak terus-terus
hadir menemani hariku. Cahaya? Aku tidak menemukannya, atau mungkin memang
belum. Anak pemurung? Aku berusaha untuk tidak terus-terus berdiam diri, tapi
bukan berarti aku menjadi periang seperti sebelum ayah meninggalkan kami.
Ibu?
Ibu giat bekerja. dari mulut ibu tidak kudengar lagi ibu menyebut hal-hal
tentang ayah, ibu seperti melupakan ayah, atau ibu berusaha agar aku tidak
sedih. ibu bekerja dari pagi hingga pulang malam bahkan tidak jarang ibu pulang
larut. Hari-hari ku sepi dirumah, sering ku meminta ibu untuk berhenti bekerja
ekstra seperti itu.
“ini
untuk masa depanmu, ibu harus mencukupi kebutuhan kita dan tabungan untuk
kuliahmu”
“tapi,hanya
ada aku dan ibu, semua juga sudah lebih dari cukup,” ingin aku mengatakan ‘apa
ibu tidak kasihan melihatku terus-terusan sendiri?’ tapi tidak bisa
kusampaikan, aku tidak ingin berkesan seperti anak manja, aku bukan akane yang
manja ketika ada ayah dulu.
“tidak
bisa begitu akane, ibu harus berusaha lebih dan lebih,mm” ibu membelai pipiku.
“oia, sekolahmu lancarkan? Nilaimu bagaimana?”
“semua
baik-baik aja”
“kamu
tetap harus juara, apalagi kamu tahun depan UN, dari sekarang kamu harus lebih
giat belajar dan dapatkan bea siswa ke luar negeri,yahh”
“apa
itu impian ibu”
“akane,tentu
saja”
“hm..baiklah”
Aku
tidak tahu apa yang menjadi impianku yang sesungguhnya. Jika itu memang menjadi
impian ibu,maka itu juga impianku. Seperti ayah, aku tidak tahu apa yang
menjadi warna favoritku, ayah selalu memberiku warna merah dan merah, itu
membuatku menyukai warna merah,namun ibu? Beliau selalu memberiku warna lain,
kata ibu, aku juga harus menyukai warna lainnya.
Mungkin aku seperti robot,tidak punya rasa dan jiwa. Namun aku melakukan apa yang bisa
kulakukan. Menulis,membaca, bahkan juga menggambar. Aku menulis semua yang aku
rasa, rasa rinduku,rasa sedihku, rasa senang yang suda hampir kulupakan,rasa
kesal,harapan-harapan agar ibu cepat pulang dari kerja,semua kutulis, namun tak
semua kukatakan pada ibu. Waktu kami berdua benar-benar sedikit.
Di
sekolah aku tidak mempunyai teman yang bisa kuajak bicara. Hingga sampai pada
kelas dua, aku dicari oleh seseorang yang membutuhkanku. Mereka bilang ingin
memintaku menggambar sebuah komik untuk mading Rohis mereka. Aku awalnya
menolak, namun lagi dan lagi mereka datang, dan aku terus menolak.
“kamu,
tidak pernah bawa temanmu main kerumah kita”tanya ibu sambil mengambil nasi
goreng untuk sarapan pagiku.
“tidak
pernah”
“kenapa?
Apa kamu tidak punya teman?”
Aku
hanya diam.
“kalau
merasakan kesepian,ajak temanmu sesekali main kerumah kita-”
“akane
berangkat dulu” aku belum sempat menyuap satu sendok nasipun, selera makanku
tiba-tiba hilang. Aku pergi dan menyalami ibu dengan cepat.
“akane...akaaaa...”
Meski
aku terlihat tidak suka dengan perkataan ibu, tapi itu selalu menjadi
pikiranku.
“akane”
“ya,”
“kami
ingin kamu bisa mengabulkan permintaan kami? Bagaimana? Kali ini mau ya?”
Intan dan sri memohon padaku
lagi. Aku juga sedikit merasa bersalah melihat mereka terus-terusan memohon.
Tiba-tiba perkataan ibu tadi pagi terlintas.
“oke,
tapi ada satu syarat”
“syarat?
Apapun itu kami penuhi?”
Sepulang
sekolah aku bersama dengan intan dan sri membuat komik muslimah untuk mading
Rohis mereka di rumahku. Aku sempat merasakan ke-kikuk-an dalam melayani mereka.
Tapi mereka tidak terlalu menanggapinya.
“waah..rumahnya
akane besar, bagus juga ya sri” intan berseru.
“iya,,ya
ntan” ikut mengangguk sambil menghabiskan cemilan
“oia..mana
ibumu akane?”
“ibuku
kerja,pulangnya malam, jadi kalian jangan sungkan”
Mereka
melihat sekilas ekspresi tidak senangku. Semenjak itu mereka tidak menyinggung
ataupun bertanya tentang kehidupan pribadiku.
bersambung ..
Akane Menemukannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar