Aku bangun setengah jam sebelum adzan shubuh
berkumandang. Aku menyiapkan sarapan untukku dan untuk ine yang juga teman satu
apartemen denganku. Kami tinggal di sebuah apartemen yang cukup luas untuk
berdua. Jarak apartemen yang dekat dengan tempat kerja juga kuliah.,Benar-benar
sempurna untukku namun tidak terlalu begitu buat ine, walau begitu ia tidak mau
pindah apartemen yang lebih dekat dari tempat kerja dan juga lebih bagus.
“aku gak mau pisah darimu, kamu
kan tahu aku selalu denganmu sejak kecil, bahkan orang tuaku mau mengizinkanku
keluar kota mencari sesuap nasi dan menuntut ilmu hanya karena aku bareng
kamu,” ia mengatakannya sambil memanyunkan mulutnya yang kecil itu.
Aku hanya bisa tertawa kalau
sudah mendengar ocehannya itu.
“ya,ya,ya” aku hanya bisa
membenarkannya.
Ia memang manja tapi ntah kenapa aku tidak begitu
mempermasalahkannya. Teman-teman di SMA ku dulu sering menertawai ine yang
dianggap kayak anak bayi kalau dekat-dekat denganku, dan aku dianggap kayak
nenek yang selalu cerewet namun tetap memanjakan ine. Awalnya tidak
menyenangkan ditelinga dan dihati mengenai julukan itu, namun lama-kelamaan
sudah seperti angin lalu, toh setiap ada orang yang berkomentar seperti itu,
ine malah semakin manja.
Sarapan sudah siap. Aku
meletakkannya diatas meja. Aku siap-siap mandi dan sholat ketika sudah
terdengar adzan.
“kayla...kaa—aayy... udah adzan
yaaah” ine bangun dengan setengah mata tertutup dan mulut yang monyong dan
rambut yang kusut.
“iya..ayo bangung gih” .Ine tidak
mengatakan apa-apa selain mengangkat jarinya “ok” dan dengan senyum anehnya.
Aku yakin ia pasti sangat mengantuk.
Hari-hari selalu berjalan seperti
itu. Aku membuat sarapan. Nanti giliran ine yang menyiapkan makan malam, kami
selalu mengerjakan tugas kuliah bersama karena kami satu kampus walau beda
tempat kerja. Tempat kerja ine lebih bagus, ia bekerja sebagai seorang admin
disebuah perusahaan internasional, aku pernah melamar disana tapi tidak lulus
karena aku kurang lancar berbahasa inggris. Jadinya aku bekerja sebagai seorang
koki disebuah kafe yang dekat dengan distrik kota tempat kami tinggal.
Walau
sebenarnya tidak terbesit dihatiku untuk menjadi seorang koki, kemampuan
memasakku juga tidak begitu bagus, namun sang manajer yang meng-interviewku
yakin aku bisa, padahal dari awal aku hanya ingin menjadi seorang kasir. Sebenarnya aku juga terkadang merangkup menjadi kasir, mm bagaimana
mengatakannya ya, bisa dikatakan aku asst-manajer jadi terkadang aku dipercaya
untuk mengelola kafe. Bagiku itu sudah lebih dari cuku, rezeki tiap orang
berbeda, aku sempat berkecil hati, namun seiring berjalanny waktu aku mulai
sadar, bahwa sebuah pekerjaan itu yang penting halal dan kita melakukan yang
terbaik dari yang kita miliki.
“hari ini, aku kayaknya lembur,
jadi gak bisa siapin makan malam deh”
“oh gitu..” aku sibuk menuangkan
air putih digelasku. “kalo gitu , aku beli makan malam aja deh, rencananya hari
ini aku mau cek pembukuan, lagi-lagi manajer keluar kota jadi harus aku yang
urus, dan sepertinya juga pulang malam” aku cengar-cengir melihatnya.
“benarkah? Heuumm..menyedihkanya
kita” ia menunjukkan gurat wajah menyedihkannya kepadaku. Itu terlihat
menggelikan bagiku.
Semua urusan kafeku selesai lebih
cepat dari dugaanku. Kafe sepi, jadi aku bisa lebih fokus pada pembukuan, bisa
dikatakan menyenangkan namun sebenarnya tidak.
Aku menikmati perjalanan sore
menuju malam disebuah jembatan yang jarangku lalui. Biasanya aku melewati rute
yang lebih dekat untuk bisa lebih cepat sampai diapartemen, tapi kali ini entah
kenapa rasanya ingin melihat suasana sore dijembatan itu. Jembatan rakyat
namanya.. karena jembatan yang sangat luas, banyak orang yang menikmati
jingganya sore untuk sekedar refereshin, ada pasangan muda yang mendorong
kereta bayinya. Aku hanya sendiri, merasakan angin sore itu. Aku sedikit ingin
lebih lama. Aku berhenti sejenak dan kuletakkan kedua tanganku dipegangan.
“kayla” suara seseorang yang
tidak terdengar asing, namun aku tidak tahu siapa. Aku menoleh ke arah sumber
suara itu.
“an..andre” aku terkejut melihat
andre berada disini. “bu..bukannya..kamu di Amerika.. kenapa bisa disini.
Andre tertawa senyum. Terlihat
diwajahnya semu merah, atau hanya karena sinaran matahari sore?
Ia berjalan mendekatiku, ia
memakai kemeja biru dengan celana hitam dan memasukkan kedua tangannya kedalam
saku.
“aku memang kuliah di Amerika dan
sudah beberapa tahun ini tinggal disana tapi...” kata-katanya terhenti, ia
memandangku sekilas, lalu tersenyum dan kembali menatap lurus kearah sungai “ini
kan tanah airku, jadi sah-sah aja dong kalau aku disini”
“benar juga sih.. tapi kenapa
tiba-tiba ada disekitar ini? dan.... apa kamu lagi liburan kuliah?” aku
langsung terdiam mendengar pertanyaanku terakhir,aku malu.
“hemmm..ya, bisa dibilang begitu”
“oo...ooh” aku mengangguk-ngangguk.
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“bagaimana kab...” aku dan andre
serentak mengatakannya. Kami tertawa.
“kamu dulu aja..” andre
mempersilahkanku.
“baiklah, bagaiamana kabarmu? Apa
di Amerika menyenangkan?”
“aku baik.. di Amerika tidak terlalu
buruk.... walau...yaa.. sangat susah menempatkan diri dilingkungan yang cocok
disana.. untuk tahun pertama aku benar-benar payah.. tapi untunglah ada orang
baik.. jadi aku tidak risau lagi.. aku sudah mulai betah disana.. tapi....” ia
berhenti, cukup lama.
“ta..pii?”
“tapi.. tidak ada tempat yang
lebih nyaman dan baik selain rumahku...”
“hemm..benar juga..”
“bagaiamana denganmu?”
“aku baik-baik aja.. semuanya
lancar.. pekerjaanku..kuliahku juga..”
“owhh... syukurlah..oia
ngomong-ngomong..sebentar” ia lalu mencari sesuatu.”naah. ini dia...” ia
menjulurkan kotak hitam yang berukuran kecil dan berpitakan warna merah.
“selamat ulang tahun”
Aku terperangah dengan apa yang ia
ucapkan barusan.
“u...u..ulang tahun?” aku
berfikir sejenak. Memangnya sekarang tanggal berapa?
“hari ini kan tanggal 16 Januari,
hari ulang tahunmu,”
“aaaahh.. iyaaa.aku lupa” aku
menepuk jidatku, lagi-lagi aku lupa dengan hari yang kebanyakan orang
menganggapnya adalah hari istimewa. “padahal aku sudah buat tanda dikalender,
tapi tetap aja lupa sama ulang tahun sendiri..” aku tetawa kecil, aku
benar-benar terlihat bodoh.
“kamu ini..benar-benar” dia
menepuk kepalaku dengan hadiah yang belum sempat ku terima. Aku sedikit
terkejut, bukannya marah, aku malah merasakan senang. “ini.. hadiah untukmu..”
“untukku.. benar?”
“iyaaa..benar”
Aku menerimanya dengan desir hati
yang tidak menentu ini. rasa ini muncul lagi sekian lama ku kubur semenjak
andre memutuskan meneruskan kuliahnya di Amerika. Aku tidak pernah mengatakan
kepadanya atas perasaanku padanya dulu ketika di SMA, bahkan aku tidak berusaha
menunjukkan padanya bahwa aku memiliki rasa padanya. Walau tetap saja orang lain
bahkan cukup mudah membaca gerak-gerik anehku jika dekat dengan andre. Namun
berbeda dengan sekarang, aku cukup tenang berbicara padanya dan berusaha
bersikap seperti teman lama yang bertemu lagi.
“boleh aku buka sekarang?”
bersambung ...
Ketika January Berulang Tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar