Perlahan mataku terbuka. Hal yang
pertama kali ku lihat adalah langit-langit kamar. Tapi ini bukan kamarku.
“kau sudah sadar, syukurlah” suara lelaki yang sangatku kenal. Hanya satu-satunya yang bisa ku temui atau kuajak makan selain nenek. Ia adalah sepupu laki-lakiku yang baik. Ia tidak hadir saat warisan di bacakan. Ia dalam perjalanan keluar kota. Tapi aku tidak menyangka.
“aku benar-benar hilang akal, melihat tanganmu sudah berdarah-darah dan kau tidak sadarkan diri, aku sampai tidak mengerti apa yang kau pikirkan sampai berbuat seperti itu”
“papamu”suaraku lirih, merasa terasa lemas. aku ingat saat itu papanya dilarikan ke rumah sakit juga. Mungkin itu karena perkataanku yang mengintimidasinya.
“owh, papa, papa sudah dibawa pulang. Beliau baik-baik saja”
“oh, nona anda sudah sadar. Mohon maaf mas, saya harus periksa dulu pasiennya”
“baik, dokter" laki-laki itu seger berdiri"Aku keluar dulu” bisiknya padaku.
Dokter mulai menanyakan apa aku
masih merasa pusing. Karena aku kehabisan banyak darah. Untunglah aku segera
dibawa rumah sakit sehingga masih bisa tertolong.
**
Aku berjalan-jalan di taman rumah sakit. sepupuku menemaniku sambil mendorong kursi rodaku. Aku melihat matahari sudah hampir diujungnya.
“aku mengira, setelah aku mengatakan bahwa aku akan memberikan semua harta warisan untuk bibi dan paman saja, mereka akan mulai menyayangiku dan ingin terus bersamaku, minimal mereka menganggapku ada”
“lalu apa yang kamu dapatkan?”
“mereka malah marah padaku. Aku tahu kalimatku seharusnya bisa lebih baik lagi dari itu”
“memang kata-kata apa yang kamu sampaikan? Ayo ceritakan apa yang terjadi pada hari itu?”
“apa mereka tidak memberi tahumu?”
Dia terdiam.
“setelah ku pikir, aku ingin menghabiskan harta warisan itu sendiri”
“bahkan kamu tidak ingin memberikanku?” katanya sambil bercanda. Aku tertawa.
“tidak. Tidak akan”
“keterlaluan.” Tapi ia mengatakannya dengan tawa lepas.
“aku ingin mendirikan sebuah yayasan panti asuhan. Aku ingin mereka tetap merasakan hidup layaknya orang-orang yang mempunyai keluarga. Diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang” dalam kalimat itu aku terus membayangkan wajah nenek yang menghabiskan sisa hidupnya untuk merawatku.
“hoho... kalimat itu keluar dari orang yang telah melakukan hal buruk pada dirinya”
“apa kau tidak senang?”
“maaf,maaf. Tapi aku senang, hal itu adalah hal yang sangat baik. Kamu juga harus janji padaku untuk terus bertahan hidup, jangan melakukan hal buruk itu lagi, jika kamu memang ada masalah jangan memendamnya sendiri lagi, bicaralah, kamu boleh mengatakannya padaku. Janji?”
“janji asal kau terus bersamaku.”
“baiklah.”
“aku akan jadi robot untukmu, berbicara saat kau ingin aku bicara, menangis saat kau ingin aku menceritakan kesedihanku, tertawa saat kau ingin aku terlihat gembira”
“kalau begitu aku tidak mau karena aku tidak mau bersama dengan robot. Kau tahu, robot itu tidak punya perasaan sama sekali, jadi aku tidak mau bersama dengan orang yang tidak punya perasaan”
“perasaan kah?” aku menatap matahari yang sudah semakin tenggelam. Langitpun terasa mulai gelap.
“hanya kau yang mengerti aku. Hanya dengan kau aku boleh bicara. Itu yang nenek katakan, aku jadi mengerti kenapa...”
“kenapa?” tanya perasaan sambil memandangku lekat.
“karena kau orang yang baik, dan mempunyai perasaan yang tulus”
Ia tersenyum manis padaku.
Aku memberinya sebuah pena hitam tebal. Aku memintanya untuk membuangnya. Aku tidak menjelaskan hal apapun tentang benda itu.
“itu alat perekam, aku inigin kau membuangnya” hanya kata itu yang kusampaikan diakhir pembicaraan kami disaat malam mulai tiba.
Aku diam-diam mengamatinya sambil duduk dikursi tunggu. Dia bilang dia akan pulang, tapi masih duduk disana. dia merogoh kocek sakunya dan mengeluarkan alat perekam berbentuk pena hitam tebal itu. ia mulai mendengarkan dengan seksama. Saat itu aku kembali mendorong kursi rodaku. Aku ingin istirahat dikamarku. Aku tidak menyuruh atau melarangnya untuk mendengar isi rekaman dalam benda itu. aku hanya menyuruhnya buang. Sepenuhnya adalah terserah padanya.
“setelah ini ia akan tahu apa yang sebenarnya terjadi” gumamku.
Ketika dihadapkan uang,
orang-orang secara tidak langsung ataupun langsung akan menunjukkan sifat
aslinya sadar atau tidak sadar. Dengan pura-pura memakai topeng kebaikan atau
langsung menampakkan keburukannya.
Apa aku salah?
Bukankah aku adalah seseorang yang tak diinginkan, namun kali ini izinkan aku berkata.
Aku juga ingin hidup untuk bahagia seperti dirimu dengan perasaan cinta dan kasih sayang.
Semua itu tentu membutuhkan harta tapi bukan berarti membabi buta hingga membenci diriku dengan mengatakan “Tak seharusnya kau ada, Dasar Robot”.
TAMAT.
Pekanbaru, 14 April 2016.
Isyarayle.
Thans to Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar