ROBOT (Mendapat Warisan)
4 tahun kemudian.
Berselang seminggu setelah hari wisudaku. Nenek pergi meninggalkanku. Hampir Seluruh harta warisan punya nenek, ditulis atas namaku. Padahal masih ada anak-anak nenek yaitu bibi-bibiku serta sepupuku yang berhak mendapatkan lebih dariku.
Berselang seminggu setelah hari wisudaku. Nenek pergi meninggalkanku. Hampir Seluruh harta warisan punya nenek, ditulis atas namaku. Padahal masih ada anak-anak nenek yaitu bibi-bibiku serta sepupuku yang berhak mendapatkan lebih dariku.
“Entah apa yang bisa kukatakan, kau sudah berhasil menguasai nenek selama ini” kata bibiku anak pertama dari nenek ,ketika hari setelah pemakaman yaitu hari dibacakannya warisan. “kau sudah berhasil menjadi boneka nenek, dan kau sudah berhasil menjatuhkan nenek...”
“sekarang apa yang akan kau lakukan, hah?” kata bibiku anak ketiga dari nenek. meninggikan suaranya dan seperti akan berdiri ingin menyerangku tapi ditahan oleh bibiku-anak pertama nenek.
“apa kau ingin menghabiskannya sendiri, anak sombong?” kata pamanku anak bungsu dari nenek.
“pa, kenapa harus dia sih yang dapat banyak, aku malah gak ada sama sekali disebutkan dalam warisan nenek, nenek pilih kasih” kata sepupu perempuanku.
“apa aku harus menjadi robot nenek seperti dia biar bisa mendapatkan warisan itu ma?” kata sepupu laki-lakiku.
Aku hanya bisa menunduk. Mengenggam tanganku yang dingin sambil mendengarkan kalimat-kalimat mereka sampai membuat telingaku terasa panas. Tapi..
“heeh? Kalian iri kan?” aku mulai bersuara. “kalian bisa mendapatkan semua warisan atas namaku menjadi milik kalian, dengan begitu kalian tidak akan bersuara-suara cempreng lagi” mereka mulai terdiam. Aku tidak menatap mereka. Tapi ku rasa mereka sedang fokus melihatku sekarang mendengarkan kalimatku berikutnya.”tapi, ada syaratnya...”
“Ap—APA” salah satu bibiku ragu, ia gengsi untuk mengetahuinya.
“jadilah robotku selama seminggu, HANYA SE-MI-NG-GU, dengan beg---“
Plakk!!!
Tamparan mendarat di pipiku. Cacian mulai bernyanyi dengan harmonisasi mereka. Aku sudah menduga ini terjadi. Bagaimana perasaan mereka. Hancurkah?
“Kenapa menamparku? Bukankah kalian mengatakan bahwa aku mendapatkan semua warisan ini karena aku sudah menjadi robot atau boneka atau apalah, ya kan? Hahahahaha” aku mulai menggila, aku tertawa berusaha tanpa beban walau tidak ada hal yang lucu sama sekali. Jauh dilubuk hatiku, aku menahan sakit, sedih. Bibirku bergetar.
“Kau anak tak tau diuntung, seharusnya kau tidak ada di dunia ini, kau seharusnya mampus bersama kedua orang tuamu, kenapa kau masih saja selamat hah? Aaarrrggghh.... seharusnya aku melakukan hal lebih, seharusnya aku membuangmu ketika bayi, arrrggghh.... sungguh MENYEBALKAN!!” paman frustasi ia berteriak sambil memegang kepalanya yang seakan hampir pecah.
Aku terdiam. Mulutku menganga tapi tertahan, mataku melotot memandangi paman. Apa yang barusan paman bilang. Menghabisi aku dan kedua orang tuaku, membuangku ketika bayi? Apa aku tidak salah dengar?.
“Adikku, kenapa kau membicarakan hal itu kau sudah gila hah?” bibiku berusaha menenangkan paman yang sudah seperti orang mabuk. Hilang kendali.
“Huh” dengan sisa-sisa tenaga. Dengan menguatkan bathin dan air mata yang ingin menangis mendengar fakta yang menggemparkan jiwaku, aku berusaha bersikap biasa. Poker face. “apa paman tidak mau? Setelah berusaha keras menghabisi orang tuaku dan menyesal telah membiarkanku selamat hingga sekarang bisa berkumpul bersama dengan paman? Aku berjanji akan memberikan warisanku untuk paman, hanya paman saja lho....”
“Kau......dasar kau...aku akan mem—argh..argh...dadaku...dadaku sakit” paman pingsan tak sadarkan diri.
Paman dilarikan ke rumah sakit. semua pergi meninggalkan ruang tamu, di rumah nenek yang mewah ini. hanya aku sendiri yang masih duduk terdiam. Air mata tanpa suara. Air mata yang terus mengalir. Dengan semua perang pemikiran yang terjadi. Orang tuaku pun bahkan tak diinginkan kehadirannya.
Untuk apa semua ini nek? Untuk apa
nenek melakukan ini. nenek tidak inign membiarkanku keluar tanpa izin dan
sepengtahuannya. Nenek bahkan terus-menerus menolak ajakan bibi-bibi dan
pamanku sekeluarga jika ada liburan bersama. Nenek akan menyuruhku belajar dan
terus belajar. Apa maksud nenek untuk semua ini.
Di meja tamu. Tepat dihadapanku. Ada sebuah mangkok besar berisi buah-buahan kesukaan nenek. Apel,jeruk dan pir. Dan juga sebuah pisau. Ia terlihar berkilauan. Tersembunyi.
“Apakah seharusnya aku tak ada didunia ini?” aku beranjak dan mulai melangkah. Perlahan-lahan. Aku sudah berada dihadapan pisau itu. tanganku bergetar meraihnya. Air mataku terus basah. “nenek, apa memang aku tak diinginkan di dunia ini?” aku dekatkan pisau itu tepat di denyut nadi tangan kiriku. Tangan kananku yang memegang pisau bergetar, terasa berat. Aku tak mampu memandangnya. Benar-benar tak mampu.
Dan. Dunia mulai terasa gelap. Sakitnya
mulai terasa hilang. Apa aku sudah mati?
***
Aku tidak diizinkan melihat wajah kedua orang tuaku. Dan jangan coba-coba menanyakan tentang kedua orang tuaku. Aku tidak diizinkan bicara jika tidak disuruh bicara. Tapi, awan hitam saja jika sudah berkumpul dan menyatu lalu mulai terasa berat akan menumpahkan air ke bumi, lalu bagaimana dengan diriku. Keberanian yang kecil itu perlahan-lahan terkumpul menjadi besar, hingga muncul pertanyaan.
”Apa,apa aku ini robot bagi nenek?”
Nenek yang terlihat murka sebelumnya. Mulai melemaskan wajahnya yang tegang. Tangannya yang mengepal mulai terlepas. Wajah amarah berganti menjadi wajah merasa bersalah. Nenek terlihat bingung. Begitupun dengan diriku. Aku bingung apa ada hal aneh atau yang menyakitkan dari kalimatku tadi? Aku hanya bertanya, hanya memastikan. Lalu kenapa?
Nenek jatuh terduduk. Ia terkulai
lemas. Nenek mulai menangis. Ia menutup mukanya. Nenek terus menangis.
“Nenek” semakin ku memanggilnya tangisnya semakin jadi.
Aku menjadi sedih. Mungkin benar sebaiknya aku tidak bicara apalagi bertanya. Aku iba melihat nenek menangis.
Aku peluk nenek. Aku peluk nenek dengan penuh rasa bersalah. Tubuh nenek yang ringkih membuatku tersadar, ia hanyalah seorang nenek yang berusaha menyayangi cucunya.
“Maafkan aku nenek, maaf”
“Tidak, akulah yang harus meminta maaf. Cucuku” wanita tua itu melepas pelukanku. Ia menyentuh pipiku dan menatap wajahku lekat-lekat. “aku memang sering mengatakan hal yang menyakitimu, tapi aku tidak pernah bermaksud untuk membuatmu terlihat seperti robot, nenek hanya ingin kau selalu disisi nenek, dan selalu mendengarkan nenek, maafkan keegoisan nenek, sayang”
Aku terharu. Semua rasa sakitku, seperti hanyut bersama air mata ini. aku memutuskan untuk selalu patuh pada nenek. Bukan ingin menjadi robot ataupun menjadi cucu kesayangan nenek. Hanya mengikuti keinginan nenek. Selalu disisi wanita tua itu.
Nenek berpesan.
“Jika tiba hari dimana dibacakan surat warisan, aku ingin kau melakukan tugas penting ini”
“apa itu nenek?”
“Merekam semua pembicaraan dari awal hingga akhir, akhir disini sesuai keinginanmu saja, sampai mana kau ingin merekamnya, merekam sampai semua komentar mereka juga tidak apa-apa”
“Mereka maksud nenek?”
“Bibi dan pamanmu serta keluarga
besarnya” ucap nenek pelan namun tegas.
***
next ROBOT part III (End)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar