Minggu, 05 Februari 2017

Janji di Langit Senja Part VI (END)

Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina


=Prolog by Nia=.
Aku akan menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku selepas menyelesaikan study-ku di Turki.
Hari itu aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bisa kembali ke Tanah air setelah hampir dua tahun lebih menimba ilmu di negeri yang jauh. Namun kebahagiaanku harus terhenti sejenak. Ibu mengatakan hal yang membuat jantungku sempat terhenti. Ibu bilang bahwa ia mendengar kabar beberapa waktu yang lalu Salim koma. Aku langsung menghubungi nomor Salim yang sering ku abaikan, walau memang sesekali ku angkat ia tidak bersuara sedikitpun di telpon. Namun sayang, nomornya tidak aktif.
Ibu menyarankanku untuk bertemu Guntur yang berkemungkinan punya kontak Salim.
Guntur tidak tahu kemana harus menghubungi kecuali dengan ajudannya yang waktu 2 tahun lalu menemani Salim ke desa. Akupun menghubungi nomor tesebut dan tersambung. Dalam percakapan via telpon dengan ajudannya ia mengatakan bahwa ia akan memberi tahu kondisi atasannya jika aku sudah di Jepang. Mereka pun bersedia membiayai seluruh keperluanku ke Jepang. Aku pergi dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran. Kabar Salim koma dan sekarang mereka masih merahasiakan kondisi Salim. Sudah berapa lama Salim koma dan apa karena itu ia tidak pernah menghubungiku walau dengan telpon isengnya? Dan apakah ia akan memenuhi janjinya, bahkan untuk mengingat perkataannya kala itu membuat air mataku jatuh. Tiba-tiba perasaan takut akan kehilangan dirinya muncul menggerogoti hatiku, seakan tidak mau tenang barang sedetikpun.
Sesampai di Jepang, aku dibawa entah kemana, tempat itu tidak ku ketahui dengan jelas, ketika aku pun bertanya dengan supir yang membawaku dia hanya menjawab ke tempat Tuan Salim berada, setelah itu aku masih sibuk dengan pikiran yang berkecamuk, sedang dibawa kemana aku? Dimana Salim berada sekarang? Bagaimana keadaannya sekarang.
Ketika mobil berhenti aku tidak tidak bisa mengetahui dimana aku berada. Disana ada banyak pohon sakura yang bermekaran. Sedetik aku merasakan bahagia bisa melihat pemandangan yang langka namun sedetik itu juga pikiranku kembali pada Salim.
“Dimana saya? Salim dimana? Sepertinya ini bukan dirumah sakit. ayolah, kalian sudah bungkam dari awal perjalanan hingga saat ini, ini benar-benar menyiksaku, menerka-nerka keaadan Tuan kalian membuatku semakin lemah” keluhku pada mereka.
“Maafkan kami nona, kami tidak bermaksud untuk menyiksa nona. Mohon Nona menunggu lagi” Jawab salah seorang yang lelaki yang sudah paruh baya sambil memberiku sebuah amplp putih”ini untuk Nona, sebaiknya dibaca terlebih dahulu, maka setelah itu saya janji akan membawa Nona ke tempat Tuan Salim” Untuk kalimat terakhir lelaki yang mengaku pelayan Salim itu telihat sangat sedih, membuatku semakin tak karuan.
Ku buka amplopnya perlahan, ada dua lembat surat didalamnya.
Begini bunyi suratnya.
Dear Neighbor Nia,
Ketika kamu membaca surat ini mungkin aku sudah tidak ada didunia yang sama denganmu.
Aku bersyukur bisa mengenalmu dan memiliki seseorang yang begitu berharga dalam hidupku.
Setelah kejadian di langit senja waktu itu 5 tahun yang lalu, aku merasakan sedih yang teramat sangat,
Aku bahkan tidak berani untuk mengucapkan salam perpisahan terakhir kalinya padamu.
Maafkan aku, yang sudah membuat kelabu senjamu.
Dan setelah pertemuan trakhir itu aku ingin bertemu kembali denganmu, namun aku selalu menahannya, aku tidak ingin merusak
Harimu dengan kehadiranku, tapi rasa rindu terkadang memaksaku untuk menghubungimu
Hingga jadilah sebuah telpon tak bersuara yang terus kulakukan hingga sampai ke negeri sana
Janji yang kusampaikan kala langit senja waktu itu untuk melamarmu tidak bisa kuwujudkan
Maafkan aku.
Aku memang laki-laki yang selalu menyakitimu dengan kata-kata anehnya.
Tapi.
Aku ingin kamu tahu, dari dulu masih menjadi teman pulangmu, tetanggamu, dan sahabatmu ketahuilah
Aku Selalu menyayangimu, Doaku dari lubuk hatiku semoga selalu tersampaikan pada Penguasa Langit
Dan Bumi untukmu.
Aku mencintaimu.
Lembaran pertama dari surat itu sudah membuat banjir air mataku, tak bisa kubendung lagi rasanya ingin ku pecahkan rasa sesak didada tanpa terasa suara tangisku begitu nyaring terdengar, seperti anak kecil yang merengek pada orang tuanya.
Rasa raguku untuk membaca lembaran keduanya muncul. Apalagi yang akan ia tulis, lembaran pertama saja sudah membuatku histeris, tulangku rasanya lemah. Namun ku kuatkan diriku, aku harus menyelesaikan urusan yang panjang dan menyedihkan ini.
Langit Senja waktu itu
Ku temukan berjuta keemasan berkilauan diwajahmu
Senyum yang terkembang mengalahkan indahnya bunga
Kala langit senja waktu itu
Selalu kutemukan suara nyaring berpuisi
Senandungnya menceritakan keindahan
Bagai pujangga bersyairkan cinta
Kaki yang menempuh jalanan senja
Berat rasa pergi
Namun bintang tak mau terlambat
Keindahannya bahkan tak kalah hebat
Menyukai keduanya adalah kesyukuran
Senja dan bintang
Manakah yang kamu suka wahai bunga
Jika langit senja waktu itu
Masih ku temukan wajah keemasan itu
Maka aku ingin selalu memandangya
Hingga sisa umurku.*

Membisu dalam gamang hati
Bicaraku kini pada sunyi
Membisu pagi pada malam yang punya mimpi
Kau perempuan dengan anggun bergamang hati
Kau hadang dalam tawaran harapan
Aku gamang kini setelah kau ajak ke taman rasa
Salahkah jika aku berkata diam dalam kejujuran hati
Sebab rinduku tak pernah berkata rapuh
Kini tawar hambar kian pudar
Gamang jangan ikuti diriku
Berlalu lah seperti kayuhan sampan
Sampai diammu menjadi janji temu.**
Puisi yang ia tulis membuat hangat hatiku dan tangisku perlahan reda. Ia ternyata menyukai puisi. Selama ini aku mengira ia selalu meledek puisiku karena tidak menyukai puisi, ternyata aku salah.
Aku menghapus air mataku yang membasahi pipi. Ku Tarik nafas perlahan. Aku ingin berusaha tenang untuk mengetahui penjelasan yang penting.
“Saya sudah berjanji akan memberitahu dimana Tuan Salim berada-“
“Apa dia sudah tiada” aku memotong pembicaraan lelaki paruh baya itu. aku menatapnya dan ia hanya diam saja.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku diam seribu bahasa, tanpa ragu aku terus saja mengikuti pelayan itu. ia menghentikan langkahnya dan terlihatlah oleh ku beberapa gundukan tanah.
“Ini adalah makamnya Tuan Salim berserta dengan leluhurnya” Kata pelayan itu lirih.
“Ap-apa yang terjadi padanya?”
“Setelah terakhir bertemu dengan nona Tuan salim menjalani operasi besar karena penyakit yang dideritanya empat tahun belakangan ini, sehari sebelum operasi beliau menitipkan sesuatu untuk nona jika ia tidak selamat dalam operasi”
“Apa sesuatu itu surat tadi?”
“itu salah satunya”
“Lalu apa yang terjadi setelah operasi”
“Operasi beliau berhasil, dan Tuan kembali beraktivitas setelah sebulan dirawat. Ia melanjutkan bisnis Kakenya di Jepang ini dan Tuan mengalami sukses besar. Namun, hal itu tidak bertahan lama, setahun yang lalu Tuan jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit dan mengalami koma selama enam bulan dan pergi untuk selamanya”
Air mataku seketika jatuh waktu mendengar tiga kata terakhir dari kalimat pelayan paruh baya itu. aku melangkah mendekati ke makamnya Salim dan membacakan doa untuknya. Tanpa terasa air mataku jatuh membasahi tanahnya.


Salim
Setelah pertemuan terakhir denganmu kala langit senja waktu itu, kamu pun tak kunjung datang untuk mewujudkannya, padahal aku selalu menunggumu dipertemuan langit senja kita berikutnya.

THE END

Epilog.
Salim ternyata selain menitipkan dua lembar surat juga memberikan sebuh kotak yang berisikan memorinya bersama dengan Nia waktu masih sekolah dulu serta terselib sebuah lukisan senja yang indah serta gambar seorang gadis berjilbab yang tengah tersenyum memandang langit senja.
Nia kembali membuka diarynya dan menemukan selebaran kertas yang terselip dibuku tersebut. Tulisan itu ia tulis sebelum berangkat study.
Janji di langit senja,
Si neighbor mengucapkan kalimat yang tak ku duga, sudah lima tahun tidak bertemu dengnnya dan ia mengucapkan janji ingin melamarku, walau ku anggap hal itu hanya sebuah candaan atau godaan yang ia lakukan selama lima tahun tidak bertemu namun tetap saja hal itu mengangguku, apa maksudnya dia berencana melamarku? Kenapa harus setelah ini? Kemana ia akan pergi? Ke tempat yang jauh? Dimana itu? banyak pertanyaan yang berkecamuk dipikiranku hingga bungkam mulutku tak tahu mana yang harus keluar.
Hal itu membuatku ingin kembali berpuisi, jika bersama Salim entah mengapa aku selalu ingin berpuisi, walau dia sering meledekku dengan mengatakan ‘puisi aneh’. Jika suatu saat kami bertemu lagi sesuai dengan janjinya maka aku akan menunjukkan padanya puisi yang kutulis untuknya, khusus untuknya.
Senja dibalik purnama
Di dermaga hati
Sepandan kian menanti
Pada dikau senja dibatas purnama
Bisu membisu merangkai hati
Dalam kata doa
Langit mendengar
Mengayuh setiap alif,lam,nun
Menjadi sebuah bait
Permintaan ku hanya padaNYA
Senja kini jemariku mencatat kisah dalam halaman pertama
Ada rindu yang bermuara
Ada purnama bergegas membuang keluh
Padamu purnama senja
Menanti dermaga hati sepi
Bicaralah purnama pada dendang waktu
Menunggu dalam pelabuhan fregman waktu senja**
Semoga ini menjadi puisi terindah ku untukmu.
*****
Catatan kaki:
*Puisi oleh IsyaRayLe
**Puisi oleh Lara Aprilia Wina
Jazakillah Khairan Buat pembaca IsyaRayLe tetap dukung dan doakan semoga lebih produktif lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar