Dedaunan dan Angin menari
Aku menunggu ditengah keramaian. Masih saja merasakan kesepian, meski sebuah ucapan selamat telah berdatangan.
Yang berjanji akan segera datang tak kunjung menampakkan dirinya.
Aku tertunduk menahan kesedihan berusaha tersenyum dalam himpitan waktu.
"A..aah.. begini ya rasanya sebatang kara" Keluhku.
Daun-daun berguguran meski belum sepenuhnya kuning. Angin berhembus diriku seakan berusaha menemaniku.
"Hulya" Suara itu menganggetkanku. Aku ragu-ragu menolehnya. Seketika badanku rasanya kaku. Bingung entah ekspresi apa yang harus kuberikan. Tidak, lebih tepatnya kata apa yang bisa memulai perjumpaan kami yang sekian lama berpisah. Dulu saling berdebat. Dulu saling memperebutkan hal-hal yang tidak penting meski aku berusaha menghindar namun ia berhasil memaksaku keluar dari zona nyaman.
"Hulya selamat ya" Langkah kaki itu sudah mendekatiku. Aku mendongak menatapnya. Tinggi.
Aku masih dengan keterkejutanku.
"Hulya? Masih ingat aku kan?"
"A-Afif?" Bagaimana dia bisa-. Aku terdiam sejenak. Sherly.
"Syukurlah masih ingat, aku sempat khawatir kamu lupa" Ia mengalihkan pandangannya sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali menunduk lalu bertanya lagi "kamu sendiri?"
Ah, pertanyaan itu entah mengapa tiba-tiba mengubah ekspresi wajahku.
"Hm" hanya itu.
"Maaf, aku tida ber-"
"Terimakasih sudah datang" Akhirnya aku bisa tersenyum. Sungguh aku seharusnya benar-benar berterimakasih padanya. ikut berkumpul bersama dedaunan yang gugur dan angin yang berhembus."Terimakasih"
"Sherly sudah menunggu di restoran, kita pergi sekarang?"
"Sherly?"
"Dia tidak memberitahumu?" Aku menggeleng. Kejutan apa ini?
Tapi terlepas dari hal itu aku senang. Akhirnya di hari bahagia ini aku tidak sendiri.
***
Aku pergi dengan mobil Afif. Dia mengemudi sambil sesekali menanyakan tentang kabarku, sesekali bercanda, sesekali membuatku sedikit kesal, sesekali menyelipkan kisah perjuangannya selama S2.
"Hulyaaaaa.." Sherly berlari lalu memelukku erat sesampai aku di restoran. Diluar dugaan. Kenapa semua keluarga Sherly datang juga. "Ini acara syukuran buat wisuda Hulya, Selamat ya Beb" ia mengembangkan senyumnya.
Afif juga tersenyum.
Hari itu kami semua menikmati hidangan.
Tawa riang. Saling bercerita. Suasana kekeluargaan yang begitu kurindukan.
"Aku sudah tahu siapa yang dulu Hulya sukai" Sherly membuka pembicaraan ketika kami bertiga jauh dari kerumunan. Aku terdiam. Apakah ini waktu yang tepat membicarakan hal itu.
"Itu sudah lama" Aku hanya menjawa datar.
"Benarkah?" Afif malah merespon dengan wajah penasaran. Tampak ia tersenyum ketika aku sekilas memandangnya. "Ha?"
"Aku juga penasaran" Afif memanganku penuh selidik.
"Afif, dialah pria yang selalu membuat masa SMA Hulya penuh warna seperti pelangi, benarkan?" Sherly menoleh kepadaku.
Aku ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Hulya atas topik ini. Tapi melihat senyumnya yang riang, aku perlahan mulai mengerti. Mungkin ini untuk lelaki di sebelahku yang sudah mulai tersipu malu. Walau sedikit terlambat namun hatiku mulai berdesir.
Salah, bukan Afif yang aku suka dulu tapi Sang pemimpin upacara. Lelaki yang juga disukai Sherly. Namun mungkin tidak sepenuhnya sherly salah. Masa SMA ku telah berwarna seperti pelangi bersama mereka.
Aku tersenyum.
"Terimakasih Sherly, Afif"
Hidupku ternyata masih terus berwarna bersama mereka.
*isyarayle Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar