Aku memandang laut dari kejauhan.
Deburan ombaknya yang khas membawaku ke suasana itu. Burung-burung yang terbang
melintasi laut yang memerah disenja hari yang sendu. Dulu, dulu sekali ayah dan
ibu sering membawaku ke pantai, mereka mengajakku menyaksikan peristiwa
detik-detik matahari terbenam. Mereka mengajakku berjalan diatas pasir putih
yang bersih. Berlari-lari mengejar ombak yang surut dan berlari menghindari
ombak yang pasang. Aku sangat senang sekali, tawaku lepas, ayah dan ibu juga
tertawa lepas. Mereka sama-sama saling memegang tanganku, ayah memegang tangan
kiriku dan ibu memegang tangan kananku. Berjalan perlahan-lahan ketika sudah
merasa letih berlari kesana-kemari.
“lihat, sebentar lagi matahari
akan mulai terbenam” kata Ayah sambil menunjuk arah matahari. Aku melihat
kearah yang Ayah tunjuk.
“indah bukan?” imbuh ibu. Aku
menoleh kearah ibu. Senyuman ibu terkembang. Aku terus saja memandang ibu.
Wajah ibu yang terkena sinar senja hari itu menambah cantiknya ibu. Ibu dan
Ayah tetap memandang kedepan menyaksikan matahari terbenam. Tidak sepertiku,
aku bergantian memandang Ayah dan Ibu yang tersenyum bahagia, tidak
memperhatikan matahari terbenam sama sekali.
“sayang, lihatlah” Ayah menoleh
padaku. Aku tertegun.
“eh, iya Ayah”
Tak
terasa air mataku membasahi pipiku. Senja kali ini aku tidak bersama Ayah juga
Ibu. Tidak seperti 15 tahun yang lalu.
Aku menghapus air mataku.
“kau
menangis lagi” seseorang memberiku sapu tangan putih. Aku menerimanya dan
menghapus air mataku.
“kalau....”
“aku
tidak apa-apa” potongku cepat. Aku sudah tahu apa yang akan dia bicarakan. “aku
hanya ingin melihat senja sejenak, melihat laut, dan matahari terbenam” tapi
air mataku semakin deras mengalir. Aku buru-buru menghapusnya.
“kamu
bisa pulang kalau ka......"
“melihatnya
dari dekat sudah membuatku tenang,” aku menatapnya yang tampak tak senang
karena dari tadi aku memotong pembicarannya “aku baik-baik saja, tidak usah
khawatir”
Aku
merasa sudah puas melihat langit senja sore itu. Aku meninggalkan dia yang
berdiri terpaku tanpa ada kata-kata lagi.
“sayang,”
panggilnya
Langkahku
terhenti.
“ayo
kita pergi”
Aku
tercengang. Air mataku lagi-lagi pecah, tak bisa kubendung, suara tangisanku
mulai terdengar. Tidak ada kata-kata karena ku tak mampu berucap. Semakin lama
tangisku semakin kencang, seperti anak kecil yang habis dimarahi orang tuanya,
seperti orang yang tengah melampiaskan lukanya. Seseorang itu memeluk dari
belakang. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Pelukkannya sudah memberi arti bahwa
aku harus kuat.
***
Di
hari ulang tahunku. Ayah berjanji pulang lebih awal dari pekerjaannya untuk
merayakan ulang tahunku yang ke-8. Tetapi sudah sampai larut malam Ayah tidak
juga pulang.
“apa
Ayah masih lama pulangnya bu” suaraku terdengar lemah, aku sudah sangat
mengantuk.
“sayang,
tidurlah dulu, kalau nanti Ayah pulang ibu akan bangunkan,atau besok pagi saja
kita rayakan”
“tapi
ulang tahunku hari ini ibu, bukan besok” kesalku.
“sayang,”
panggil ibu lembut. Ibu mengelus rambutku yang tipis itu “Tidurlah...ya”
Aku
tidak ingin membantah ibu. Aku pun pergi ke kamar dengan langkah gontai.
“sayang
,jangan lupa ambil wudhu” aku mengangguk.
Hingga
sampai besok paginya Ayah tidak juga pulang. Hingga lusa,dan terus berlalu
hingga hitungan hari,minggu, bulan serta tahun. Ayah yang tak kunjung pulang
dan Ibu yang terus sakit-sakitan menahan Rindu pada Ayah. Ayah tidak ada kabar.
Awalnya aku terus-terusan menanyakan tentang kabar Ayah. Kenapa Ayah tidak
pulang, dimana Ayah sekarang, kenapa Ayah tidak ada kabar. Ibu menjawab dengan
hati-hati dan matanya sendu. Akan tetapi esoknya aku akan menanyakan hal yang
sama, dan lagi-lagi ibu menjawab hal yang sama.
“mungkin
Ayahmu sedang ada urusan mendadak yang penting, jadi belum bisa mengabari kita,
kita tunggu saja...ya sayang” dengan mata yang basah dan berubah menjadi lebam.
Bibir yang terus bergetar menahan tangis dan suaranya yang tertekan. Melihat
kondisi ibu aku ketakutan, pikiranku semakin kalut, Ayah jahat. Itu pikiranku.
Aku lalu memeluk Ibu dan menangis. Aku bertekad tidak akan menanyakan lagi
tentang Ayah.
Hari-hari,minggu,bulan
dan tahun yang berlalu ku isi dengan hari seceria mungkin. Aku rindu dengan
senyum ibu yang terkembang diwaktu sore itu. Ingin sekali mengajak ibu ke
pantai melihat matahari terbenam, tapi itu bisa jadi membuat ibu semakin sedih
karena ada kenangan bersama Ayah. Bukan hanya Ibu saja tapi juga mungkin aku.
Namun waktu yang diisi dengan keceriaan selama ini tidak sia-sia. Ibu sudah
semakin membaik. Senyum yang selama ini kurindukan kembali lagi.
Hingga
saat aku sudah berusia 18 tahun. Aku sudah tamat sekolah, mendapatkan beasiswa
di univeritas ternama di kota. Aku tidak ingin meninggalkan ibu, tapi ibu tidak
ingin aku berhenti.
“raihlah
cita-citamu, sayang”
Dengan
tekadku, aku berusaha untuk meraih cita-citaku. Cita-citaku? Aku hampir lupa
yang menjadi cita-citaku. Yang ku tahu aku ingin selalu bersama ibu, aku tidak
ingin meninggalkan ibu sendirian, tapi.
“jangan
khawatirkan ibu, teruslah melangkah maju, ibu akan selalu mendoakanmu, lakukan
yang terbaik sesuai bakatmu, ibu akan menunggumu disini, kembali...membawa
kesuksesan” itu yang ibu katakan ketika aku mengatakan kerisauanku.
Akupun
berangkat ke kota dengan membawa harapan dari ibu. Tinggal di kos-kosan kecil. menjalani
hari demi hari sebagai seorang mahaisiswa, menyelesaikan semunya dengan cepat,
tidak ingin berlama-lama, fokus pada tujuan awal, melakukan hal yang terbaik
dan cepat. Hingga suatu hari, aku bisa menempuh pendidikan dengan waktu yang
cepat. Aku tidak sabar ingin kembali pulang ke rumah menemui ibu. Di hari
wisuda yang tidak bisa ibu hadiri, tidak membuatku berlarut sedih, yang penting
bisa kembali ke rumah dan menemui ibu, membawa ibu pergi dari kota itu dan
mengajaknya ke kota yang jauh dari kenangan buruk ibu.
***
Next : Rindu Senja Part II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar