Selasa, 22 Maret 2016

Rindu Senja Part I (Kenangan Bersamamu)


Aku memandang laut dari kejauhan. Deburan ombaknya yang khas membawaku ke suasana itu. Burung-burung yang terbang melintasi laut yang memerah disenja hari yang sendu. Dulu, dulu sekali ayah dan ibu sering membawaku ke pantai, mereka mengajakku menyaksikan peristiwa detik-detik matahari terbenam. Mereka mengajakku berjalan diatas pasir putih yang bersih. Berlari-lari mengejar ombak yang surut dan berlari menghindari ombak yang pasang. Aku sangat senang sekali, tawaku lepas, ayah dan ibu juga tertawa lepas. Mereka sama-sama saling memegang tanganku, ayah memegang tangan kiriku dan ibu memegang tangan kananku. Berjalan perlahan-lahan ketika sudah merasa letih berlari kesana-kemari.
“lihat, sebentar lagi matahari akan mulai terbenam” kata Ayah sambil menunjuk arah matahari. Aku melihat kearah yang Ayah tunjuk.
“indah bukan?” imbuh ibu. Aku menoleh kearah ibu. Senyuman ibu terkembang. Aku terus saja memandang ibu. Wajah ibu yang terkena sinar senja hari itu menambah cantiknya ibu. Ibu dan Ayah tetap memandang kedepan menyaksikan matahari terbenam. Tidak sepertiku, aku bergantian memandang Ayah dan Ibu yang tersenyum bahagia, tidak memperhatikan matahari terbenam sama sekali.
“sayang, lihatlah” Ayah menoleh padaku. Aku tertegun.
“eh, iya Ayah”
Tak terasa air mataku membasahi pipiku. Senja kali ini aku tidak bersama Ayah juga Ibu.  Tidak seperti 15 tahun yang lalu. Aku menghapus air mataku.
“kau menangis lagi” seseorang memberiku sapu tangan putih. Aku menerimanya dan menghapus air mataku.
“kalau....”
“aku tidak apa-apa” potongku cepat. Aku sudah tahu apa yang akan dia bicarakan. “aku hanya ingin melihat senja sejenak, melihat laut, dan matahari terbenam” tapi air mataku semakin deras mengalir. Aku buru-buru menghapusnya.
 “kamu bisa pulang kalau ka......"
“melihatnya dari dekat sudah membuatku tenang,” aku menatapnya yang tampak tak senang karena dari tadi aku memotong pembicarannya “aku baik-baik saja, tidak usah khawatir”

Aku merasa sudah puas melihat langit senja sore itu. Aku meninggalkan dia yang berdiri terpaku tanpa ada kata-kata lagi.
“sayang,” panggilnya
Langkahku terhenti.
“ayo kita pergi”
Aku tercengang. Air mataku lagi-lagi pecah, tak bisa kubendung, suara tangisanku mulai terdengar. Tidak ada kata-kata karena ku tak mampu berucap. Semakin lama tangisku semakin kencang, seperti anak kecil yang habis dimarahi orang tuanya, seperti orang yang tengah melampiaskan lukanya. Seseorang itu memeluk dari belakang. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Pelukkannya sudah memberi arti bahwa aku harus kuat.
                                                                                                ***
Di hari ulang tahunku. Ayah berjanji pulang lebih awal dari pekerjaannya untuk merayakan ulang tahunku yang ke-8. Tetapi sudah sampai larut malam Ayah tidak juga pulang.
“apa Ayah masih lama pulangnya bu” suaraku terdengar lemah, aku sudah sangat mengantuk.
“sayang, tidurlah dulu, kalau nanti Ayah pulang ibu akan bangunkan,atau besok pagi saja kita rayakan”
“tapi ulang tahunku hari ini ibu, bukan besok” kesalku.
“sayang,” panggil ibu lembut. Ibu mengelus rambutku yang tipis itu “Tidurlah...ya”
 Aku tidak ingin membantah ibu. Aku pun pergi ke kamar dengan langkah gontai.
“sayang ,jangan lupa ambil wudhu” aku mengangguk.

Hingga sampai besok paginya Ayah tidak juga pulang. Hingga lusa,dan terus berlalu hingga hitungan hari,minggu, bulan serta tahun. Ayah yang tak kunjung pulang dan Ibu yang terus sakit-sakitan menahan Rindu pada Ayah. Ayah tidak ada kabar. Awalnya aku terus-terusan menanyakan tentang kabar Ayah. Kenapa Ayah tidak pulang, dimana Ayah sekarang, kenapa Ayah tidak ada kabar. Ibu menjawab dengan hati-hati dan matanya sendu. Akan tetapi esoknya aku akan menanyakan hal yang sama, dan lagi-lagi ibu menjawab hal yang sama.

“mungkin Ayahmu sedang ada urusan mendadak yang penting, jadi belum bisa mengabari kita, kita tunggu saja...ya sayang” dengan mata yang basah dan berubah menjadi lebam. Bibir yang terus bergetar menahan tangis dan suaranya yang tertekan. Melihat kondisi ibu aku ketakutan, pikiranku semakin kalut, Ayah jahat. Itu pikiranku. Aku lalu memeluk Ibu dan menangis. Aku bertekad tidak akan menanyakan lagi tentang Ayah.

Hari-hari,minggu,bulan dan tahun yang berlalu ku isi dengan hari seceria mungkin. Aku rindu dengan senyum ibu yang terkembang diwaktu sore itu. Ingin sekali mengajak ibu ke pantai melihat matahari terbenam, tapi itu bisa jadi membuat ibu semakin sedih karena ada kenangan bersama Ayah. Bukan hanya Ibu saja tapi juga mungkin aku. Namun waktu yang diisi dengan keceriaan selama ini tidak sia-sia. Ibu sudah semakin membaik. Senyum yang selama ini kurindukan kembali lagi.

Hingga saat aku sudah berusia 18 tahun. Aku sudah tamat sekolah, mendapatkan beasiswa di univeritas ternama di kota. Aku tidak ingin meninggalkan ibu, tapi ibu tidak ingin aku berhenti.
                
“raihlah cita-citamu, sayang”
                
Dengan tekadku, aku berusaha untuk meraih cita-citaku. Cita-citaku? Aku hampir lupa yang menjadi cita-citaku. Yang ku tahu aku ingin selalu bersama ibu, aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian, tapi.
                
“jangan khawatirkan ibu, teruslah melangkah maju, ibu akan selalu mendoakanmu, lakukan yang terbaik sesuai bakatmu, ibu akan menunggumu disini, kembali...membawa kesuksesan” itu yang ibu katakan ketika aku mengatakan kerisauanku.
                
Akupun berangkat ke kota dengan membawa harapan dari ibu. Tinggal di kos-kosan kecil. menjalani hari demi hari sebagai seorang mahaisiswa, menyelesaikan semunya dengan cepat, tidak ingin berlama-lama, fokus pada tujuan awal, melakukan hal yang terbaik dan cepat. Hingga suatu hari, aku bisa menempuh pendidikan dengan waktu yang cepat. Aku tidak sabar ingin kembali pulang ke rumah menemui ibu. Di hari wisuda yang tidak bisa ibu hadiri, tidak membuatku berlarut sedih, yang penting bisa kembali ke rumah dan menemui ibu, membawa ibu pergi dari kota itu dan mengajaknya ke kota yang jauh dari kenangan buruk ibu.

                                                                                ***

Next : Rindu Senja Part II 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar