Selasa, 22 Maret 2016

Rindu Senja Part III ( Akhir untuk sebuah permulaan )

Awan. Hanya ada awan terlihat. Perjalanan yang begitu terasa panjang.
                
Aku sibuk dengan berbagai pikiran yang berkacamuk. Aku akan bertemu dengannya. Apa kata yang akan kusampaikan?. Semua menjadi pikiranku.
                
“makanlah, kamu dari tadi belum makan” seseorang itu menawarkanku roti tawar yang sudah diolesi selai pandan kesukaanku. Aku hanya menatapnya saja.
                
“makanlah” seseorang itu sudah mau menyuapiku. Tapi aku mengambil roti itu dari tangannya dan memakannya sedikit. “harus habis ya” seseorang itu juga mengambil roti yang sama denganku. Ia melahap makanan itu.
                 
Setahun setelah kepergian ibu. Hidupku terasa hampa. Aku semakin terpukul ketika mendengar cerita yang selama ini ibu simpan dariku bahwa Ayah kembali pulang, dalam keadaan sehat tak ada kurang satu pun. Ibu sangat terkejut, ibu saat ingin memeluk Ayah saat itu tapi tidak bisa.  Rindu yang sudah menahun itu tak bisa ia lampiaskan. Tangan Ayah sudah ada yang mengenggam. Dua orang yang mengenggam itu tak ingin melepaskan Ayah agar bisa lebih dekat dengan ibu. Ibu sedih, orang yang dirindukan sudah tak lagi menjadi miliknya. 14 tahun menghilang, kini kembali, sudah tak sama lagi,sudah tak bisa seperti dulu lagi.
                
“kita sudah mau landing, jangan lupa sabukmu” lamunanku buyar mendengar kalimat itu.
                
Perjalanan yang melelahkan tubuh dan batinku. Sesekali aku memandang dia yang tengah sibuk sendiri dengan semua barang bawaan. Aku ingin sekali membantu, walau kepergian kali ini tidak membuatku senang , tetapi aku juga tidak ingin menjadi bebannya.
                
“sayang, kamu duduk saja disini, biar semuanya aku yang ur....”
                
“aku bisa sendiri, aku baik-baik saja, jangan khawatir” aku memaksa diri untuk ikut menarik koperku. Dia tidak bisa berbuat apa-apalagi selain mengawasiku.
                
Aku dan dia berlanjut menuju hotel. Dalam perjalanan aku tertidur, tubuhku terasa lemah. Perjalanan yang melelahkan. Batinku.
                
Setiba di hotel, aku membereskan diri, mandi,setelah mandi dan makan malam di restoran aku menyiapkan pakaian untuk besok. Saat semua suah disiapkan aku merebahkan diriku dan berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Aku melirik dia yang sudah tertidur pulas. Aku berusaha membelai rambutnya.
                
“sayang, kamu belum tidur?” suaranya serak. Aku tertegun. Aku membangunkannya. “tidurlah...” ia berbalik dan memegang pipiku yang basah. “tidurlah...” senyumnya yang terkembang diwajahnya yang kelihatan ngantuk berat.
                
“maafkan, aku” bisikku padanya. Aku merasa bersalah. Seseorang yang telah menemaniku selama ini, seseorang yang tak lelah mendengar cerita sedihku, seseorang yang selalu membawa kebahagiaan tersendiri dalam hidupku, aku benar-benar merasa bersalah padany, tapi aku bisa apa, saat aku sudah membuatnya repot, bagaimana aku bisa menolak keinginan yang jarang ia utarakan kepadaku, setelah semua keinginanku selalu ia penuhi.
                
“tidak apa-apa sayang” kalimat itu semakin membuatku sedih. Seseorang yang sangat baik.
                                                                                

                                                                               ***
                
Beef steak. Menu makan malam di restoran itu. aku sedari tadi hanya menunduk menunggu kedatangannya.
                
Ia tidak akan datang. Begitu pikirku.
                
“Selamat Siang”
                
Aku mendongakkan kepalaku. Aku melihat seorang yang berambut tebal dengan sedikit uban, dengan jenggot yang menghiasi wajahnya, matanya yang teduh dan senyumnya yang terkembang.
                
“Maaf, sudah membuat kalian menunggu”
                
“tidak apa-apa, kami juga baru sampai” seseorang disampingku yang menjawab dengan ramah. Mereka lalu bersalaman. Dan setelah itu...
                
“Ayah merindukanmu, sayang”
                
Aku tidak menjawab apa-apa. Mataku berkaca-kaca ingin menangis. Aku berusaha menahan nangis.
                
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?.
                
Aku tertegun. Tiba-tiba pertanyaan itu mengingatkanku pada ibu.
                
“aku...” suaraku bergetar. “aku...aku” mata Ayah tertuju padaku. Seseorang disampingku memandangku.
                
“aku...aku ingin pulang” aku sudah ingin berdiri. Seseorang disampingku menahan tanganku. Dia menggeleng, agar aku jangan pulang.
                
“sayang, maafkan Ayah”
               
  Maaf?. Maaf?
                
Ayah minta maaf padaku?
                
Untuk semua yang telah Ayah lakukan selama ini, pergi meninggalkan aku dan ibu, tanpa ada kabar dan sekarang....Ayah minta maaf. Terlambat. Aku sudah terlanjur sakit.
                
“Ayah, benar-benar merasa bersalah” ia terus melanjutkan semua penyesalannya “Ayah sudah menyakitimu, sungguh maafkan Ayah” suaranya tercekat.
                
Lukaku. Lukaku semakin bertambah. Entah kenapa aku merasa menjadi orang yang jahat.
                
“sayang, maafkan Ayah...”
                
“tidak...” aku harus menyampaikan semua hal ingin aku katakan padanya. Selama bertahun-tahun aku ingin sekali mengatakannya ketika berumur 8 tahun, dan dengan semua pertanyaan yang ingin selalu kutanyakan pada Ayah, tapi aku takut dengan semua penjelasannya, cukup aku menganggap Ayah sudah bersalah dan kini hanya tinggal memafkannya, dan saat inilah aku harus...”tidak..bisa kumaafkan,” aku menangis mengatakan itu “itu yang ingin kukatakan jika bertemu Ayah, tapi setelah benar-benar bertemu denganmu, aku tidak bisa untuk tidak memaafkanmu, apalah aku, aku hanya manusia lemah, ditinggal  pergi oleh orang yang kusayang, aku hanya berusaha ikhlas” air mataku semakin deras tapi aku tidak berniat menghapusnnya “aku..aku...” seseorang yang disampingku memegang erat tanganku. “merindukanmu selama ini, Ayah” aku merasa lega. Aku benar-benar merasa lega. Itulah yang selama ini aku sampaikan padanya. Aku merindukan Ayah, aku merindukan Ayah setiap aku menatap senja, setiap aku menyaksikan detik-detik matahari terbenam aku selalu merindukan Ayah.
                
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?
                
Ibu, aku ingin bisa seperti ibu, memaafkan seseorang yang melukai hati ibu. Membuatku belajar ikhlas selama ini dari ibu. Mungkin ada kerinduan yang mendalam dan kebencian yang masih bertengger dihati ini lah yang sangat sulit menjawab pertanyaan ibu selama setahun yang lalu,namun setelah bertemu dengan Ayah secara langsung, aku tidak bisa menyembunyikan kerinduanku. Aku benar-benar berterimakasih pada seseorang yang ada disampingku. Ia telah berhasil membawaku menemui Ayah walau sudah beberapa kali aku menolak.
                
“Ayah, juga rindu padamu, sayang” ayah berjalan mendekatiku dan memelukku.
                
Inikah yang menjadi ketakutanku?. Aku takut bertemu dengannya, aku takut hanya bisa menatapnya dengan kebencian yang mendalam dan tak bisa menyampaikan hal yang paling ingin kukatakan. Aku Rindu Ayah, rindu saat bersama melihat senja juga Ibu.
                
“Selamat Ulang Tahun,Sayang” Ucap Ayah sambil memberiku sebuah kotak berwarna biru dengan pita kuning. Aku terharu, kalimat itu yang sudah 15 tahun yang lalu ku nantikan.
                
“Dan ini untuk calon cucu Ayah” bungkusannya besar.
                
“Ayah....”
                
Ayah tersenyum. Raut wajahnya bercampur antara bahagia dan senang.
                
Kebahagiaan ini belum berakhir kan?
                
Aku ingin terus kebahagiaan hadir selalu dihidupku, dihidup seseorang yang memegang hangat tanganku, dan calon bayiku serta Ayah.
                
Seseorang disampingku, yang akan menjadi seorang Ayah, suamiku. Aku terus membisikkan kata padanya, agar ia jangan meninggalkanku juga anakku nantinya, aku tidak ingin lukaku ini tidak dimiliki oleh anakku.
                
“Hari ini bagaimana kita melihat senja bersama, Ayah sudah Rindu”
                
Ayah sama sepertiku, ia tak sanggup menikmati sunset, teringat kenangan yang membuat orang tersayang terlukai oleh sikapnya.
                
“iya, Ayah”
                
Peristiwa detik-detik matahari terbenam memberi banyak pelajaran, untukku, untuk Ayah dan untuk suamiku. Tiba-tiba saja aku merasakn kehadiran ibu disampingku. Ia tersenyum, senyum yang indah.
               
Aku, Sayantika Rahma. Aku biasa dipanggil ‘Sayang’ oleh orang terdekatku, dan seseorang disampingku adalah teman masa kecilku, dia juga menemaniku melihat sunset saat permintaan Ibu terakhir kalinya. Aku mencintainya karena Allah.
                
Cerita ini adalah sebuah kerinduan akan Senja dikala waktu itu, bersama yang tersayang.
                                                               
TAMAT
Rindu Senja
By: IsyaRayle

Pekanbaru, 15 Maret 2016. Di sebuah kamar kecilku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar