Selasa, 22 Maret 2016

Rindu Senja Part II ( Pertemuan )

Aku hanya termangu melihat koper yang sudah rapi. Seseorang itu menyiapkan semua perlengkapan yang akan digunakan saat berpegian nanti.
               
“aku sudah menyiapkan semuanya, kamu cukup duduk tenang disana”
                
Seseorang itu menyiapkan koper yang satu lagi, dengan tangan yang cekatan mengambil barang-barang untuk berpergian. Aku terus menatapnya yang tengah sibuk.
                
“aku tidak mau pergi” kataku dingin.
                
Seseorang itu tetap diam saja, tidak mengacuhkan perkataanku. Aku mendengus kesal.
                
“aku tidak mau pergi, aku tidak mau pergi, sudahku bilang aku baik-baik saja, aku tidak perlu pergi,seharusnya ka........”
               
  “sayang”
                
Aku terdiam.
                
“ini sudah kesekian kalinya kamu menolak, kita tidak bisa terus-terusan begini, kamu harus menemuinya” jawabnya lembut. “sampaikan apa yang ingin kamu katakan padanya”
                
Aku tetap saja diam.
                
Semua perlengkapan sudah lengkap. Seseorang itu mendekatiku dan memegang tanganku.
                
“ada aku disini, kamu akan baik-baik saja, aku juga ingin menemuinya, jadi jangan khawatir”
                
Aku tidak menatapnya. Aku terus menunduk, pandanganku terpaku pada kakiku yang semakin membengkak.
                
“ayo kita pergi,sayang”
                                                                                ***

                
Kesuksesan yang ingin segeraku bawa pulang dan kuhadapkan pada ibu, membuat jantungku berdebar. Rasa rindu yang membuncah ini, rasa yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata, rasa yang tak bisa digambarkan. Dalam perjalanan pulang. Aku menatap keluar jendela. Langit senja, burung yang terbang bersama kawanannya, matahari yang semakin terlihat rendah.
                
“se..senja” aku termangu.
                
Dan ketermangu-anku berlanjut berubah menjadi keterkejutan yang amat luar biasa. Sesampai dirumah, aku mendapati kabar ibu jatuh sakit, mereka yang selama ini menemani ibu tidak berani mengabari kabar ibu sakit karena ibu sendiri yang melarang. Sakit yang sudah seminggu berlalu, itulah kenapa ibu tidak bisa datang dihari wisudaku. Lemah, semua badanku terasa lemah. Hari-hari yang seharusnya tersulam dengan kebahagian menjadi sebuah kesedihan. Ibu tak kunjung sembuh. Semua rencanaku di kota harus dipending demi kesehatan ibu.
                
“ibu, cepat sembuh” aku bisikkan kata itu ditelinga ibu. Ibu hanya mampu menangis.
                
Sakit ibu tak kunjung sembuh. Aku hampir putus asa. Semua sudah dilakukan untuk kesembuhan ibu.
                
“ibu,apa ibu ada keinginan? Aku akan mengabulkannya, asal ibu bisa sembuh”
                
Saat itu, ibu hanya tersenyum menatapku, matanya mengalir.
                
“apa ada permintaan khusus dari ibu?, sampaikanlah” mengabulkan apa yang sangat diinginkan oleh orang yang sakit bisa memberikan kesembuhan tersendiri, jika hatinya senang maka seluruh anggota tubuhnya juga ikut merespon kesenangan itu.
                
“sen....senja...ibu..mau..lihat..matahari...terbenam...” jawab ibu lemah.aku tertegun. Sudah lama tidak melihat matahari terbenam bersama.
                
“apa itu yang ibu inginkan?”
               
  Ibu mengangguk.
                
“baiklah, 2 jam lagi kita ke pantai, sekarang masih belum sore,aku siapkan perlengkapan dulu untuk pergi kesana”
                
Aku menghubungi beberapa orang untuk membantuku membawa ibu kepantai. Salah seorang teman masa kecilku menawarkan bantuannya ketika ia mendengar kabar bahwa aku ingin membawa ibu kepantai. Aku tidak menolaknya, aku sungguh berterima kasih.
               
 Detik-detik matahari terbenam. Ibu terus menatap matahari, senyumnya terkembang, aku tidak melihat matahari sama sekali, aku justru menatap ibu. Dibayanganku ibu berubah menjadi muda ketika aku, Ayah dan Ibu bersama-sama melihat matahari terbenam dulu, dulu sekali. Aku menahan haru.
                
“sayang,” panggil ibu lemah.
                
“iya,ibu”
                
“Ayahmu,....Ayahmu...sangat suka matahari terbenam,tapi ibu sesungguhnya lebih suka melihat matahari terbit,”
                
Aku terdiam. Aku belum pernah mendengar cerita ini, aku mengira bahwa Ayah dan Ibu sama-sama suka dengan pemandang matahari terbenam.
                
“tapi, semenjak menikah dengan Ayahmu, ibu menjadi suka melihat matahari terbenam”
                
“ibu”
                
“sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?” tanya ibu lemah.
                
Aku terkesiap dengan pertanyaan ibu. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
                
“ibu”
                
“ibu, sudah memaafkannya, karena itulah, ibu ingin terakhir bisa melihat senja kali ini, agar ibu bisa mengingat senyum bahagianya itu, sampai hilang semua kesedihan ibu...”
                
“ibu..aku..” aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku menangis, aku memeluk tubuh ibu yang semakin ringkih. Ibu membelai kerudungku. Hingga belaian tangan itu terlepas.
                
“ibuuuu.............”
                
Ibu pergi sebelum sempat aku menjawab tanyanya.
                
Apa aku mau memaafkan Ayah?

                                                                                ***

Next : Rindu Senja Part III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar