Aku hanya termangu melihat koper
yang sudah rapi. Seseorang itu menyiapkan semua perlengkapan yang akan
digunakan saat berpegian nanti.
“aku
sudah menyiapkan semuanya, kamu cukup duduk tenang disana”
Seseorang
itu menyiapkan koper yang satu lagi, dengan tangan yang cekatan mengambil
barang-barang untuk berpergian. Aku terus menatapnya yang tengah sibuk.
“aku
tidak mau pergi” kataku dingin.
Seseorang
itu tetap diam saja, tidak mengacuhkan perkataanku. Aku mendengus kesal.
“aku
tidak mau pergi, aku tidak mau pergi, sudahku bilang aku baik-baik saja, aku
tidak perlu pergi,seharusnya ka........”
“sayang”
Aku
terdiam.
“ini
sudah kesekian kalinya kamu menolak, kita tidak bisa terus-terusan begini, kamu
harus menemuinya” jawabnya lembut. “sampaikan apa yang ingin kamu katakan
padanya”
Aku
tetap saja diam.
Semua
perlengkapan sudah lengkap. Seseorang itu mendekatiku dan memegang tanganku.
“ada
aku disini, kamu akan baik-baik saja, aku juga ingin menemuinya, jadi jangan
khawatir”
Aku
tidak menatapnya. Aku terus menunduk, pandanganku terpaku pada kakiku yang
semakin membengkak.
“ayo
kita pergi,sayang”
***
Kesuksesan
yang ingin segeraku bawa pulang dan kuhadapkan pada ibu, membuat jantungku
berdebar. Rasa rindu yang membuncah ini, rasa yang tak bisa diterjemahkan
dengan kata-kata, rasa yang tak bisa digambarkan. Dalam perjalanan pulang. Aku
menatap keluar jendela. Langit senja, burung yang terbang bersama kawanannya,
matahari yang semakin terlihat rendah.
“se..senja”
aku termangu.
Dan
ketermangu-anku berlanjut berubah menjadi keterkejutan yang amat luar biasa.
Sesampai dirumah, aku mendapati kabar ibu jatuh sakit, mereka yang selama ini
menemani ibu tidak berani mengabari kabar ibu sakit karena ibu sendiri yang
melarang. Sakit yang sudah seminggu berlalu, itulah kenapa ibu tidak bisa datang
dihari wisudaku. Lemah, semua badanku terasa lemah. Hari-hari yang seharusnya
tersulam dengan kebahagian menjadi sebuah kesedihan. Ibu tak kunjung sembuh.
Semua rencanaku di kota harus dipending demi kesehatan ibu.
“ibu,
cepat sembuh” aku bisikkan kata itu ditelinga ibu. Ibu hanya mampu menangis.
Sakit
ibu tak kunjung sembuh. Aku hampir putus asa. Semua sudah dilakukan untuk
kesembuhan ibu.
“ibu,apa
ibu ada keinginan? Aku akan mengabulkannya, asal ibu bisa sembuh”
Saat
itu, ibu hanya tersenyum menatapku, matanya mengalir.
“apa
ada permintaan khusus dari ibu?, sampaikanlah” mengabulkan apa yang sangat
diinginkan oleh orang yang sakit bisa memberikan kesembuhan tersendiri, jika
hatinya senang maka seluruh anggota tubuhnya juga ikut merespon kesenangan itu.
“sen....senja...ibu..mau..lihat..matahari...terbenam...”
jawab ibu lemah.aku tertegun. Sudah lama tidak melihat matahari terbenam
bersama.
“apa
itu yang ibu inginkan?”
Ibu
mengangguk.
“baiklah,
2 jam lagi kita ke pantai, sekarang masih belum sore,aku siapkan perlengkapan
dulu untuk pergi kesana”
Aku
menghubungi beberapa orang untuk membantuku membawa ibu kepantai. Salah seorang
teman masa kecilku menawarkan bantuannya ketika ia mendengar kabar bahwa aku
ingin membawa ibu kepantai. Aku tidak menolaknya, aku sungguh berterima kasih.
Detik-detik
matahari terbenam. Ibu terus menatap matahari, senyumnya terkembang, aku tidak
melihat matahari sama sekali, aku justru menatap ibu. Dibayanganku ibu berubah
menjadi muda ketika aku, Ayah dan Ibu bersama-sama melihat matahari terbenam
dulu, dulu sekali. Aku menahan haru.
“sayang,”
panggil ibu lemah.
“iya,ibu”
“Ayahmu,....Ayahmu...sangat
suka matahari terbenam,tapi ibu sesungguhnya lebih suka melihat matahari terbit,”
Aku
terdiam. Aku belum pernah mendengar cerita ini, aku mengira bahwa Ayah dan Ibu
sama-sama suka dengan pemandang matahari terbenam.
“tapi,
semenjak menikah dengan Ayahmu, ibu menjadi suka melihat matahari terbenam”
“ibu”
“sayang,
kamu maukan memaafkan Ayahmu?” tanya ibu lemah.
Aku
terkesiap dengan pertanyaan ibu. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
“ibu”
“ibu,
sudah memaafkannya, karena itulah, ibu ingin terakhir bisa melihat senja kali
ini, agar ibu bisa mengingat senyum bahagianya itu, sampai hilang semua
kesedihan ibu...”
“ibu..aku..”
aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku menangis, aku memeluk tubuh ibu yang
semakin ringkih. Ibu membelai kerudungku. Hingga belaian tangan itu terlepas.
“ibuuuu.............”
Ibu
pergi sebelum sempat aku menjawab tanyanya.
Apa aku mau memaafkan Ayah?
***
Next : Rindu Senja Part III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar