Janji di Langit senja
By: IsyaRayLe
Support Puisi by: Lara Aprilia wina
Pagi
itu paman Rafi datang, Saudara jauh dari Abah yang telah berperan besar dalam
membantu Nia mendapat S2.
“Jadi,
kamu sudah memantapkan jawabanmu?”
“InsyaAllah,Paman”
“Sudah
baca kontraknya?”
Nia
terdiam sejenak. “Sudah,Paman”
“Baiklah,
kalau begitu besok kita berangkat ke Jakarta, mengurus segala keperluanmu ke
Turki”
“Baik,
Paman”
Abah
tiba-tiba penasaran dengan ekpresi wajah anak gadisnya yang sudah berumur 23
Tahun itu.
“Memangnya
isi kontraknya apa?”
“Banyak,
Bang” jawab Paman Rafi “salah satunya Nia tidak boleh menikah sampai study-nya
selesai”
Abah
tertegun mendengar hal itu dan menoleh ke wajah anaknya.
Nia
tersenyum simpul. Senyum mengartikan bahwa ia akan baik-baik saja.
Melihat
senyum itu Abahnya menghela nafas panjang.
“Selama
di sana ku titip anak gadisku satu-satunya ya Rafi, tolong bombing dia”
“InsyaAllah
bang, Tenang saja, abang bisa mempercayaiku”.
Sorenya
ketika Paman Rafi pamit, Nia bergegas mem-packing barang-barang yang
diperlukan, semua benda-benda kesanyangannya, boneka imut Pikachunya juga tidak
mau ketinggalan. Semua keperluannya seperti, koper, baju, keperluan pribadi sudah
ia siapkan jauh-jauh hari, dan sore ini hanya melengkapi mana saja yang kurang.
Ketika tengah sibuk dengan aktivitasnya, ia mendengar sayup-sayup suara tamu
yang datang ke rumahnya. Suara beberapa laki-laki dan Ibu Nia terdengar
menyambut hangat mereka.
“Salim?
Akhirnya kamu datang lagi, kemarin ibu sempat nanya kamu sudah ketemu dengan
Nia apa belum?”
Demi
mendengar percakapan yang terdengar sayup-sayup itu Nia mengehentikan
kegiatannya dan mengarahkan kupinya ke pintu kamarnya.
Tiba-tiba
saja ibu membuka pintu kamar saat Nia sedang asyik berdiri dalam posisi orang
yang menguping.
“Nia?”
lihat ibu heran.
“Eh..ibu”
Nia hanya senyum cengengesan.
“Salim
datang tuh, kamu sambut sana, ibu siapkan the buat mereka, kamu yang antar ya?”
Rasanya
jantung Nia belum siap bertemu Salim. Ia langsung sibuk dengan kegiatan
barunya, memikirkan bagaimana cara memulai untuk menyapanya setelah 5 tahun
bersih tidak pernah bertemu dan kontak dengannya.
“Jangan
bengong, ayo cepat ke dapur sama Ibu”
“Ibu
sendiri aja deh, Nia masih ada kerjaan”
“Kamu
barusan nolak nih?”
Nia
akhirnya menyerah.
Ia sudah bersiap membawa nampan yang berisi
tiga cangkir dan sepiring berisi cemilan khas kampungnya. Ia berjalan perlahan
dan sudah sampai di ruang tamu. Sejenak pembicaraan mereka sempat terhenti
ketika Nia berlutut meletakkan nampan diatas meja dan menghidangkan teh
masing-masing untuk tamu dan Abahnya.
“Nah
ini Nia,kamu masih ingat?” Kata Abah ketika Nia sudah hampir siap menghidangkan
dan ingin berdiri secepat mungkin kembali ke dapur.
“Tentu
saja ingat, Pak. Dia masih belum berubah, masih saja tetap mungil”
Nia
yang masih belum berani menoleh terlihat kesal sekali dibilang mungil walau
kenyataannya begitu.
Salim
masih belum berubah sepertinya, pikir Nia. Ia masih ingat bagaiamana Salim
dulu, dekil dengan rambut ikalnya yang lebat dengn alis matanya yang banyak
dipuja wanita di SMA dulu, walau itu hanya terlihat biasa bagi Nia.
Nia
pun mulai berdiri dan memberi salam.
“Assalamu’alaikum,
Salim, sudah lama tidak bertemu, apa kabar? Kamu masih jail seperti dulu ya,
dan juga-“ hampir saja Nia mengatakan dekil ketika ia meihat dengan sangat
jelas, bahwa Salim yang dulu dan sekarang jauh berbeda, ia sangat putih dengan
rambut poninya dan gaya kemeja biru toscanya menambah kontras antara warna baju
dan kulitnya. Nia hampir-hampir tidak percaya, ia lalu melihat orang
disebelahnya mungkin saja dia salah seorang, ia lalu memperhatikan orang itu
sungguh jauh berbeda, ia botak dan berbadan besar.
Seorang
itu pun menyadari Nia yang mungkin mengira dia adalah Salim, temannya. Ia pun
buru-buru menunjuk-nunjuk sambil mengatakan ‘ini salim’.
“dan
juga?” buru Laki-laki berkulit putih itu.
“Dan
juga berubah”
Nia
salah tingkah. Ia pun permisi kembali ke dapur sambil membawa lari nampan.
Sesampai
di dapur ia mengambil nafas panjang, sepertinya ia dari tadi berhenti bernafas.
“Kamu
sesak begitu, ini minum air putih dulu” ibu menyodorkan Nia segelas air
“pelan-pelan saja jangan buru-buru”
“Ibu
lihat perbedaan Salim dulu dengan Salim yang sekarang tidak?”
“Iya,
ibu melihatnya dengan jelas”
“Dia
itu dulu dekil, rambut ikal dengan alisnya beriring. Sekarang, dia beda
banget,buuuu..”
“Astaghfirullah,Nia,
jangan ngehina begitu”
“Bukan
menghina ibu, Nia cuman bicara fakta. Atau jangan-jangan di bukan Salim yang
asli”
“Bagaimana
bisa? Sekalipun ia sekarang sudah jadi cowker-“
“Cowker?”
Nia mengerinyitkan dahinya.
“Cowok
keren, kayak yang di tv itu. dia juga masih tetap sama seperti Salim yang dulu”
“Iya,
jailnya yang selalu mengejekku”
Ibu
cuman menahan ketawa.
“Nia”
tiba-tiba Ayah sudah berada didapur dan mendekati putrinya.
“Ya,
Ayah”
“Salim
ingin mengajakmu keluar sebentar sambil gowes sepeda”
“gowes
sepeda? Tapi ini kan sudah sore, Yah”
“Justru
itu dia ingin mengajakmu keluar, ditemani juga sama Bang ipul, jadi kalian
bertiga”
Nia
menoleh ke Ibu, ibu mengangguk setuju.
Tidak
banyak kata-kata yang keluar dari mereka berdua. Salim yang tadinya sudah mulai
jail mengejek Nia mungil, saat itu lebih banyak diam.
Bang
ipul yang ikut mengayuh sepeda memperhatikan mereka berdua dari belakang yang
hanya diam saja. Ia pun berpikir sejenak dan setelah itu mengayuh sepedanya
kencang dan berusaha sejajar dengan Salim.
“Salim,
Abang pulang duluan ya, kalian bicara saja berdua, pasti ada yang kamu
sampaikan, kan? Ada abang buat kamu jadi segan”
“Gak
kok bang,santai aja”
“Abang
puluan saja, maimunah nanti cemas nungguin, oke” Bang ipul pun mengayuh sepeda
dengan kencang meningglkan Salim dan Nia di perjalanan itu.
Jarak
mereka cukup jauh. Nia sengaja memperlambat kayuh sepedanya.
Tiba-tiba
saja Salim berhenti dan menatap takjub langit senja waktu itu. Nia mengetahui
hal itu saat ia juga ikut berhenti dan menoleh ke arah Salim memandang.
Benar-benar
lukisan alam yang indah, sungguh Maha Besar Allah menghadirkan pesona nan
ngarai ini.
“Begitu
indah lukisan alam yang terhampar diujung senja, pancaran keemasan yang
menambah pesona ngarai, terkagum-kagum mata memandang, terasa kelu lidah
merangkai puji, tak tertanding walau lautan menjadi tinta dan pepohanan menjadi
pena untuk melukiskan rasa syukur pesona jingga mega-mega”
Nia
terdiam mendengar kata-kata yang diucapnya. Kata-kata itu selalu ia ucapkan
jika memandang langit senja diwaktu-waktu itu. puisi pendek itu juga pernah ia
bacakan dihadapan puluhan teman satu kelasnya, namun mereka menertawakan
puisinya yang tidak begitu menarik, terlalu sederhana dan biasa. Namun tidak
bagi, Salim. Walau terlihat tidak peduli dengan puisi itu Salim ternyata masih
hafal dengan kalimat itu yang mungkin Nia sendiri malah tidak begitu ingat.
Matanya
berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Salim masih mengingatnya.
“Aku
masih saja ingat puisi aneh itu tiap memandang senja”
Hati
nia terasa hancur berkeping-keping. Seketika matanya yang berkaca-kaca menjadi
kering.
“Aku
sering bertanya-tanya kenapa aku masih saja ingat, setelah lima tahun tidak
pernah bertemu denganmu lagi dan tidak kontak sama sekali, tapi aku masih ingat
tentangmu dan tentunya puisi aneh itu”
Nia
sudah benar-benar kesal, dan ia semakin yakin walau laki-laki itu sudah banyak
berubah dari segi penampilah, namun dari tingkah laku dan perangai sangat sulit
untuk diubah.
“Sama,
kamu masih saja meledek puisiku”
“Aku
tidak meledek puisimu, aku hanya mengatakan aneh, kamu saja yang tidak peduli
bahwa ternyata aku juga suka dengan puisi”
Nia
menatap tidak percaya.
“Aku
dengar kamu akan ke Turki”
“Ya,
insyaAllah, besok aku akan berangkat ke Jakarta mengurus semua keperluan di
Turki nanti. Oh ya, aku dengar sudah sebulan kamu disini, kenapa..kamu..-“ Nia
sedikit ragu untuk menanyakan kenapa Salim baru menemuinya sekarang.
“Aku
ada banyak urusan, dan juga aku akan pergi besok”
“Benarkah?
Kemana?”
“Ketempat
yang jauh”
“Jawabannya
tidak spesifik”
“Kamu
masih ingat?” Tiba-tiba Salim mengganti topik pembicaraan “Jika melihat
pemandangan sore ini ingat akan langit senja waktu itu?”
Nia
tertegun.
Salim
menatapnya dengan senyum jail dan kembali memandang langit yang mulai semakin
menjingga.
“Aku
masih mengingatnya dan menyimpannya disini” Salim menunjuk hatinya.
“Aku-aku
ingat, tapi itu sudah lama sekali”
“Ya
jelas , tapi aku masih merasa itu belum lama sekali, aku benar-benar kesal, apa
karena kejadian itu kamu bahkan tidak menghubungiku dan tidak mau bertemu
denganku-“
“Siapa
yang tidak mau bertemu denganmu?”
“Setelah
lulus dri SMA, tiap tahun aku selalu kesini, tapi tidak pernah sekalipun
bertemu denganmu, aku juga menghubungimu tapi tidak pernah kamu angkat, apa
kamu begitu membenciku?”
“A-aku
tidak membencimu sama sekali, aku memang sudah jarang pulang kampung, dan
masalah telpon aku tidak begitu memperhatikan, aku juga tidak tahu kalau itu
nomor kamu, setidaknya kamu memberitahuku dengan sms atau hal lainnya-“
“Sudahlah,
tidak perlu diributkan” jawab Salim dengan tenang.
Nia
benar-benar kesal dan tidak habis pikir, siapa yang duluan meributkan tentang
telpon dengan tenangnya mengatakan tidak perlu diributkan.
“Semoga
kamu sukses dengan S2 mu“
“Semoga
kamu juga sukses, walau aku tidak tahu dimana ‘tempat yang jauh’ kamu maksudkan
itu”
Salim
tertawa lepas mendengar perkataan Nia.
“aku
ingin pulang sudah semakin sore”
“Tunggu
dulu, masih ada hal yang ingin kukatakan, ini pertemuan kita terakhir dan tidak
tahu kapan akan bertemu lagi”
“Apakah
sepenting itu? sampai harus mengatakannya sekarang”
“Penting,
dengarkan baik-baik. Jika setelah ini kita bertemu lagi dibawah langit senja
seperti ini,” Salim terdiam cukup lama untuk melanjutkan kalimat berikutnya”Aku
akan melamarmu” sambil tersenyum memandang Nia.
Nia
tertegun mendengar kalimat Salim barusan. Gadis berjilbab biru itu terdiam. ia
tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Tentu
saja jika kamu masih belum menikah dan sedang tidak dikhitbah” Kata Salim
dengan tenang.
“Kamu,kamu
serius? Kamu bercanda kan”
“Untuk
apa aku bercanda mengatakannya, sekalipun itu terdengar canda hal itu tentu
perkara serius”
Nia
hanya terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa.
“Sebaiknya kita harus
segera pulang, senja semakin dipenghujung” Salim memutar pedal sepeda dan
mengayuhnya perlahan, ia masih ingin merasakan udara sejuk sore itu.
Bersambung...
Part IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar