Minggu, 29 Januari 2017

Janji di Langit Senja Part III

Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

Pagi itu paman Rafi datang, Saudara jauh dari Abah yang telah berperan besar dalam membantu Nia mendapat S2.
“Jadi, kamu sudah memantapkan jawabanmu?”
“InsyaAllah,Paman”
“Sudah baca kontraknya?”
Nia terdiam sejenak. “Sudah,Paman”
“Baiklah, kalau begitu besok kita berangkat ke Jakarta, mengurus segala keperluanmu ke Turki”
“Baik, Paman”
Abah tiba-tiba penasaran dengan ekpresi wajah anak gadisnya yang sudah berumur 23 Tahun itu.
“Memangnya isi kontraknya apa?”
“Banyak, Bang” jawab Paman Rafi “salah satunya Nia tidak boleh menikah sampai study-nya selesai”
Abah tertegun mendengar hal itu dan menoleh ke wajah anaknya.
Nia tersenyum simpul. Senyum mengartikan bahwa ia akan baik-baik saja.
Melihat senyum itu Abahnya menghela nafas panjang.
“Selama di sana ku titip anak gadisku satu-satunya ya Rafi, tolong bombing dia”
“InsyaAllah bang, Tenang saja, abang bisa mempercayaiku”.

Sorenya ketika Paman Rafi pamit, Nia bergegas mem-packing barang-barang yang diperlukan, semua benda-benda kesanyangannya, boneka imut Pikachunya juga tidak mau ketinggalan. Semua keperluannya seperti, koper, baju, keperluan pribadi sudah ia siapkan jauh-jauh hari, dan sore ini hanya melengkapi mana saja yang kurang. Ketika tengah sibuk dengan aktivitasnya, ia mendengar sayup-sayup suara tamu yang datang ke rumahnya. Suara beberapa laki-laki dan Ibu Nia terdengar menyambut hangat mereka.
“Salim? Akhirnya kamu datang lagi, kemarin ibu sempat nanya kamu sudah ketemu dengan Nia apa belum?”
Demi mendengar percakapan yang terdengar sayup-sayup itu Nia mengehentikan kegiatannya dan mengarahkan kupinya ke pintu kamarnya.
Tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamar saat Nia sedang asyik berdiri dalam posisi orang yang menguping.
“Nia?” lihat ibu heran.
“Eh..ibu” Nia hanya senyum cengengesan.
“Salim datang tuh, kamu sambut sana, ibu siapkan the buat mereka, kamu yang antar ya?”
Rasanya jantung Nia belum siap bertemu Salim. Ia langsung sibuk dengan kegiatan barunya, memikirkan bagaimana cara memulai untuk menyapanya setelah 5 tahun bersih tidak pernah bertemu dan kontak dengannya.
“Jangan bengong, ayo cepat ke dapur sama Ibu”
“Ibu sendiri aja deh, Nia masih ada kerjaan”
“Kamu barusan nolak nih?”
Nia akhirnya menyerah.
 Ia sudah bersiap membawa nampan yang berisi tiga cangkir dan sepiring berisi cemilan khas kampungnya. Ia berjalan perlahan dan sudah sampai di ruang tamu. Sejenak pembicaraan mereka sempat terhenti ketika Nia berlutut meletakkan nampan diatas meja dan menghidangkan teh masing-masing untuk tamu dan Abahnya.
“Nah ini Nia,kamu masih ingat?” Kata Abah ketika Nia sudah hampir siap menghidangkan dan ingin berdiri secepat mungkin kembali ke dapur.
“Tentu saja ingat, Pak. Dia masih belum berubah, masih saja tetap mungil”
Nia yang masih belum berani menoleh terlihat kesal sekali dibilang mungil walau kenyataannya begitu.
Salim masih belum berubah sepertinya, pikir Nia. Ia masih ingat bagaiamana Salim dulu, dekil dengan rambut ikalnya yang lebat dengn alis matanya yang banyak dipuja wanita di SMA dulu, walau itu hanya terlihat biasa bagi Nia.
Nia pun mulai berdiri dan memberi salam.
“Assalamu’alaikum, Salim, sudah lama tidak bertemu, apa kabar? Kamu masih jail seperti dulu ya, dan juga-“ hampir saja Nia mengatakan dekil ketika ia meihat dengan sangat jelas, bahwa Salim yang dulu dan sekarang jauh berbeda, ia sangat putih dengan rambut poninya dan gaya kemeja biru toscanya menambah kontras antara warna baju dan kulitnya. Nia hampir-hampir tidak percaya, ia lalu melihat orang disebelahnya mungkin saja dia salah seorang, ia lalu memperhatikan orang itu sungguh jauh berbeda, ia botak dan berbadan besar.
Seorang itu pun menyadari Nia yang mungkin mengira dia adalah Salim, temannya. Ia pun buru-buru menunjuk-nunjuk sambil mengatakan ‘ini salim’.
“dan juga?” buru Laki-laki berkulit putih itu.
“Dan juga berubah”
Nia salah tingkah. Ia pun permisi kembali ke dapur sambil membawa lari nampan.
Sesampai di dapur ia mengambil nafas panjang, sepertinya ia dari tadi berhenti bernafas.
“Kamu sesak begitu, ini minum air putih dulu” ibu menyodorkan Nia segelas air “pelan-pelan saja jangan buru-buru”
“Ibu lihat perbedaan Salim dulu dengan Salim yang sekarang tidak?”
“Iya, ibu melihatnya dengan jelas”
“Dia itu dulu dekil, rambut ikal dengan alisnya beriring. Sekarang, dia beda banget,buuuu..”
“Astaghfirullah,Nia, jangan ngehina begitu”
“Bukan menghina ibu, Nia cuman bicara fakta. Atau jangan-jangan di bukan Salim yang asli”
“Bagaimana bisa? Sekalipun ia sekarang sudah jadi cowker-“
“Cowker?” Nia mengerinyitkan dahinya.
“Cowok keren, kayak yang di tv itu. dia juga masih tetap sama seperti Salim yang dulu”
“Iya, jailnya yang selalu mengejekku”
Ibu cuman menahan ketawa.
“Nia” tiba-tiba Ayah sudah berada didapur dan mendekati putrinya.
“Ya, Ayah”
“Salim ingin mengajakmu keluar sebentar sambil gowes sepeda”
“gowes sepeda? Tapi ini kan sudah sore, Yah”
“Justru itu dia ingin mengajakmu keluar, ditemani juga sama Bang ipul, jadi kalian bertiga”
Nia menoleh ke Ibu, ibu mengangguk setuju.
Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mereka berdua. Salim yang tadinya sudah mulai jail mengejek Nia mungil, saat itu lebih banyak diam.
Bang ipul yang ikut mengayuh sepeda memperhatikan mereka berdua dari belakang yang hanya diam saja. Ia pun berpikir sejenak dan setelah itu mengayuh sepedanya kencang dan berusaha sejajar dengan Salim.
“Salim, Abang pulang duluan ya, kalian bicara saja berdua, pasti ada yang kamu sampaikan, kan? Ada abang buat kamu jadi segan”
“Gak kok bang,santai aja”
“Abang puluan saja, maimunah nanti cemas nungguin, oke” Bang ipul pun mengayuh sepeda dengan kencang meningglkan Salim dan Nia di perjalanan itu.
Jarak mereka cukup jauh. Nia sengaja memperlambat kayuh sepedanya.
Tiba-tiba saja Salim berhenti dan menatap takjub langit senja waktu itu. Nia mengetahui hal itu saat ia juga ikut berhenti dan menoleh ke arah Salim memandang.
Benar-benar lukisan alam yang indah, sungguh Maha Besar Allah menghadirkan pesona nan ngarai ini.
“Begitu indah lukisan alam yang terhampar diujung senja, pancaran keemasan yang menambah pesona ngarai, terkagum-kagum mata memandang, terasa kelu lidah merangkai puji, tak tertanding walau lautan menjadi tinta dan pepohanan menjadi pena untuk melukiskan rasa syukur pesona jingga mega-mega”
Nia terdiam mendengar kata-kata yang diucapnya. Kata-kata itu selalu ia ucapkan jika memandang langit senja diwaktu-waktu itu. puisi pendek itu juga pernah ia bacakan dihadapan puluhan teman satu kelasnya, namun mereka menertawakan puisinya yang tidak begitu menarik, terlalu sederhana dan biasa. Namun tidak bagi, Salim. Walau terlihat tidak peduli dengan puisi itu Salim ternyata masih hafal dengan kalimat itu yang mungkin Nia sendiri malah tidak begitu ingat.
Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Salim masih mengingatnya.
“Aku masih saja ingat puisi aneh itu tiap memandang senja”
Hati nia terasa hancur berkeping-keping. Seketika matanya yang berkaca-kaca menjadi kering.
“Aku sering bertanya-tanya kenapa aku masih saja ingat, setelah lima tahun tidak pernah bertemu denganmu lagi dan tidak kontak sama sekali, tapi aku masih ingat tentangmu dan tentunya puisi aneh itu”
Nia sudah benar-benar kesal, dan ia semakin yakin walau laki-laki itu sudah banyak berubah dari segi penampilah, namun dari tingkah laku dan perangai sangat sulit untuk diubah.
“Sama, kamu masih saja meledek puisiku”
“Aku tidak meledek puisimu, aku hanya mengatakan aneh, kamu saja yang tidak peduli bahwa ternyata aku juga suka dengan puisi”
Nia menatap tidak percaya.
“Aku dengar kamu akan ke Turki”
“Ya, insyaAllah, besok aku akan berangkat ke Jakarta mengurus semua keperluan di Turki nanti. Oh ya, aku dengar sudah sebulan kamu disini, kenapa..kamu..-“ Nia sedikit ragu untuk menanyakan kenapa Salim baru menemuinya sekarang.
“Aku ada banyak urusan, dan juga aku akan pergi besok”
“Benarkah? Kemana?”
“Ketempat yang jauh”
“Jawabannya tidak spesifik”
“Kamu masih ingat?” Tiba-tiba Salim mengganti topik pembicaraan “Jika melihat pemandangan sore ini ingat akan langit senja waktu itu?”
Nia tertegun.
Salim menatapnya dengan senyum jail dan kembali memandang langit yang mulai semakin menjingga.
“Aku masih mengingatnya dan menyimpannya disini” Salim menunjuk hatinya.
“Aku-aku ingat, tapi itu sudah lama sekali”
“Ya jelas , tapi aku masih merasa itu belum lama sekali, aku benar-benar kesal, apa karena kejadian itu kamu bahkan tidak menghubungiku dan tidak mau bertemu denganku-“
“Siapa yang tidak mau bertemu denganmu?”
“Setelah lulus dri SMA, tiap tahun aku selalu kesini, tapi tidak pernah sekalipun bertemu denganmu, aku juga menghubungimu tapi tidak pernah kamu angkat, apa kamu begitu membenciku?”
“A-aku tidak membencimu sama sekali, aku memang sudah jarang pulang kampung, dan masalah telpon aku tidak begitu memperhatikan, aku juga tidak tahu kalau itu nomor kamu, setidaknya kamu memberitahuku dengan sms atau hal lainnya-“
“Sudahlah, tidak perlu diributkan” jawab Salim dengan tenang.
Nia benar-benar kesal dan tidak habis pikir, siapa yang duluan meributkan tentang telpon dengan tenangnya mengatakan tidak perlu diributkan.
“Semoga kamu sukses dengan S2 mu“
“Semoga kamu juga sukses, walau aku tidak tahu dimana ‘tempat yang jauh’ kamu maksudkan itu”
Salim tertawa lepas mendengar perkataan Nia.
“aku ingin pulang sudah semakin sore”
“Tunggu dulu, masih ada hal yang ingin kukatakan, ini pertemuan kita terakhir dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi”
“Apakah sepenting itu? sampai harus mengatakannya sekarang”
“Penting, dengarkan baik-baik. Jika setelah ini kita bertemu lagi dibawah langit senja seperti ini,” Salim terdiam cukup lama untuk melanjutkan kalimat berikutnya”Aku akan melamarmu” sambil tersenyum memandang Nia.
Nia tertegun mendengar kalimat Salim barusan. Gadis berjilbab biru itu terdiam. ia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Tentu saja jika kamu masih belum menikah dan sedang tidak dikhitbah” Kata Salim dengan tenang.
“Kamu,kamu serius? Kamu bercanda kan”
“Untuk apa aku bercanda mengatakannya, sekalipun itu terdengar canda hal itu tentu perkara serius”
Nia hanya terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa.
“Sebaiknya kita harus segera pulang, senja semakin dipenghujung” Salim memutar pedal sepeda dan mengayuhnya perlahan, ia masih ingin merasakan udara sejuk sore itu.

Bersambung...
Part IV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar