Minggu, 29 Januari 2017

Janji di Langit Senja Part IV

Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

Nia  membersihkan jendela pesawat, ia ingin mellihat pemandangan dibawah dengan sempurna. Rumah-rumah yang berbaris kecil dan pepohonan yang begitu hijau serta awan yang menggantung dilangit. Nia sudah berjam-jam dipesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Turki. Ia sudah tidak sabar berada di Negara yang sangat terkenal dengan sejarah berkembangnya islam.
Hari terakhir dia bertemu dengan Salim waktu itu membuatnya berpikir keras, sekaligus tidak tahu seperti apa perasaannya. Ia kembali mengambil diary yang ia tulis ketika SMA, ia kembali membaca salah satu halaman dari diary itu.
Hari ini si neighbor mengatakan hal diluar dugaanku, di hari ketika petang mulai menyapaku, dibawah langit senja yang kukagumi ciptaan-Nya. Kata yang bahkan tidak mampu ku tulis disini. Aku tidak tahu kenapa aku marah ketika ia mengatakannya, terdengar seperti bahwa kami tidak akan bertemu lagi, aku benar-benar sedih dan marah, hingga aku bersikap aneh dan pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan salam perpisahan layaknya seorang teman, wahai Nia yang dimasa depan, aku menulis hal ini agar kamu tahu bahwa si neighbor pernah mengatakan hal itu dibawah langit senja.
Setelah membaca itu, Nia mengambil pena dan secarik kertas. Ia menghela nafas panjang dan mulai menulis dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah siap menulis ia melipat kertas menjadi sama ukurannya dengan buku diary yang berukuran mungil itu, dan menaruhnya kembali di tempat sebelumnya.
*
5 tahun yang lalu.
Nia sedang membaca buku novel yang  baru ia  beli di toko buku dekat pasar, ia sudah lama menabung dengan menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku itu. walau memang larangan membawa buku semacam itu di sekolah, ia tetap nekat membawanya saking penasaran dengan kelanjutan cerita di novel itu. ia fokus dengan kegiatannya hingga tidak peduli seisi kelas ribut dan sibuk bergosip.
Plak.
Meja Nia dihentakkan, membuatnya menutup bukunya dan segera menyembunyikannya dilaci.
“Kalian?” Nia terkejut ternyata ada 3 orang siswi datang dengan wajah penuh emosi. Nia tidak tahu nama mereka masing-masing yang ia tahu mereka siswi yang cukup aktif dalam kegiatan sekolah, ia merasa heran ada urusan apa mereka dengannya.
“Apa kau pacarnya Salim?” salah seorang yang paling cantik dari mereka berteriak dan kembali menghentakkan meja.
“Haah?” Nia benar-benar tidak habis pikir kenapa dia mengatakan hal yang ia sendiri bahkan tidak memikirkan hal itu.
“Kenapa? Kamu tidak mau ngaku?” perempuan itu terus berteriak sehingga seisi kelas menjadi diam serta menghentikan gerakan mereka, sudah seperti patung, bahkan mungkin ada yang berhenti bernafas untuk sesaat.
“Aku bukan pacarnya Salim, dan aku tegaskan, aku tidak punya pacar” Nia sedikit menyesal harus menjelaskan panjang lebar pada orang yang tidak sopan seperti perempuan itu.
“kalau memang benar begitu kenapa Salim menolakku? Hah?”
“Itu bukan urusanku” jawab Nia dingin walau ia setengah terkejut mendengar pengakuannya.
“bukan urusanmu katamu?” perempuan itu menarik tangan Nia dan mencengkramnya “Lalu kenapa kamu mendekatinya? Kenapa kamu begitu dekat dengannya? Karena dirimu orang-orang mulai bingung dengan hubungan kalian, perempuan yang memiliki perasaan dengan Salim resah karena ada wanita sepertimu disekitarnya dan tidak ingin menjauh padahal kalian tidak pacaran, hari ini sudah jelas bahwa kamu hanya penghalang bagiku untuk bisa mendekati Salim-“
Nia berusaha melepaskan cengkaraman dari perempuan itu, ia merintih kesakitan.
“Dengar” kata Nia dengan tetap menahan emosinya “aku dengan Salim hanya tetangga, bukan urusanmu apakah aku dekat atau tidak dengannya, dan juga aku mengerti sampai mana batasan pertemanan antara perempuan dan laki-laki, jika Salim menolakmu jangan langsung menghubungkannya dengan diriku-“
“Kamulah penyebab Salim menolakku, karena Salim bilang bahwa ia meny-“
“Cukup Sarah” Pak Guru datang berusaha menenangkan suasana yang panas. “Sarah kembali ke kelasmu sekarang juga dan lepaskan tangan Nia”
Sarah tidak berkutik. Ia menyerah dan melepaskan tangan Nia dengan kasar, dan tanpa ada kata maaf ia hanya berlalu pergi.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Pak Guru.
Nia mengangguk dan mengelus tangannya yang kesakitan. Pak Guru lalu membubarkan siswa-siswi yang sudah sesak memenuhi kelas dan menyuruh mereka kembali ke kelas masing-masing.
Dalam perjalan pulang sekolah Gadis bertubuh mungil itu masih memikirkan  perkataan perempuan yang bernama Sarah itu. dia penyebab Salim menolaknya? Lalu kalimat terakhir apa yang mau disampaikannya?.
“Neighbor” Teriak Salim dari belakang yang langsung menyusul sepeda Nia dan mensejajarinya.
Nia menoleh sebentar dan tidak berkata apa-apa. Ia malah mempercepat laju sepedanya. Salim melihat hal itu merasa heran namun tidak berusaha mengejarnya.
Malam harinya ketika Nia termangu dimeja belajarnya. Buku diary dan pena yang memenuhi mejanya. Nia menghela nafas panjang. Ia ingin melupakan kejadian tadi siang di sekolah tapi ia juga penasaran dan merasa bersalah karena mengabaikan Salim.
Tok.tok.tok.
Bunyi kaca jendela Nia diketuk dari luar. Tiba-tiba ia mendengar bisikan. Nia kurang begitu jelas mendengarnya hingga ia mendekati jendela.
“Nia..neighbor..hey..buka” itu suara Salim yang berbisik.
Nia sempat ragu ingin membukanya, tapi jika tidak segera buka Salim akan mengetuk kembali dan bisa menganggu Abah dan ibu.
“Salim? Ada apa malam-malam begini?”
“Akhirnya kamu buka juga, aku berniat mencongkel jendela ini kalau belum dibuka juga”
“Kamu gila ya? Ada apa?”
“Iya aku hampir gila memikirkanmu karena mengabaikanku. Kenapa tadi bersikap begitu? Ada masalah? Apa ada yang menganggumu? Katakan?”
“Segitu pentingnya sampai harus begini?”
“Jelas penting, aku tidak bisa tidur jika belum mengetahuinya”
“Tadi siang ada yang marah-marah padaku dan aku kesal, jadinya aku jadi tidak mood dengan siapa pun, maaf”
“marah kenapa?”
Nia sedikit ragu untuk mengatakannya.
“Hey, apa? Apa ini mengenaiku juga?”
“Apa kamu sudah tahu? Oh ya jelas tahu, hampir satu sekolah melihatnya, aku bahkan ingin menyembunyikannya darimu”
“Benar ini mengenaiku?”
“Kamu pasti sudah tahu kan? Kalau tidak kenapa nekat bertanya dalam keadaan begini”
“Hal apa mengenai diriku?”
“Kamu sudah tahu, jadi jangan pura-pura tidak tahu” Nia tampak kesal.
“Aku tidak tahu makanya aku bertanya”
“Dia bilang kamu menolak perasaannya dan aku menjadi penyebab hal itu” Nia dengan nada kesal dan terpaksa mengatakannya.
Salim hanya terdiam.
“Ka-kamu kenapa diam?”
“Lalu, apa yang kamu katakan?”
“Tentu saja aku kesal, kenapa aku jadi penyebabnya, dia mengira aku pacaran denganmu padahal kita hanya tetangga dan berteman baik tidak lebih dari itu- “
“Heum ternyata hanya salah paham”
“Maka dari itu aku ingin menjaga jarak denganmu agar orang lain tidak salah paham, tapi aku tidak tahu harus bagaimana padahal aku sudah memikirkannya seharian”
“Permasalahan hal ini tidak hanya cukup dengan memikirkannya dalam sehari, kamu harus memberi tahuku jadi aku juga tidak salah paham atas sikapmu. Itulah kenapa aku berusaha untuk mengetahuinya sebelum semakin jauh dan canggung untuk menanyakannya”
“Maafkan aku-“
“Maafkanku, sebagai seorang teman aku sudah membawamu dalam masalah, dan sebagai seorang tetangga aku sudah menganggumu malam-malam, aku pulang dulu, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Salim sudah berbalik dan Nia menatap punggunnya dengan perasaan bersalah, apa dirinya sudah bersikap berlebihan pada si neighbor.
“Salim” teriak Nia. Salim menghentikan langkahnya dan berbalik “kamu bukan hanya teman dan tetangga, kamu adalah sahabat terbaikku”
“Tentu saja, maka dari itu aku tidak mempercayai kata-katamu ‘tidak lebih dari itu’ karena kita bukan sedekar teman” Salim mengedipkan matanya dan berlalu pergi.
Sesaat Nia tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa yang aneh dalam dirinya, dan ia tidak tahu bahkan tak berani menebaknya.

Bersambung...
Part V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar