Awan. Hanya ada awan terlihat. Perjalanan
yang begitu terasa panjang.
Aku
sibuk dengan berbagai pikiran yang berkacamuk. Aku akan bertemu dengannya. Apa
kata yang akan kusampaikan?. Semua menjadi pikiranku.
“makanlah,
kamu dari tadi belum makan” seseorang itu menawarkanku roti tawar yang sudah
diolesi selai pandan kesukaanku. Aku hanya menatapnya saja.
“makanlah”
seseorang itu sudah mau menyuapiku. Tapi aku mengambil roti itu dari tangannya dan
memakannya sedikit. “harus habis ya” seseorang itu juga mengambil roti yang
sama denganku. Ia melahap makanan itu.
Setahun setelah kepergian ibu. Hidupku terasa
hampa. Aku semakin terpukul ketika mendengar cerita yang selama ini ibu simpan
dariku bahwa Ayah kembali pulang, dalam keadaan sehat tak ada kurang satu pun.
Ibu sangat terkejut, ibu saat ingin memeluk Ayah saat itu tapi tidak bisa. Rindu yang sudah menahun itu tak bisa ia
lampiaskan. Tangan Ayah sudah ada yang mengenggam. Dua orang yang mengenggam
itu tak ingin melepaskan Ayah agar bisa lebih dekat dengan ibu. Ibu sedih,
orang yang dirindukan sudah tak lagi menjadi miliknya. 14 tahun menghilang,
kini kembali, sudah tak sama lagi,sudah tak bisa seperti dulu lagi.
“kita
sudah mau landing, jangan lupa sabukmu” lamunanku buyar mendengar kalimat itu.
Perjalanan
yang melelahkan tubuh dan batinku. Sesekali aku memandang dia yang tengah sibuk
sendiri dengan semua barang bawaan. Aku ingin sekali membantu, walau kepergian
kali ini tidak membuatku senang , tetapi aku juga tidak ingin menjadi bebannya.
“sayang,
kamu duduk saja disini, biar semuanya aku yang ur....”
“aku
bisa sendiri, aku baik-baik saja, jangan khawatir” aku memaksa diri untuk ikut
menarik koperku. Dia tidak bisa berbuat apa-apalagi selain mengawasiku.
Aku
dan dia berlanjut menuju hotel. Dalam perjalanan aku tertidur, tubuhku terasa
lemah. Perjalanan yang melelahkan. Batinku.
Setiba
di hotel, aku membereskan diri, mandi,setelah mandi dan makan malam di restoran
aku menyiapkan pakaian untuk besok. Saat semua suah disiapkan aku merebahkan
diriku dan berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Aku melirik dia yang
sudah tertidur pulas. Aku berusaha membelai rambutnya.
“sayang,
kamu belum tidur?” suaranya serak. Aku tertegun. Aku membangunkannya.
“tidurlah...” ia berbalik dan memegang pipiku yang basah. “tidurlah...”
senyumnya yang terkembang diwajahnya yang kelihatan ngantuk berat.
“maafkan,
aku” bisikku padanya. Aku merasa bersalah. Seseorang yang telah menemaniku
selama ini, seseorang yang tak lelah mendengar cerita sedihku, seseorang yang
selalu membawa kebahagiaan tersendiri dalam hidupku, aku benar-benar merasa
bersalah padany, tapi aku bisa apa, saat aku sudah membuatnya repot, bagaimana
aku bisa menolak keinginan yang jarang ia utarakan kepadaku, setelah semua
keinginanku selalu ia penuhi.
“tidak
apa-apa sayang” kalimat itu semakin membuatku sedih. Seseorang yang sangat
baik.
***
Beef
steak. Menu makan malam di restoran itu. aku sedari tadi hanya menunduk
menunggu kedatangannya.
Ia tidak akan datang. Begitu pikirku.
“Selamat
Siang”
Aku
mendongakkan kepalaku. Aku melihat seorang yang berambut tebal dengan sedikit
uban, dengan jenggot yang menghiasi wajahnya, matanya yang teduh dan senyumnya
yang terkembang.
“Maaf,
sudah membuat kalian menunggu”
“tidak
apa-apa, kami juga baru sampai” seseorang disampingku yang menjawab dengan
ramah. Mereka lalu bersalaman. Dan setelah itu...
“Ayah
merindukanmu, sayang”
Aku
tidak menjawab apa-apa. Mataku berkaca-kaca ingin menangis. Aku berusaha
menahan nangis.
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?.
Aku
tertegun. Tiba-tiba pertanyaan itu mengingatkanku pada ibu.
“aku...”
suaraku bergetar. “aku...aku” mata Ayah tertuju padaku. Seseorang disampingku
memandangku.
“aku...aku
ingin pulang” aku sudah ingin berdiri. Seseorang disampingku menahan tanganku.
Dia menggeleng, agar aku jangan pulang.
“sayang,
maafkan Ayah”
Maaf?.
Maaf?
Ayah
minta maaf padaku?
Untuk
semua yang telah Ayah lakukan selama ini, pergi meninggalkan aku dan ibu, tanpa
ada kabar dan sekarang....Ayah minta maaf. Terlambat. Aku sudah terlanjur
sakit.
“Ayah,
benar-benar merasa bersalah” ia terus melanjutkan semua penyesalannya “Ayah
sudah menyakitimu, sungguh maafkan Ayah” suaranya tercekat.
Lukaku.
Lukaku semakin bertambah. Entah kenapa aku merasa menjadi orang yang jahat.
“sayang,
maafkan Ayah...”
“tidak...”
aku harus menyampaikan semua hal ingin aku katakan padanya. Selama
bertahun-tahun aku ingin sekali mengatakannya ketika berumur 8 tahun, dan
dengan semua pertanyaan yang ingin selalu kutanyakan pada Ayah, tapi aku takut
dengan semua penjelasannya, cukup aku menganggap Ayah sudah bersalah dan kini hanya
tinggal memafkannya, dan saat inilah aku harus...”tidak..bisa kumaafkan,” aku
menangis mengatakan itu “itu yang ingin kukatakan jika bertemu Ayah, tapi
setelah benar-benar bertemu denganmu, aku tidak bisa untuk tidak memaafkanmu,
apalah aku, aku hanya manusia lemah, ditinggal
pergi oleh orang yang kusayang, aku hanya berusaha ikhlas” air mataku
semakin deras tapi aku tidak berniat menghapusnnya “aku..aku...” seseorang yang
disampingku memegang erat tanganku. “merindukanmu selama ini, Ayah” aku merasa
lega. Aku benar-benar merasa lega. Itulah yang selama ini aku sampaikan
padanya. Aku merindukan Ayah, aku merindukan Ayah setiap aku menatap senja,
setiap aku menyaksikan detik-detik matahari terbenam aku selalu merindukan
Ayah.
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?
Ibu,
aku ingin bisa seperti ibu, memaafkan seseorang yang melukai hati ibu. Membuatku
belajar ikhlas selama ini dari ibu. Mungkin ada kerinduan yang mendalam dan
kebencian yang masih bertengger dihati ini lah yang sangat sulit menjawab
pertanyaan ibu selama setahun yang lalu,namun setelah bertemu dengan Ayah
secara langsung, aku tidak bisa menyembunyikan kerinduanku. Aku benar-benar
berterimakasih pada seseorang yang ada disampingku. Ia telah berhasil membawaku
menemui Ayah walau sudah beberapa kali aku menolak.
“Ayah,
juga rindu padamu, sayang” ayah berjalan mendekatiku dan memelukku.
Inikah
yang menjadi ketakutanku?. Aku takut bertemu dengannya, aku takut hanya bisa
menatapnya dengan kebencian yang mendalam dan tak bisa menyampaikan hal yang
paling ingin kukatakan. Aku Rindu Ayah, rindu saat bersama melihat senja juga
Ibu.
“Selamat
Ulang Tahun,Sayang” Ucap Ayah sambil memberiku sebuah kotak berwarna biru
dengan pita kuning. Aku terharu, kalimat itu yang sudah 15 tahun yang lalu ku
nantikan.
“Dan
ini untuk calon cucu Ayah” bungkusannya besar.
“Ayah....”
Ayah
tersenyum. Raut wajahnya bercampur antara bahagia dan senang.
Kebahagiaan
ini belum berakhir kan?
Aku
ingin terus kebahagiaan hadir selalu dihidupku, dihidup seseorang yang memegang
hangat tanganku, dan calon bayiku serta Ayah.
Seseorang
disampingku, yang akan menjadi seorang Ayah, suamiku. Aku terus membisikkan
kata padanya, agar ia jangan meninggalkanku juga anakku nantinya, aku tidak
ingin lukaku ini tidak dimiliki oleh anakku.
“Hari
ini bagaimana kita melihat senja bersama, Ayah sudah Rindu”
Ayah
sama sepertiku, ia tak sanggup menikmati sunset, teringat kenangan yang membuat
orang tersayang terlukai oleh sikapnya.
“iya,
Ayah”
Peristiwa
detik-detik matahari terbenam memberi banyak pelajaran, untukku, untuk Ayah dan
untuk suamiku. Tiba-tiba saja aku merasakn kehadiran ibu disampingku. Ia
tersenyum, senyum yang indah.
Aku,
Sayantika Rahma. Aku biasa dipanggil ‘Sayang’ oleh orang terdekatku, dan
seseorang disampingku adalah teman masa kecilku, dia juga menemaniku melihat
sunset saat permintaan Ibu terakhir kalinya. Aku mencintainya karena Allah.
Cerita
ini adalah sebuah kerinduan akan Senja dikala waktu itu, bersama yang
tersayang.
TAMAT
Rindu Senja
By: IsyaRayle
Pekanbaru, 15 Maret 2016. Di
sebuah kamar kecilku.