Selasa, 22 Maret 2016

Untaian Pikiran

Yah, tugas kita Hanya TAAT, itu saja.

Sudah banyak hal yang terjadi, segala kesedihan, kegembiraan, kenangan indah, luka yang berbekas, 

air matanya yang sudah tak terhitung berapa kali jatuh, dan tidak tahu sudah berapa kesalahan yang 

terjadi dan apakah sebanding dengan kata maaf yang terucap, dan sudah berapa lapang hati kita untuk 
memaafkan seseorang yang telah menghujam hati dan jantung, entah berapa kalimat keluhan yang 

terlempar pada dunia yang indahnya saja manusia tidak bisa lukiskan sekalipun diberikan tinta lautan 

yang ada diseluruh dunia ini. Tugas kita, Hanya TAAT kan? Itu.


Uwaaaah......kalimatku lari entah kemana-mana, aah, yang penting inilah yang aku rasakan dan 

segala pikiran yang melayang begitu saja dikepalaku sehingga bisa tercatat disini, mungkin bisa lebih 

banyak lagi, dan bisa lari-lari kemana lagi, karena tidak bisa secepat pikiran yang dengan cepat 

berpindah-pindah, dari ingatan satu ke ingatan lain, dari pikiran satu ke pikiran lain, jika ada clue 

baru maka semua pecah, pikiran rasanya pecah, hendak memburu apa saja yang ada dipikiran, namun 

tidak semu apa yang dipikirkan bisa tertulis, karena tidak semua pikiran baik yang bisa kamu tujukan 

pada orang yang sangat berharga bagimu tidak ingin mereka berpikiran buruk tentang halmu, maka 

itu ada banyak hal yang tersembunyi dalam diri kita, semuanya benar-benar misteri, seperti itulah 

dunia, semua adalah misteri, namun kita berusaha mencari-cari dan menebak-nebak apa yang terjadi.

Cinta is Love

Cinta? Menurutku?
Aaahhh...hmmm.....apa ya?
Love kah? Hahahaha...
Cinta itu adalah anugerah Allah yang luar Biasa.
Dengan hal itu Cinta tak bisa diterjemahkan dengan hal yang biasa.
Cinta? Cindua Tapai kata orang? Hahaha... yaaaa...chinca >,< mereka kira makanan...
No..no...
Cinta lah yang menerangkan apa cinta itu..
Begitu banyak yang mendefinisikan apa itu Cinta.
Cinta itu fitrah manusia. Ia suci. Tinggal bagaimana manusia membawa arti cinta yang telah diberikan kepada manusia yang awalnya suci.
Jika cinta itu diarahkan pada hal yang sebenarnya Cinta itu ditempatkan, maka Cinta tetaplah suci, sebagaimana Yang Maha Cinta Dzat Yang Maha Suci.
Janganlah coba-coba menerjemahkan cinta jika kamu belum pernah merasakan cinta ,apalagi jatuh dan tak berusaha segera membangunkan cinta ..hahaha..gomen :p
Yap...so,jadi Cinta itu apa?
Cinta lah yang menerangkan apa cinta itu..

Kalau kamu??

#JanganBaper -.....-


By: isyarayle

Rindu Senja Part III ( Akhir untuk sebuah permulaan )

Awan. Hanya ada awan terlihat. Perjalanan yang begitu terasa panjang.
                
Aku sibuk dengan berbagai pikiran yang berkacamuk. Aku akan bertemu dengannya. Apa kata yang akan kusampaikan?. Semua menjadi pikiranku.
                
“makanlah, kamu dari tadi belum makan” seseorang itu menawarkanku roti tawar yang sudah diolesi selai pandan kesukaanku. Aku hanya menatapnya saja.
                
“makanlah” seseorang itu sudah mau menyuapiku. Tapi aku mengambil roti itu dari tangannya dan memakannya sedikit. “harus habis ya” seseorang itu juga mengambil roti yang sama denganku. Ia melahap makanan itu.
                 
Setahun setelah kepergian ibu. Hidupku terasa hampa. Aku semakin terpukul ketika mendengar cerita yang selama ini ibu simpan dariku bahwa Ayah kembali pulang, dalam keadaan sehat tak ada kurang satu pun. Ibu sangat terkejut, ibu saat ingin memeluk Ayah saat itu tapi tidak bisa.  Rindu yang sudah menahun itu tak bisa ia lampiaskan. Tangan Ayah sudah ada yang mengenggam. Dua orang yang mengenggam itu tak ingin melepaskan Ayah agar bisa lebih dekat dengan ibu. Ibu sedih, orang yang dirindukan sudah tak lagi menjadi miliknya. 14 tahun menghilang, kini kembali, sudah tak sama lagi,sudah tak bisa seperti dulu lagi.
                
“kita sudah mau landing, jangan lupa sabukmu” lamunanku buyar mendengar kalimat itu.
                
Perjalanan yang melelahkan tubuh dan batinku. Sesekali aku memandang dia yang tengah sibuk sendiri dengan semua barang bawaan. Aku ingin sekali membantu, walau kepergian kali ini tidak membuatku senang , tetapi aku juga tidak ingin menjadi bebannya.
                
“sayang, kamu duduk saja disini, biar semuanya aku yang ur....”
                
“aku bisa sendiri, aku baik-baik saja, jangan khawatir” aku memaksa diri untuk ikut menarik koperku. Dia tidak bisa berbuat apa-apalagi selain mengawasiku.
                
Aku dan dia berlanjut menuju hotel. Dalam perjalanan aku tertidur, tubuhku terasa lemah. Perjalanan yang melelahkan. Batinku.
                
Setiba di hotel, aku membereskan diri, mandi,setelah mandi dan makan malam di restoran aku menyiapkan pakaian untuk besok. Saat semua suah disiapkan aku merebahkan diriku dan berusaha memejamkan mata, tapi tidak bisa. Aku melirik dia yang sudah tertidur pulas. Aku berusaha membelai rambutnya.
                
“sayang, kamu belum tidur?” suaranya serak. Aku tertegun. Aku membangunkannya. “tidurlah...” ia berbalik dan memegang pipiku yang basah. “tidurlah...” senyumnya yang terkembang diwajahnya yang kelihatan ngantuk berat.
                
“maafkan, aku” bisikku padanya. Aku merasa bersalah. Seseorang yang telah menemaniku selama ini, seseorang yang tak lelah mendengar cerita sedihku, seseorang yang selalu membawa kebahagiaan tersendiri dalam hidupku, aku benar-benar merasa bersalah padany, tapi aku bisa apa, saat aku sudah membuatnya repot, bagaimana aku bisa menolak keinginan yang jarang ia utarakan kepadaku, setelah semua keinginanku selalu ia penuhi.
                
“tidak apa-apa sayang” kalimat itu semakin membuatku sedih. Seseorang yang sangat baik.
                                                                                

                                                                               ***
                
Beef steak. Menu makan malam di restoran itu. aku sedari tadi hanya menunduk menunggu kedatangannya.
                
Ia tidak akan datang. Begitu pikirku.
                
“Selamat Siang”
                
Aku mendongakkan kepalaku. Aku melihat seorang yang berambut tebal dengan sedikit uban, dengan jenggot yang menghiasi wajahnya, matanya yang teduh dan senyumnya yang terkembang.
                
“Maaf, sudah membuat kalian menunggu”
                
“tidak apa-apa, kami juga baru sampai” seseorang disampingku yang menjawab dengan ramah. Mereka lalu bersalaman. Dan setelah itu...
                
“Ayah merindukanmu, sayang”
                
Aku tidak menjawab apa-apa. Mataku berkaca-kaca ingin menangis. Aku berusaha menahan nangis.
                
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?.
                
Aku tertegun. Tiba-tiba pertanyaan itu mengingatkanku pada ibu.
                
“aku...” suaraku bergetar. “aku...aku” mata Ayah tertuju padaku. Seseorang disampingku memandangku.
                
“aku...aku ingin pulang” aku sudah ingin berdiri. Seseorang disampingku menahan tanganku. Dia menggeleng, agar aku jangan pulang.
                
“sayang, maafkan Ayah”
               
  Maaf?. Maaf?
                
Ayah minta maaf padaku?
                
Untuk semua yang telah Ayah lakukan selama ini, pergi meninggalkan aku dan ibu, tanpa ada kabar dan sekarang....Ayah minta maaf. Terlambat. Aku sudah terlanjur sakit.
                
“Ayah, benar-benar merasa bersalah” ia terus melanjutkan semua penyesalannya “Ayah sudah menyakitimu, sungguh maafkan Ayah” suaranya tercekat.
                
Lukaku. Lukaku semakin bertambah. Entah kenapa aku merasa menjadi orang yang jahat.
                
“sayang, maafkan Ayah...”
                
“tidak...” aku harus menyampaikan semua hal ingin aku katakan padanya. Selama bertahun-tahun aku ingin sekali mengatakannya ketika berumur 8 tahun, dan dengan semua pertanyaan yang ingin selalu kutanyakan pada Ayah, tapi aku takut dengan semua penjelasannya, cukup aku menganggap Ayah sudah bersalah dan kini hanya tinggal memafkannya, dan saat inilah aku harus...”tidak..bisa kumaafkan,” aku menangis mengatakan itu “itu yang ingin kukatakan jika bertemu Ayah, tapi setelah benar-benar bertemu denganmu, aku tidak bisa untuk tidak memaafkanmu, apalah aku, aku hanya manusia lemah, ditinggal  pergi oleh orang yang kusayang, aku hanya berusaha ikhlas” air mataku semakin deras tapi aku tidak berniat menghapusnnya “aku..aku...” seseorang yang disampingku memegang erat tanganku. “merindukanmu selama ini, Ayah” aku merasa lega. Aku benar-benar merasa lega. Itulah yang selama ini aku sampaikan padanya. Aku merindukan Ayah, aku merindukan Ayah setiap aku menatap senja, setiap aku menyaksikan detik-detik matahari terbenam aku selalu merindukan Ayah.
                
sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?
                
Ibu, aku ingin bisa seperti ibu, memaafkan seseorang yang melukai hati ibu. Membuatku belajar ikhlas selama ini dari ibu. Mungkin ada kerinduan yang mendalam dan kebencian yang masih bertengger dihati ini lah yang sangat sulit menjawab pertanyaan ibu selama setahun yang lalu,namun setelah bertemu dengan Ayah secara langsung, aku tidak bisa menyembunyikan kerinduanku. Aku benar-benar berterimakasih pada seseorang yang ada disampingku. Ia telah berhasil membawaku menemui Ayah walau sudah beberapa kali aku menolak.
                
“Ayah, juga rindu padamu, sayang” ayah berjalan mendekatiku dan memelukku.
                
Inikah yang menjadi ketakutanku?. Aku takut bertemu dengannya, aku takut hanya bisa menatapnya dengan kebencian yang mendalam dan tak bisa menyampaikan hal yang paling ingin kukatakan. Aku Rindu Ayah, rindu saat bersama melihat senja juga Ibu.
                
“Selamat Ulang Tahun,Sayang” Ucap Ayah sambil memberiku sebuah kotak berwarna biru dengan pita kuning. Aku terharu, kalimat itu yang sudah 15 tahun yang lalu ku nantikan.
                
“Dan ini untuk calon cucu Ayah” bungkusannya besar.
                
“Ayah....”
                
Ayah tersenyum. Raut wajahnya bercampur antara bahagia dan senang.
                
Kebahagiaan ini belum berakhir kan?
                
Aku ingin terus kebahagiaan hadir selalu dihidupku, dihidup seseorang yang memegang hangat tanganku, dan calon bayiku serta Ayah.
                
Seseorang disampingku, yang akan menjadi seorang Ayah, suamiku. Aku terus membisikkan kata padanya, agar ia jangan meninggalkanku juga anakku nantinya, aku tidak ingin lukaku ini tidak dimiliki oleh anakku.
                
“Hari ini bagaimana kita melihat senja bersama, Ayah sudah Rindu”
                
Ayah sama sepertiku, ia tak sanggup menikmati sunset, teringat kenangan yang membuat orang tersayang terlukai oleh sikapnya.
                
“iya, Ayah”
                
Peristiwa detik-detik matahari terbenam memberi banyak pelajaran, untukku, untuk Ayah dan untuk suamiku. Tiba-tiba saja aku merasakn kehadiran ibu disampingku. Ia tersenyum, senyum yang indah.
               
Aku, Sayantika Rahma. Aku biasa dipanggil ‘Sayang’ oleh orang terdekatku, dan seseorang disampingku adalah teman masa kecilku, dia juga menemaniku melihat sunset saat permintaan Ibu terakhir kalinya. Aku mencintainya karena Allah.
                
Cerita ini adalah sebuah kerinduan akan Senja dikala waktu itu, bersama yang tersayang.
                                                               
TAMAT
Rindu Senja
By: IsyaRayle

Pekanbaru, 15 Maret 2016. Di sebuah kamar kecilku.

Rindu Senja Part II ( Pertemuan )

Aku hanya termangu melihat koper yang sudah rapi. Seseorang itu menyiapkan semua perlengkapan yang akan digunakan saat berpegian nanti.
               
“aku sudah menyiapkan semuanya, kamu cukup duduk tenang disana”
                
Seseorang itu menyiapkan koper yang satu lagi, dengan tangan yang cekatan mengambil barang-barang untuk berpergian. Aku terus menatapnya yang tengah sibuk.
                
“aku tidak mau pergi” kataku dingin.
                
Seseorang itu tetap diam saja, tidak mengacuhkan perkataanku. Aku mendengus kesal.
                
“aku tidak mau pergi, aku tidak mau pergi, sudahku bilang aku baik-baik saja, aku tidak perlu pergi,seharusnya ka........”
               
  “sayang”
                
Aku terdiam.
                
“ini sudah kesekian kalinya kamu menolak, kita tidak bisa terus-terusan begini, kamu harus menemuinya” jawabnya lembut. “sampaikan apa yang ingin kamu katakan padanya”
                
Aku tetap saja diam.
                
Semua perlengkapan sudah lengkap. Seseorang itu mendekatiku dan memegang tanganku.
                
“ada aku disini, kamu akan baik-baik saja, aku juga ingin menemuinya, jadi jangan khawatir”
                
Aku tidak menatapnya. Aku terus menunduk, pandanganku terpaku pada kakiku yang semakin membengkak.
                
“ayo kita pergi,sayang”
                                                                                ***

                
Kesuksesan yang ingin segeraku bawa pulang dan kuhadapkan pada ibu, membuat jantungku berdebar. Rasa rindu yang membuncah ini, rasa yang tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata, rasa yang tak bisa digambarkan. Dalam perjalanan pulang. Aku menatap keluar jendela. Langit senja, burung yang terbang bersama kawanannya, matahari yang semakin terlihat rendah.
                
“se..senja” aku termangu.
                
Dan ketermangu-anku berlanjut berubah menjadi keterkejutan yang amat luar biasa. Sesampai dirumah, aku mendapati kabar ibu jatuh sakit, mereka yang selama ini menemani ibu tidak berani mengabari kabar ibu sakit karena ibu sendiri yang melarang. Sakit yang sudah seminggu berlalu, itulah kenapa ibu tidak bisa datang dihari wisudaku. Lemah, semua badanku terasa lemah. Hari-hari yang seharusnya tersulam dengan kebahagian menjadi sebuah kesedihan. Ibu tak kunjung sembuh. Semua rencanaku di kota harus dipending demi kesehatan ibu.
                
“ibu, cepat sembuh” aku bisikkan kata itu ditelinga ibu. Ibu hanya mampu menangis.
                
Sakit ibu tak kunjung sembuh. Aku hampir putus asa. Semua sudah dilakukan untuk kesembuhan ibu.
                
“ibu,apa ibu ada keinginan? Aku akan mengabulkannya, asal ibu bisa sembuh”
                
Saat itu, ibu hanya tersenyum menatapku, matanya mengalir.
                
“apa ada permintaan khusus dari ibu?, sampaikanlah” mengabulkan apa yang sangat diinginkan oleh orang yang sakit bisa memberikan kesembuhan tersendiri, jika hatinya senang maka seluruh anggota tubuhnya juga ikut merespon kesenangan itu.
                
“sen....senja...ibu..mau..lihat..matahari...terbenam...” jawab ibu lemah.aku tertegun. Sudah lama tidak melihat matahari terbenam bersama.
                
“apa itu yang ibu inginkan?”
               
  Ibu mengangguk.
                
“baiklah, 2 jam lagi kita ke pantai, sekarang masih belum sore,aku siapkan perlengkapan dulu untuk pergi kesana”
                
Aku menghubungi beberapa orang untuk membantuku membawa ibu kepantai. Salah seorang teman masa kecilku menawarkan bantuannya ketika ia mendengar kabar bahwa aku ingin membawa ibu kepantai. Aku tidak menolaknya, aku sungguh berterima kasih.
               
 Detik-detik matahari terbenam. Ibu terus menatap matahari, senyumnya terkembang, aku tidak melihat matahari sama sekali, aku justru menatap ibu. Dibayanganku ibu berubah menjadi muda ketika aku, Ayah dan Ibu bersama-sama melihat matahari terbenam dulu, dulu sekali. Aku menahan haru.
                
“sayang,” panggil ibu lemah.
                
“iya,ibu”
                
“Ayahmu,....Ayahmu...sangat suka matahari terbenam,tapi ibu sesungguhnya lebih suka melihat matahari terbit,”
                
Aku terdiam. Aku belum pernah mendengar cerita ini, aku mengira bahwa Ayah dan Ibu sama-sama suka dengan pemandang matahari terbenam.
                
“tapi, semenjak menikah dengan Ayahmu, ibu menjadi suka melihat matahari terbenam”
                
“ibu”
                
“sayang, kamu maukan memaafkan Ayahmu?” tanya ibu lemah.
                
Aku terkesiap dengan pertanyaan ibu. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
                
“ibu”
                
“ibu, sudah memaafkannya, karena itulah, ibu ingin terakhir bisa melihat senja kali ini, agar ibu bisa mengingat senyum bahagianya itu, sampai hilang semua kesedihan ibu...”
                
“ibu..aku..” aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Aku menangis, aku memeluk tubuh ibu yang semakin ringkih. Ibu membelai kerudungku. Hingga belaian tangan itu terlepas.
                
“ibuuuu.............”
                
Ibu pergi sebelum sempat aku menjawab tanyanya.
                
Apa aku mau memaafkan Ayah?

                                                                                ***

Next : Rindu Senja Part III

Rindu Senja Part I (Kenangan Bersamamu)


Aku memandang laut dari kejauhan. Deburan ombaknya yang khas membawaku ke suasana itu. Burung-burung yang terbang melintasi laut yang memerah disenja hari yang sendu. Dulu, dulu sekali ayah dan ibu sering membawaku ke pantai, mereka mengajakku menyaksikan peristiwa detik-detik matahari terbenam. Mereka mengajakku berjalan diatas pasir putih yang bersih. Berlari-lari mengejar ombak yang surut dan berlari menghindari ombak yang pasang. Aku sangat senang sekali, tawaku lepas, ayah dan ibu juga tertawa lepas. Mereka sama-sama saling memegang tanganku, ayah memegang tangan kiriku dan ibu memegang tangan kananku. Berjalan perlahan-lahan ketika sudah merasa letih berlari kesana-kemari.
“lihat, sebentar lagi matahari akan mulai terbenam” kata Ayah sambil menunjuk arah matahari. Aku melihat kearah yang Ayah tunjuk.
“indah bukan?” imbuh ibu. Aku menoleh kearah ibu. Senyuman ibu terkembang. Aku terus saja memandang ibu. Wajah ibu yang terkena sinar senja hari itu menambah cantiknya ibu. Ibu dan Ayah tetap memandang kedepan menyaksikan matahari terbenam. Tidak sepertiku, aku bergantian memandang Ayah dan Ibu yang tersenyum bahagia, tidak memperhatikan matahari terbenam sama sekali.
“sayang, lihatlah” Ayah menoleh padaku. Aku tertegun.
“eh, iya Ayah”
Tak terasa air mataku membasahi pipiku. Senja kali ini aku tidak bersama Ayah juga Ibu.  Tidak seperti 15 tahun yang lalu. Aku menghapus air mataku.
“kau menangis lagi” seseorang memberiku sapu tangan putih. Aku menerimanya dan menghapus air mataku.
“kalau....”
“aku tidak apa-apa” potongku cepat. Aku sudah tahu apa yang akan dia bicarakan. “aku hanya ingin melihat senja sejenak, melihat laut, dan matahari terbenam” tapi air mataku semakin deras mengalir. Aku buru-buru menghapusnya.
 “kamu bisa pulang kalau ka......"
“melihatnya dari dekat sudah membuatku tenang,” aku menatapnya yang tampak tak senang karena dari tadi aku memotong pembicarannya “aku baik-baik saja, tidak usah khawatir”

Aku merasa sudah puas melihat langit senja sore itu. Aku meninggalkan dia yang berdiri terpaku tanpa ada kata-kata lagi.
“sayang,” panggilnya
Langkahku terhenti.
“ayo kita pergi”
Aku tercengang. Air mataku lagi-lagi pecah, tak bisa kubendung, suara tangisanku mulai terdengar. Tidak ada kata-kata karena ku tak mampu berucap. Semakin lama tangisku semakin kencang, seperti anak kecil yang habis dimarahi orang tuanya, seperti orang yang tengah melampiaskan lukanya. Seseorang itu memeluk dari belakang. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Pelukkannya sudah memberi arti bahwa aku harus kuat.
                                                                                                ***
Di hari ulang tahunku. Ayah berjanji pulang lebih awal dari pekerjaannya untuk merayakan ulang tahunku yang ke-8. Tetapi sudah sampai larut malam Ayah tidak juga pulang.
“apa Ayah masih lama pulangnya bu” suaraku terdengar lemah, aku sudah sangat mengantuk.
“sayang, tidurlah dulu, kalau nanti Ayah pulang ibu akan bangunkan,atau besok pagi saja kita rayakan”
“tapi ulang tahunku hari ini ibu, bukan besok” kesalku.
“sayang,” panggil ibu lembut. Ibu mengelus rambutku yang tipis itu “Tidurlah...ya”
 Aku tidak ingin membantah ibu. Aku pun pergi ke kamar dengan langkah gontai.
“sayang ,jangan lupa ambil wudhu” aku mengangguk.

Hingga sampai besok paginya Ayah tidak juga pulang. Hingga lusa,dan terus berlalu hingga hitungan hari,minggu, bulan serta tahun. Ayah yang tak kunjung pulang dan Ibu yang terus sakit-sakitan menahan Rindu pada Ayah. Ayah tidak ada kabar. Awalnya aku terus-terusan menanyakan tentang kabar Ayah. Kenapa Ayah tidak pulang, dimana Ayah sekarang, kenapa Ayah tidak ada kabar. Ibu menjawab dengan hati-hati dan matanya sendu. Akan tetapi esoknya aku akan menanyakan hal yang sama, dan lagi-lagi ibu menjawab hal yang sama.

“mungkin Ayahmu sedang ada urusan mendadak yang penting, jadi belum bisa mengabari kita, kita tunggu saja...ya sayang” dengan mata yang basah dan berubah menjadi lebam. Bibir yang terus bergetar menahan tangis dan suaranya yang tertekan. Melihat kondisi ibu aku ketakutan, pikiranku semakin kalut, Ayah jahat. Itu pikiranku. Aku lalu memeluk Ibu dan menangis. Aku bertekad tidak akan menanyakan lagi tentang Ayah.

Hari-hari,minggu,bulan dan tahun yang berlalu ku isi dengan hari seceria mungkin. Aku rindu dengan senyum ibu yang terkembang diwaktu sore itu. Ingin sekali mengajak ibu ke pantai melihat matahari terbenam, tapi itu bisa jadi membuat ibu semakin sedih karena ada kenangan bersama Ayah. Bukan hanya Ibu saja tapi juga mungkin aku. Namun waktu yang diisi dengan keceriaan selama ini tidak sia-sia. Ibu sudah semakin membaik. Senyum yang selama ini kurindukan kembali lagi.

Hingga saat aku sudah berusia 18 tahun. Aku sudah tamat sekolah, mendapatkan beasiswa di univeritas ternama di kota. Aku tidak ingin meninggalkan ibu, tapi ibu tidak ingin aku berhenti.
                
“raihlah cita-citamu, sayang”
                
Dengan tekadku, aku berusaha untuk meraih cita-citaku. Cita-citaku? Aku hampir lupa yang menjadi cita-citaku. Yang ku tahu aku ingin selalu bersama ibu, aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian, tapi.
                
“jangan khawatirkan ibu, teruslah melangkah maju, ibu akan selalu mendoakanmu, lakukan yang terbaik sesuai bakatmu, ibu akan menunggumu disini, kembali...membawa kesuksesan” itu yang ibu katakan ketika aku mengatakan kerisauanku.
                
Akupun berangkat ke kota dengan membawa harapan dari ibu. Tinggal di kos-kosan kecil. menjalani hari demi hari sebagai seorang mahaisiswa, menyelesaikan semunya dengan cepat, tidak ingin berlama-lama, fokus pada tujuan awal, melakukan hal yang terbaik dan cepat. Hingga suatu hari, aku bisa menempuh pendidikan dengan waktu yang cepat. Aku tidak sabar ingin kembali pulang ke rumah menemui ibu. Di hari wisuda yang tidak bisa ibu hadiri, tidak membuatku berlarut sedih, yang penting bisa kembali ke rumah dan menemui ibu, membawa ibu pergi dari kota itu dan mengajaknya ke kota yang jauh dari kenangan buruk ibu.

                                                                                ***

Next : Rindu Senja Part II