Janji di Langit senja
By: IsyaRayLe
Support Puisi by: Lara Aprilia wina
Nia membersihkan jendela pesawat, ia ingin
mellihat pemandangan dibawah dengan sempurna. Rumah-rumah yang berbaris kecil
dan pepohonan yang begitu hijau serta awan yang menggantung dilangit. Nia sudah
berjam-jam dipesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Turki. Ia sudah tidak
sabar berada di Negara yang sangat terkenal dengan sejarah berkembangnya islam.
Hari
terakhir dia bertemu dengan Salim waktu itu membuatnya berpikir keras,
sekaligus tidak tahu seperti apa perasaannya. Ia kembali mengambil diary yang
ia tulis ketika SMA, ia kembali membaca salah satu halaman dari diary itu.
Hari
ini si neighbor mengatakan hal diluar dugaanku, di hari ketika petang mulai
menyapaku, dibawah langit senja yang kukagumi ciptaan-Nya. Kata yang bahkan
tidak mampu ku tulis disini. Aku tidak tahu kenapa aku marah ketika ia
mengatakannya, terdengar seperti bahwa kami tidak akan bertemu lagi, aku
benar-benar sedih dan marah, hingga aku bersikap aneh dan pergi meninggalkannya
tanpa mengucapkan salam perpisahan layaknya seorang teman, wahai Nia yang
dimasa depan, aku menulis hal ini agar kamu tahu bahwa si neighbor pernah
mengatakan hal itu dibawah langit senja.
Setelah
membaca itu, Nia mengambil pena dan secarik kertas. Ia menghela nafas panjang
dan mulai menulis dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah siap menulis ia
melipat kertas menjadi sama ukurannya dengan buku diary yang berukuran mungil
itu, dan menaruhnya kembali di tempat sebelumnya.
*
5
tahun yang lalu.
Nia
sedang membaca buku novel yang baru
ia beli di toko buku dekat pasar, ia
sudah lama menabung dengan menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku itu.
walau memang larangan membawa buku semacam itu di sekolah, ia tetap nekat
membawanya saking penasaran dengan kelanjutan cerita di novel itu. ia fokus
dengan kegiatannya hingga tidak peduli seisi kelas ribut dan sibuk bergosip.
Plak.
Meja
Nia dihentakkan, membuatnya menutup bukunya dan segera menyembunyikannya dilaci.
“Kalian?”
Nia terkejut ternyata ada 3 orang siswi datang dengan wajah penuh emosi. Nia
tidak tahu nama mereka masing-masing yang ia tahu mereka siswi yang cukup aktif
dalam kegiatan sekolah, ia merasa heran ada urusan apa mereka dengannya.
“Apa
kau pacarnya Salim?” salah seorang yang paling cantik dari mereka berteriak dan
kembali menghentakkan meja.
“Haah?”
Nia benar-benar tidak habis pikir kenapa dia mengatakan hal yang ia sendiri
bahkan tidak memikirkan hal itu.
“Kenapa?
Kamu tidak mau ngaku?” perempuan itu terus berteriak sehingga seisi kelas
menjadi diam serta menghentikan gerakan mereka, sudah seperti patung, bahkan
mungkin ada yang berhenti bernafas untuk sesaat.
“Aku
bukan pacarnya Salim, dan aku tegaskan, aku tidak punya pacar” Nia sedikit
menyesal harus menjelaskan panjang lebar pada orang yang tidak sopan seperti
perempuan itu.
“kalau
memang benar begitu kenapa Salim menolakku? Hah?”
“Itu
bukan urusanku” jawab Nia dingin walau ia setengah terkejut mendengar
pengakuannya.
“bukan
urusanmu katamu?” perempuan itu menarik tangan Nia dan mencengkramnya “Lalu
kenapa kamu mendekatinya? Kenapa kamu begitu dekat dengannya? Karena dirimu
orang-orang mulai bingung dengan hubungan kalian, perempuan yang memiliki
perasaan dengan Salim resah karena ada wanita sepertimu disekitarnya dan tidak
ingin menjauh padahal kalian tidak pacaran, hari ini sudah jelas bahwa kamu
hanya penghalang bagiku untuk bisa mendekati Salim-“
Nia
berusaha melepaskan cengkaraman dari perempuan itu, ia merintih kesakitan.
“Dengar”
kata Nia dengan tetap menahan emosinya “aku dengan Salim hanya tetangga, bukan
urusanmu apakah aku dekat atau tidak dengannya, dan juga aku mengerti sampai
mana batasan pertemanan antara perempuan dan laki-laki, jika Salim menolakmu
jangan langsung menghubungkannya dengan diriku-“
“Kamulah
penyebab Salim menolakku, karena Salim bilang bahwa ia meny-“
“Cukup
Sarah” Pak Guru datang berusaha menenangkan suasana yang panas. “Sarah kembali
ke kelasmu sekarang juga dan lepaskan tangan Nia”
Sarah
tidak berkutik. Ia menyerah dan melepaskan tangan Nia dengan kasar, dan tanpa
ada kata maaf ia hanya berlalu pergi.
“Kamu
tidak apa-apa?” Tanya Pak Guru.
Nia
mengangguk dan mengelus tangannya yang kesakitan. Pak Guru lalu membubarkan
siswa-siswi yang sudah sesak memenuhi kelas dan menyuruh mereka kembali ke
kelas masing-masing.
Dalam
perjalan pulang sekolah Gadis bertubuh mungil itu masih memikirkan perkataan perempuan yang bernama Sarah itu.
dia penyebab Salim menolaknya? Lalu kalimat terakhir apa yang mau
disampaikannya?.
“Neighbor”
Teriak Salim dari belakang yang langsung menyusul sepeda Nia dan
mensejajarinya.
Nia
menoleh sebentar dan tidak berkata apa-apa. Ia malah mempercepat laju
sepedanya. Salim melihat hal itu merasa heran namun tidak berusaha mengejarnya.
Malam
harinya ketika Nia termangu dimeja belajarnya. Buku diary dan pena yang
memenuhi mejanya. Nia menghela nafas panjang. Ia ingin melupakan kejadian tadi
siang di sekolah tapi ia juga penasaran dan merasa bersalah karena mengabaikan
Salim.
Tok.tok.tok.
Bunyi
kaca jendela Nia diketuk dari luar. Tiba-tiba ia mendengar bisikan. Nia kurang
begitu jelas mendengarnya hingga ia mendekati jendela.
“Nia..neighbor..hey..buka”
itu suara Salim yang berbisik.
Nia
sempat ragu ingin membukanya, tapi jika tidak segera buka Salim akan mengetuk
kembali dan bisa menganggu Abah dan ibu.
“Salim?
Ada apa malam-malam begini?”
“Akhirnya
kamu buka juga, aku berniat mencongkel jendela ini kalau belum dibuka juga”
“Kamu
gila ya? Ada apa?”
“Iya
aku hampir gila memikirkanmu karena mengabaikanku. Kenapa tadi bersikap begitu?
Ada masalah? Apa ada yang menganggumu? Katakan?”
“Segitu
pentingnya sampai harus begini?”
“Jelas
penting, aku tidak bisa tidur jika belum mengetahuinya”
“Tadi
siang ada yang marah-marah padaku dan aku kesal, jadinya aku jadi tidak mood
dengan siapa pun, maaf”
“marah
kenapa?”
Nia
sedikit ragu untuk mengatakannya.
“Hey,
apa? Apa ini mengenaiku juga?”
“Apa
kamu sudah tahu? Oh ya jelas tahu, hampir satu sekolah melihatnya, aku bahkan
ingin menyembunyikannya darimu”
“Benar
ini mengenaiku?”
“Kamu
pasti sudah tahu kan? Kalau tidak kenapa nekat bertanya dalam keadaan begini”
“Hal
apa mengenai diriku?”
“Kamu
sudah tahu, jadi jangan pura-pura tidak tahu” Nia tampak kesal.
“Aku
tidak tahu makanya aku bertanya”
“Dia
bilang kamu menolak perasaannya dan aku menjadi penyebab hal itu” Nia dengan
nada kesal dan terpaksa mengatakannya.
Salim
hanya terdiam.
“Ka-kamu
kenapa diam?”
“Lalu,
apa yang kamu katakan?”
“Tentu
saja aku kesal, kenapa aku jadi penyebabnya, dia mengira aku pacaran denganmu
padahal kita hanya tetangga dan berteman baik tidak lebih dari itu- “
“Heum
ternyata hanya salah paham”
“Maka
dari itu aku ingin menjaga jarak denganmu agar orang lain tidak salah paham,
tapi aku tidak tahu harus bagaimana padahal aku sudah memikirkannya seharian”
“Permasalahan
hal ini tidak hanya cukup dengan memikirkannya dalam sehari, kamu harus memberi
tahuku jadi aku juga tidak salah paham atas sikapmu. Itulah kenapa aku berusaha
untuk mengetahuinya sebelum semakin jauh dan canggung untuk menanyakannya”
“Maafkan
aku-“
“Maafkanku,
sebagai seorang teman aku sudah membawamu dalam masalah, dan sebagai seorang
tetangga aku sudah menganggumu malam-malam, aku pulang dulu, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Salim
sudah berbalik dan Nia menatap punggunnya dengan perasaan bersalah, apa dirinya
sudah bersikap berlebihan pada si neighbor.
“Salim”
teriak Nia. Salim menghentikan langkahnya dan berbalik “kamu bukan hanya teman
dan tetangga, kamu adalah sahabat terbaikku”
“Tentu
saja, maka dari itu aku tidak mempercayai kata-katamu ‘tidak lebih dari itu’
karena kita bukan sedekar teman” Salim mengedipkan matanya dan berlalu pergi.
Sesaat
Nia tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa yang aneh dalam dirinya, dan ia tidak
tahu bahkan tak berani menebaknya.
Bersambung...
Part V