Minggu, 29 Januari 2017

Janji di Langit Senja Part IV

Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

Nia  membersihkan jendela pesawat, ia ingin mellihat pemandangan dibawah dengan sempurna. Rumah-rumah yang berbaris kecil dan pepohonan yang begitu hijau serta awan yang menggantung dilangit. Nia sudah berjam-jam dipesawat dalam perjalanan dari Jakarta ke Turki. Ia sudah tidak sabar berada di Negara yang sangat terkenal dengan sejarah berkembangnya islam.
Hari terakhir dia bertemu dengan Salim waktu itu membuatnya berpikir keras, sekaligus tidak tahu seperti apa perasaannya. Ia kembali mengambil diary yang ia tulis ketika SMA, ia kembali membaca salah satu halaman dari diary itu.
Hari ini si neighbor mengatakan hal diluar dugaanku, di hari ketika petang mulai menyapaku, dibawah langit senja yang kukagumi ciptaan-Nya. Kata yang bahkan tidak mampu ku tulis disini. Aku tidak tahu kenapa aku marah ketika ia mengatakannya, terdengar seperti bahwa kami tidak akan bertemu lagi, aku benar-benar sedih dan marah, hingga aku bersikap aneh dan pergi meninggalkannya tanpa mengucapkan salam perpisahan layaknya seorang teman, wahai Nia yang dimasa depan, aku menulis hal ini agar kamu tahu bahwa si neighbor pernah mengatakan hal itu dibawah langit senja.
Setelah membaca itu, Nia mengambil pena dan secarik kertas. Ia menghela nafas panjang dan mulai menulis dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah siap menulis ia melipat kertas menjadi sama ukurannya dengan buku diary yang berukuran mungil itu, dan menaruhnya kembali di tempat sebelumnya.
*
5 tahun yang lalu.
Nia sedang membaca buku novel yang  baru ia  beli di toko buku dekat pasar, ia sudah lama menabung dengan menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku itu. walau memang larangan membawa buku semacam itu di sekolah, ia tetap nekat membawanya saking penasaran dengan kelanjutan cerita di novel itu. ia fokus dengan kegiatannya hingga tidak peduli seisi kelas ribut dan sibuk bergosip.
Plak.
Meja Nia dihentakkan, membuatnya menutup bukunya dan segera menyembunyikannya dilaci.
“Kalian?” Nia terkejut ternyata ada 3 orang siswi datang dengan wajah penuh emosi. Nia tidak tahu nama mereka masing-masing yang ia tahu mereka siswi yang cukup aktif dalam kegiatan sekolah, ia merasa heran ada urusan apa mereka dengannya.
“Apa kau pacarnya Salim?” salah seorang yang paling cantik dari mereka berteriak dan kembali menghentakkan meja.
“Haah?” Nia benar-benar tidak habis pikir kenapa dia mengatakan hal yang ia sendiri bahkan tidak memikirkan hal itu.
“Kenapa? Kamu tidak mau ngaku?” perempuan itu terus berteriak sehingga seisi kelas menjadi diam serta menghentikan gerakan mereka, sudah seperti patung, bahkan mungkin ada yang berhenti bernafas untuk sesaat.
“Aku bukan pacarnya Salim, dan aku tegaskan, aku tidak punya pacar” Nia sedikit menyesal harus menjelaskan panjang lebar pada orang yang tidak sopan seperti perempuan itu.
“kalau memang benar begitu kenapa Salim menolakku? Hah?”
“Itu bukan urusanku” jawab Nia dingin walau ia setengah terkejut mendengar pengakuannya.
“bukan urusanmu katamu?” perempuan itu menarik tangan Nia dan mencengkramnya “Lalu kenapa kamu mendekatinya? Kenapa kamu begitu dekat dengannya? Karena dirimu orang-orang mulai bingung dengan hubungan kalian, perempuan yang memiliki perasaan dengan Salim resah karena ada wanita sepertimu disekitarnya dan tidak ingin menjauh padahal kalian tidak pacaran, hari ini sudah jelas bahwa kamu hanya penghalang bagiku untuk bisa mendekati Salim-“
Nia berusaha melepaskan cengkaraman dari perempuan itu, ia merintih kesakitan.
“Dengar” kata Nia dengan tetap menahan emosinya “aku dengan Salim hanya tetangga, bukan urusanmu apakah aku dekat atau tidak dengannya, dan juga aku mengerti sampai mana batasan pertemanan antara perempuan dan laki-laki, jika Salim menolakmu jangan langsung menghubungkannya dengan diriku-“
“Kamulah penyebab Salim menolakku, karena Salim bilang bahwa ia meny-“
“Cukup Sarah” Pak Guru datang berusaha menenangkan suasana yang panas. “Sarah kembali ke kelasmu sekarang juga dan lepaskan tangan Nia”
Sarah tidak berkutik. Ia menyerah dan melepaskan tangan Nia dengan kasar, dan tanpa ada kata maaf ia hanya berlalu pergi.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya Pak Guru.
Nia mengangguk dan mengelus tangannya yang kesakitan. Pak Guru lalu membubarkan siswa-siswi yang sudah sesak memenuhi kelas dan menyuruh mereka kembali ke kelas masing-masing.
Dalam perjalan pulang sekolah Gadis bertubuh mungil itu masih memikirkan  perkataan perempuan yang bernama Sarah itu. dia penyebab Salim menolaknya? Lalu kalimat terakhir apa yang mau disampaikannya?.
“Neighbor” Teriak Salim dari belakang yang langsung menyusul sepeda Nia dan mensejajarinya.
Nia menoleh sebentar dan tidak berkata apa-apa. Ia malah mempercepat laju sepedanya. Salim melihat hal itu merasa heran namun tidak berusaha mengejarnya.
Malam harinya ketika Nia termangu dimeja belajarnya. Buku diary dan pena yang memenuhi mejanya. Nia menghela nafas panjang. Ia ingin melupakan kejadian tadi siang di sekolah tapi ia juga penasaran dan merasa bersalah karena mengabaikan Salim.
Tok.tok.tok.
Bunyi kaca jendela Nia diketuk dari luar. Tiba-tiba ia mendengar bisikan. Nia kurang begitu jelas mendengarnya hingga ia mendekati jendela.
“Nia..neighbor..hey..buka” itu suara Salim yang berbisik.
Nia sempat ragu ingin membukanya, tapi jika tidak segera buka Salim akan mengetuk kembali dan bisa menganggu Abah dan ibu.
“Salim? Ada apa malam-malam begini?”
“Akhirnya kamu buka juga, aku berniat mencongkel jendela ini kalau belum dibuka juga”
“Kamu gila ya? Ada apa?”
“Iya aku hampir gila memikirkanmu karena mengabaikanku. Kenapa tadi bersikap begitu? Ada masalah? Apa ada yang menganggumu? Katakan?”
“Segitu pentingnya sampai harus begini?”
“Jelas penting, aku tidak bisa tidur jika belum mengetahuinya”
“Tadi siang ada yang marah-marah padaku dan aku kesal, jadinya aku jadi tidak mood dengan siapa pun, maaf”
“marah kenapa?”
Nia sedikit ragu untuk mengatakannya.
“Hey, apa? Apa ini mengenaiku juga?”
“Apa kamu sudah tahu? Oh ya jelas tahu, hampir satu sekolah melihatnya, aku bahkan ingin menyembunyikannya darimu”
“Benar ini mengenaiku?”
“Kamu pasti sudah tahu kan? Kalau tidak kenapa nekat bertanya dalam keadaan begini”
“Hal apa mengenai diriku?”
“Kamu sudah tahu, jadi jangan pura-pura tidak tahu” Nia tampak kesal.
“Aku tidak tahu makanya aku bertanya”
“Dia bilang kamu menolak perasaannya dan aku menjadi penyebab hal itu” Nia dengan nada kesal dan terpaksa mengatakannya.
Salim hanya terdiam.
“Ka-kamu kenapa diam?”
“Lalu, apa yang kamu katakan?”
“Tentu saja aku kesal, kenapa aku jadi penyebabnya, dia mengira aku pacaran denganmu padahal kita hanya tetangga dan berteman baik tidak lebih dari itu- “
“Heum ternyata hanya salah paham”
“Maka dari itu aku ingin menjaga jarak denganmu agar orang lain tidak salah paham, tapi aku tidak tahu harus bagaimana padahal aku sudah memikirkannya seharian”
“Permasalahan hal ini tidak hanya cukup dengan memikirkannya dalam sehari, kamu harus memberi tahuku jadi aku juga tidak salah paham atas sikapmu. Itulah kenapa aku berusaha untuk mengetahuinya sebelum semakin jauh dan canggung untuk menanyakannya”
“Maafkan aku-“
“Maafkanku, sebagai seorang teman aku sudah membawamu dalam masalah, dan sebagai seorang tetangga aku sudah menganggumu malam-malam, aku pulang dulu, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Salim sudah berbalik dan Nia menatap punggunnya dengan perasaan bersalah, apa dirinya sudah bersikap berlebihan pada si neighbor.
“Salim” teriak Nia. Salim menghentikan langkahnya dan berbalik “kamu bukan hanya teman dan tetangga, kamu adalah sahabat terbaikku”
“Tentu saja, maka dari itu aku tidak mempercayai kata-katamu ‘tidak lebih dari itu’ karena kita bukan sedekar teman” Salim mengedipkan matanya dan berlalu pergi.
Sesaat Nia tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa yang aneh dalam dirinya, dan ia tidak tahu bahkan tak berani menebaknya.

Bersambung...
Part V

Janji di Langit Senja Part III

Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

Pagi itu paman Rafi datang, Saudara jauh dari Abah yang telah berperan besar dalam membantu Nia mendapat S2.
“Jadi, kamu sudah memantapkan jawabanmu?”
“InsyaAllah,Paman”
“Sudah baca kontraknya?”
Nia terdiam sejenak. “Sudah,Paman”
“Baiklah, kalau begitu besok kita berangkat ke Jakarta, mengurus segala keperluanmu ke Turki”
“Baik, Paman”
Abah tiba-tiba penasaran dengan ekpresi wajah anak gadisnya yang sudah berumur 23 Tahun itu.
“Memangnya isi kontraknya apa?”
“Banyak, Bang” jawab Paman Rafi “salah satunya Nia tidak boleh menikah sampai study-nya selesai”
Abah tertegun mendengar hal itu dan menoleh ke wajah anaknya.
Nia tersenyum simpul. Senyum mengartikan bahwa ia akan baik-baik saja.
Melihat senyum itu Abahnya menghela nafas panjang.
“Selama di sana ku titip anak gadisku satu-satunya ya Rafi, tolong bombing dia”
“InsyaAllah bang, Tenang saja, abang bisa mempercayaiku”.

Sorenya ketika Paman Rafi pamit, Nia bergegas mem-packing barang-barang yang diperlukan, semua benda-benda kesanyangannya, boneka imut Pikachunya juga tidak mau ketinggalan. Semua keperluannya seperti, koper, baju, keperluan pribadi sudah ia siapkan jauh-jauh hari, dan sore ini hanya melengkapi mana saja yang kurang. Ketika tengah sibuk dengan aktivitasnya, ia mendengar sayup-sayup suara tamu yang datang ke rumahnya. Suara beberapa laki-laki dan Ibu Nia terdengar menyambut hangat mereka.
“Salim? Akhirnya kamu datang lagi, kemarin ibu sempat nanya kamu sudah ketemu dengan Nia apa belum?”
Demi mendengar percakapan yang terdengar sayup-sayup itu Nia mengehentikan kegiatannya dan mengarahkan kupinya ke pintu kamarnya.
Tiba-tiba saja ibu membuka pintu kamar saat Nia sedang asyik berdiri dalam posisi orang yang menguping.
“Nia?” lihat ibu heran.
“Eh..ibu” Nia hanya senyum cengengesan.
“Salim datang tuh, kamu sambut sana, ibu siapkan the buat mereka, kamu yang antar ya?”
Rasanya jantung Nia belum siap bertemu Salim. Ia langsung sibuk dengan kegiatan barunya, memikirkan bagaimana cara memulai untuk menyapanya setelah 5 tahun bersih tidak pernah bertemu dan kontak dengannya.
“Jangan bengong, ayo cepat ke dapur sama Ibu”
“Ibu sendiri aja deh, Nia masih ada kerjaan”
“Kamu barusan nolak nih?”
Nia akhirnya menyerah.
 Ia sudah bersiap membawa nampan yang berisi tiga cangkir dan sepiring berisi cemilan khas kampungnya. Ia berjalan perlahan dan sudah sampai di ruang tamu. Sejenak pembicaraan mereka sempat terhenti ketika Nia berlutut meletakkan nampan diatas meja dan menghidangkan teh masing-masing untuk tamu dan Abahnya.
“Nah ini Nia,kamu masih ingat?” Kata Abah ketika Nia sudah hampir siap menghidangkan dan ingin berdiri secepat mungkin kembali ke dapur.
“Tentu saja ingat, Pak. Dia masih belum berubah, masih saja tetap mungil”
Nia yang masih belum berani menoleh terlihat kesal sekali dibilang mungil walau kenyataannya begitu.
Salim masih belum berubah sepertinya, pikir Nia. Ia masih ingat bagaiamana Salim dulu, dekil dengan rambut ikalnya yang lebat dengn alis matanya yang banyak dipuja wanita di SMA dulu, walau itu hanya terlihat biasa bagi Nia.
Nia pun mulai berdiri dan memberi salam.
“Assalamu’alaikum, Salim, sudah lama tidak bertemu, apa kabar? Kamu masih jail seperti dulu ya, dan juga-“ hampir saja Nia mengatakan dekil ketika ia meihat dengan sangat jelas, bahwa Salim yang dulu dan sekarang jauh berbeda, ia sangat putih dengan rambut poninya dan gaya kemeja biru toscanya menambah kontras antara warna baju dan kulitnya. Nia hampir-hampir tidak percaya, ia lalu melihat orang disebelahnya mungkin saja dia salah seorang, ia lalu memperhatikan orang itu sungguh jauh berbeda, ia botak dan berbadan besar.
Seorang itu pun menyadari Nia yang mungkin mengira dia adalah Salim, temannya. Ia pun buru-buru menunjuk-nunjuk sambil mengatakan ‘ini salim’.
“dan juga?” buru Laki-laki berkulit putih itu.
“Dan juga berubah”
Nia salah tingkah. Ia pun permisi kembali ke dapur sambil membawa lari nampan.
Sesampai di dapur ia mengambil nafas panjang, sepertinya ia dari tadi berhenti bernafas.
“Kamu sesak begitu, ini minum air putih dulu” ibu menyodorkan Nia segelas air “pelan-pelan saja jangan buru-buru”
“Ibu lihat perbedaan Salim dulu dengan Salim yang sekarang tidak?”
“Iya, ibu melihatnya dengan jelas”
“Dia itu dulu dekil, rambut ikal dengan alisnya beriring. Sekarang, dia beda banget,buuuu..”
“Astaghfirullah,Nia, jangan ngehina begitu”
“Bukan menghina ibu, Nia cuman bicara fakta. Atau jangan-jangan di bukan Salim yang asli”
“Bagaimana bisa? Sekalipun ia sekarang sudah jadi cowker-“
“Cowker?” Nia mengerinyitkan dahinya.
“Cowok keren, kayak yang di tv itu. dia juga masih tetap sama seperti Salim yang dulu”
“Iya, jailnya yang selalu mengejekku”
Ibu cuman menahan ketawa.
“Nia” tiba-tiba Ayah sudah berada didapur dan mendekati putrinya.
“Ya, Ayah”
“Salim ingin mengajakmu keluar sebentar sambil gowes sepeda”
“gowes sepeda? Tapi ini kan sudah sore, Yah”
“Justru itu dia ingin mengajakmu keluar, ditemani juga sama Bang ipul, jadi kalian bertiga”
Nia menoleh ke Ibu, ibu mengangguk setuju.
Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mereka berdua. Salim yang tadinya sudah mulai jail mengejek Nia mungil, saat itu lebih banyak diam.
Bang ipul yang ikut mengayuh sepeda memperhatikan mereka berdua dari belakang yang hanya diam saja. Ia pun berpikir sejenak dan setelah itu mengayuh sepedanya kencang dan berusaha sejajar dengan Salim.
“Salim, Abang pulang duluan ya, kalian bicara saja berdua, pasti ada yang kamu sampaikan, kan? Ada abang buat kamu jadi segan”
“Gak kok bang,santai aja”
“Abang puluan saja, maimunah nanti cemas nungguin, oke” Bang ipul pun mengayuh sepeda dengan kencang meningglkan Salim dan Nia di perjalanan itu.
Jarak mereka cukup jauh. Nia sengaja memperlambat kayuh sepedanya.
Tiba-tiba saja Salim berhenti dan menatap takjub langit senja waktu itu. Nia mengetahui hal itu saat ia juga ikut berhenti dan menoleh ke arah Salim memandang.
Benar-benar lukisan alam yang indah, sungguh Maha Besar Allah menghadirkan pesona nan ngarai ini.
“Begitu indah lukisan alam yang terhampar diujung senja, pancaran keemasan yang menambah pesona ngarai, terkagum-kagum mata memandang, terasa kelu lidah merangkai puji, tak tertanding walau lautan menjadi tinta dan pepohanan menjadi pena untuk melukiskan rasa syukur pesona jingga mega-mega”
Nia terdiam mendengar kata-kata yang diucapnya. Kata-kata itu selalu ia ucapkan jika memandang langit senja diwaktu-waktu itu. puisi pendek itu juga pernah ia bacakan dihadapan puluhan teman satu kelasnya, namun mereka menertawakan puisinya yang tidak begitu menarik, terlalu sederhana dan biasa. Namun tidak bagi, Salim. Walau terlihat tidak peduli dengan puisi itu Salim ternyata masih hafal dengan kalimat itu yang mungkin Nia sendiri malah tidak begitu ingat.
Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Salim masih mengingatnya.
“Aku masih saja ingat puisi aneh itu tiap memandang senja”
Hati nia terasa hancur berkeping-keping. Seketika matanya yang berkaca-kaca menjadi kering.
“Aku sering bertanya-tanya kenapa aku masih saja ingat, setelah lima tahun tidak pernah bertemu denganmu lagi dan tidak kontak sama sekali, tapi aku masih ingat tentangmu dan tentunya puisi aneh itu”
Nia sudah benar-benar kesal, dan ia semakin yakin walau laki-laki itu sudah banyak berubah dari segi penampilah, namun dari tingkah laku dan perangai sangat sulit untuk diubah.
“Sama, kamu masih saja meledek puisiku”
“Aku tidak meledek puisimu, aku hanya mengatakan aneh, kamu saja yang tidak peduli bahwa ternyata aku juga suka dengan puisi”
Nia menatap tidak percaya.
“Aku dengar kamu akan ke Turki”
“Ya, insyaAllah, besok aku akan berangkat ke Jakarta mengurus semua keperluan di Turki nanti. Oh ya, aku dengar sudah sebulan kamu disini, kenapa..kamu..-“ Nia sedikit ragu untuk menanyakan kenapa Salim baru menemuinya sekarang.
“Aku ada banyak urusan, dan juga aku akan pergi besok”
“Benarkah? Kemana?”
“Ketempat yang jauh”
“Jawabannya tidak spesifik”
“Kamu masih ingat?” Tiba-tiba Salim mengganti topik pembicaraan “Jika melihat pemandangan sore ini ingat akan langit senja waktu itu?”
Nia tertegun.
Salim menatapnya dengan senyum jail dan kembali memandang langit yang mulai semakin menjingga.
“Aku masih mengingatnya dan menyimpannya disini” Salim menunjuk hatinya.
“Aku-aku ingat, tapi itu sudah lama sekali”
“Ya jelas , tapi aku masih merasa itu belum lama sekali, aku benar-benar kesal, apa karena kejadian itu kamu bahkan tidak menghubungiku dan tidak mau bertemu denganku-“
“Siapa yang tidak mau bertemu denganmu?”
“Setelah lulus dri SMA, tiap tahun aku selalu kesini, tapi tidak pernah sekalipun bertemu denganmu, aku juga menghubungimu tapi tidak pernah kamu angkat, apa kamu begitu membenciku?”
“A-aku tidak membencimu sama sekali, aku memang sudah jarang pulang kampung, dan masalah telpon aku tidak begitu memperhatikan, aku juga tidak tahu kalau itu nomor kamu, setidaknya kamu memberitahuku dengan sms atau hal lainnya-“
“Sudahlah, tidak perlu diributkan” jawab Salim dengan tenang.
Nia benar-benar kesal dan tidak habis pikir, siapa yang duluan meributkan tentang telpon dengan tenangnya mengatakan tidak perlu diributkan.
“Semoga kamu sukses dengan S2 mu“
“Semoga kamu juga sukses, walau aku tidak tahu dimana ‘tempat yang jauh’ kamu maksudkan itu”
Salim tertawa lepas mendengar perkataan Nia.
“aku ingin pulang sudah semakin sore”
“Tunggu dulu, masih ada hal yang ingin kukatakan, ini pertemuan kita terakhir dan tidak tahu kapan akan bertemu lagi”
“Apakah sepenting itu? sampai harus mengatakannya sekarang”
“Penting, dengarkan baik-baik. Jika setelah ini kita bertemu lagi dibawah langit senja seperti ini,” Salim terdiam cukup lama untuk melanjutkan kalimat berikutnya”Aku akan melamarmu” sambil tersenyum memandang Nia.
Nia tertegun mendengar kalimat Salim barusan. Gadis berjilbab biru itu terdiam. ia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Tentu saja jika kamu masih belum menikah dan sedang tidak dikhitbah” Kata Salim dengan tenang.
“Kamu,kamu serius? Kamu bercanda kan”
“Untuk apa aku bercanda mengatakannya, sekalipun itu terdengar canda hal itu tentu perkara serius”
Nia hanya terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa.
“Sebaiknya kita harus segera pulang, senja semakin dipenghujung” Salim memutar pedal sepeda dan mengayuhnya perlahan, ia masih ingin merasakan udara sejuk sore itu.

Bersambung...
Part IV

Minggu, 22 Januari 2017

Janji di langit Senja Part II


Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

“Kamu sudah ketemu Salim belum?” tanya ibu Nia saat makan malam bersama.
Nia yang sedang asyik makan tiba-tiba terbatuk mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya.
“Kenapa ibu tiba-tiba nanya gitu?”
Ibu Nia sangat terkejut mendengar respon dari Nia yang sepertinya tidak tahu apa-apa.
“Jadi kamu belum ketemu dengan dia? Padahal sudah hampir sebulan lho dia disini, terakhir dia ke rumah kita dua hari yang lalu”
“Jam berapa?”
“kalao gak salah sore”
Nia ingat sore itu dia ada urusan di panti dekat rumah balai desa, sebagai narasumber untuk memotivasi anak-anak disana.
“kok, ibu gak kasih tahu Nia?”
“Astaghfirullah ibu lupa Ni, makanya ibu tanya kamu ada ketemua dia apa belum?”
“Belum ada sih buk,”
Nia berpikir sejenak. Kenapa ia tadi tiba-tiba teringat si “Neighbor” ketika melihat senja dan sekarang ibu membahas tentang Salim.
Neighbor dan Salim adalah orang yang sama. Neighbor ada julukan yang diberikan oleh si gadis bertubuh mungil itu pada Salim. Neighbor seperti yang sudah diketahui adalah bahasa inggris yang artinya “Tetangga”. Hubungan Nia dan Salim yang sangat akrab terkadang disalah artikan bahwa mereka berpacaran, padahal mereka hanya berteman dan hal itu didukung karena mereka berdua bertetangga, maka dari itu jika ada yang menanyakan siapa Salim bagi Nia, maka gadis itu akan menjawab dia adalah  “My Neighbor”. Julukan itu tidak selalu dia sebut, hanya sesekali jika dia sedang kesal dengan Salim si teman jailnya itu. Begitu juga dengan Salim ia hanya menganggap Nia sebagai temannya, itu yang sering dia katakana jika teman-temannya mulai meledek antara dia dan Nia.
“Kamu sudah bertemu dengan Salim?” tanya seorang ibu paruh baya yang menjadi langganan Nia di pasar jika berbelanja bumbu-bumbu masakan pada keesokan harinya.
“Salim?” Nia benar-benar terkejut mendengar nama itu disebut lagi. Kali ini ada apa gerangan, apa ibu ini juga bertemu dengan salim.
“Iya salim, kemarin Guntur cerita dia bertemu dengan Salim dibalai desa, dan dia ada rencana ingin bertemu denganmu tapi masih belum ada waktu”
Apa begitu susahnya bertemu denganku? Padahal rumahku tetap seperti yang dulu, tidak berpindah tempat. Batin Nia.
“Apa kamu sudah bertemu dengannya?” tanya ibu paruh baya itu sekali lagi sambil menyerahkan barang belanjaannya.
“Belum. Berapa semua bu?”
“tiga puluh ribu” Nia menyerahkan duit lima puluh ribu.
“Apa Guntur ada cerita lagi tentang Salim,bu?”
“Hanya itu saja ceritanya, kembaliannya dua puluh ribu”
“Makasih bu,”
“Sama-sama, semoga kamu bisa bertemu dengan Salim lagi”
Nia hanya tersenyum kaku dan pamit pulang.
Malamnya ia mulai lanjut menyelesaikan tulisan rubriknya yang dua hari lagi deadline. Ditengah-tengah keheningan suara malam itu, tiba-tiba saja ibu mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk bu, gak dikunci” jawab Nia sambil terus mengetik.
“Apa ibu menganggu?” Tanya ibu yang sudah duduk dibibir tempat tidur anak gadisnya. Nia seketika menghentikan tulisannya sambil melepas kacamatanya dan meletakkannya dimeja. Ia memutar kursi hingga badannya menghadap ibunya.
“enggak kok, ada apa ibu?”
“mengenai S2 mu, apa kamu sudah memberi jawaban?”
“Nia akan memberi jawabannya besok kalau paman sudah ada disini”
“Tapi kamu sendiri sudah punya jawabannya,kan?”
Nia mengangguk pelan.
“sudah bu, sebenarnya Nia memang sangat ingin mendapatkan S2, dan ini juga bukan proses yang mudah dan sebentar, setelah mengikuti berbagai tes dan ujian,  Nia gak mungkin melepasnya begitu saja, dan juga paman berperan besar dalam hal ini, kalau bukan karena paman mungkin saja orang lain yang dapat, tapi jika ibu ingin Nia te-“
“Tidak, ibu tidak apa-apa, Abahmu juga sudah menyerahkan keputusan sepenuhnya padamu, ibu datang  kesini hanya ingin memastikan bahwa kamu mengambil S2-nya, jangan jadikan beban Ibu atau Abahmu dalam menghalangi karirmu”
“Tapi, Nia baru saja beberapa bulan bersama dengan Ibu dan Abah lagi, untuk berpisah lebih lama lagi dan bahkan sangat jauh dari Indonesia membuat Nia harus matang-matang memikirkannya,”
“Teruslah, raih impianmu” ibu membelai rambut hitam lebat anak gadis satu-satunya itu. Nia membalas dengan pelukan hangatnya.
“Nia selalu merindukan bau harum ibu”
“Ih, ibu bau tau…tadi abis ngupas bawang”
“Gak apa-apa, bau bawang harum”

Bersambung...
Part III

Janji di Langit Senja Part I

Bismillah.
Janji di Langit senja

By: IsyaRayLe

Support Puisi by: Lara Aprilia wina

Nia merapikan meja kerjanya setelah sekian jam ia berkutik dengan laptop dan beberapa berkas penting. Ia menggeliat merasakan pegal badan setelah lama duduk. Ia pun beranjak dari kursi panasnya dan berjalan ke arah jendela kamar, merasakan bau basah karena hujan seharian. Sore itu hujan sudah berhenti, ia bisa melihat langit lebih terang. Dengan warna keemasan dan jingga langit itu, Nia tersenyum takjub. Ia sangat suka melihat panorama langit senja. Jika berbicara tentang langit senja ada banyak hal yang teringat olehnya, salah satunya tentang si “Neighbor” 5 tahun lalu.
Saat itu Nia sedang dalam perjalanan pulang sekolah. Ia mengayuh sepedanya dengan kencang, tidak ingin keduluan oleh teman jailnya itu. akan tetapi, ia tiba-tiba saja menghentikan kayuh sepedanya, ia menurunkan kedua kakinya.
“Kenapa berhenti” tanya teman jailnya yang sudah ngos-ngosan mengejar Nia.
“Lihat, indah bukan?”
“Owh..iya indah”
“Begitu indah lukisan alam yang terhampar diujung senja, pancaran keemasan yang menambah pesona ngarai, ter-“
“Yaahh…puisi lagi”
“memang kenapa?” Nia mendadak kesal dengan komentar teman jailnya itu “iyaalah yang gak suka puisi-“
“Siapa bilang? Aku suka kok?”
“Trus? Kenapa komentarnya begitu?”
“ini sudah senja Nia, itu artinya kita sudah harus segera pulang, nanti keburu malam lagian kamu bakalan diomelin sama Abah kamu, kalau kamu berpuisi dulu makin lama kamu pulang, udah ah…aku duluan ya… sayonara” laki-laki itu pun sudah mengayuh sepedanya dengan cepat, meninggalkan Nia yang mulai panik.
“Tunggu aku neighbor” teriak Nia yang sudah mulai mengayuh sepeda.

“Aku bukan neighbooorr” teriak laki-laki itu sambil melambaikan tangannya pada gadis berjilbab putih berseragam putih abu-abu itu.

Bersambung

Part II