Kamis, 29 September 2016

Marsha- Part VI

            Jari-jemari yang menari diatas keyboard, mata belok dengan bulu mata yang panjang terus memindahkan pandangannya dari kertas-kertas yang tertumpuk ke monitor.
            “Pak Chandra masih nyuruh kamu lembur? Kerjaan setumpuk ini bakalan diselesaikan hari ini? gila “ komentar Siti rekan kerja sekaligus teman rempongnya Marsha. Dari tadi ia terus memperhatikan teman satunya itu bekerja keras.
            “Laporan ini harus segera diselesaikan, ini untuk proyek lusa Beliau”
            “Ha? Beliau? Aku gak salah dengar?” Marsha hanya geleng-geleng tersenyum mendengar teriakan geli teman rempongnya itu. “Cuman kamu yang sopan banget sama Pak Chan itu sampai panggil Be-be-be..”
            “Beliau”
            “Iya itu, biasa aja lagi manggilnya. Sekarang aku jadi ngerti kenapa kamu selalu yang disuruh ngerjain tugas sebanyak ini, karena kamu terlalu baik sama dia, semua karyawan rata-rata gak suka dengan Pak Chan itu”
            “He-em”
            Siti yang ingin melanjutkan silat lidahnya tiba-tiba diam terpaku, yang diomongin datang.
            “Bapak”
            “mm..Marsha, saya cuman ingatkan tugas ini harus diselesaikan hari ini dan langsung diantar ke ruangan saya, mengerti?” Pak Chandra bicara dengan Marsha tapi matanya melirik tak senang ke arah siti yang tiba-tiba jadi sibuk sendiri dengan computer. “Kamu jangan kebanyakan gossip nanti tugasmu terbengkalai, ya sudah kalau begitu saya pergi dulu”
            “Ya pak”
            Siti tetap pura-pura sibuk dan  Pak Chandra terus menatap siti tak senang.
Sudah pukul 5 lewat 30 menit. Marsha masih terus sibuk dengan tumpukan kertas dan monitornya.
            “Kamu yakin baik-baik aja?”
            “Iya aku baik-baik aja, kamu duluan aja”
            Siti menarik napas panjang. Ia tidak tega melihat temannya itu.
            “Aku tem-“
            “Pulanglah”
            Kali ini Siti mengalah.
***
            Mobil sport merah yang melaju dijalan dengan kecepatan sedang. Pengendaranya tidak sabar berada di tempat tujuannya “Restoran Pak Broto”.
            Mobil yang sudah lama-lama ia nantikan akhirnya datang juga, namun sayang minggu depan ia akan meninggalkan mobilnya yang baru datang dari Australia itu.
            “Kak Farhan, sudah lama gak main kesini” Nadine menyambut ceria.
            “Kakak ada banyak urusan dan sepertinya ini bakalan jadi kunjungan terakhir”
            “lho kenapa? Ada proyek lagi? Kakak ke luar negeri lagi?”
            Farhan mengangguk membenarkan.
            “Dimana Kak Marsha?”
            “belum pulang” jawab Nadine ketus.
            Farhan hanya tersenyum mendengar jawaban adik bungsu Marsha itu yang berubah dingin.
            Marsha pulang lama lagi? Lembur? Ini sudah jam 8 lewat.
            Ia meraih ponselnya. Dan mengetuk kontak “Marsha-ku”.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam, Marsha”
            “Farhan? Ini nomor kamu?”
            “Iya, kamu dimana sekarang?”
            “Aku masih dikantor, ada laporan yang harus diselesaikan hari ini”
            “Tapi se-“
            “Maaf Farhan, aku tutup telponnya, aku harus ke ruangan Pak Chandra dulu,bye”
            “owh baiklah” Tapi sebelum Farhan menjawab telponnya sudah putus.
            Marsha merapikan berkasnya sebelum mengetuk pintunya, ia juga merapikan pakaiannya. Saat sudah mantap akan mengetuk, tiba-tiba ada rasa keraguan muncul begitu saja tanpa sebab. Bukan karena khawatir tugas yang kerjakan salah, atau masih ada file yang belum lengkap tapi.
            “Marsha? Kenapa diluar saja ayo masuk” Tiba-tiba pintu sudah terbuka Pak Chandra sudah ada didepannya. “Ayo masuk” sekali lagi Pak Chandra memintanya masuk.
            Dengan perasaan ragu dan khawatir gadis berjilbab biru itu masuk.
            “Saya sudah menunggu dari tadi, kenapa lama sekali?” Pak Chandra mempersilahkan Marsha duduk.
            “Maafkan saya pak, tapi saya sudah berusaha untuk menyelesaikannya sesegera mungkin.”
            “Ya saya sangat menghargai kerja kerasmu” Pak Chandra mulai berdiri dan membelakangi Marsha.
            Marsha mulai merasa gelisah, ada perasaan tidak mengenakkan.
            “Maaf Pak, apa saya sudah boleh pulang sekarang? Keluarga saya sudah menelpon dan saya tidak mau mereka khawatir”
            “Boleh saja asalkan laporan ini sudah benar”
            Marsha yang sudah setengah berdiri terheran-heran dengan kalimat tersebut.
            “Tapi, Laporan itu sudah benar saya kerjakan”
            “Itu menurutmu, aah..ini tidak adil” Pak Chandra mulai mengelilingi ruangan tersebut. “saya sudah menunggu hingga sampai semalam ini dan kamu pulang begitu saja tanpa tahu apakah semua ini benar atau tidak” Pak Chandra menghamburkan kertas yang sudah seharian Marsha kerjakan.
            Raut wajah kecewa Marsha tak bisa disembunyikan.
            “Maaf Pak, apa maksud Pak Chandra melakukan hal itu-“
            “Kamu ingin pulang kan? Silahkan keluar!”
            Dengan perasaan kecewa yang tak bisa dijelaskan, mungkinkah ini perasaan ganjilnya dari tadi?. Marsha melangkah mendekati pintu ruangan, saat akan membukanya pintu itu terasa sulit dibuka.
            “Pak Chandra pin-“
            “Apa kamu kira bisa keluar dengan mudahnya di ruangan saya ?” suara Lelaki berbadan besar itu terasa sangat dekat ditelinga Marsha. Ia bahkan tak sanggup menoleh. Tangannya beku, tetap mengenggam pintu.
            “Ini sudah hampir jam 9, kenapa ia belum pulang juga, apa dia sudah menelpon tante?”
            “Belum nak, terakhir tadi habis maghrib dia bilang masih mengerjakan laporannya jadi pulang terlambat”
            Tiba-tiba Farhan merasakan hal yang ganjil.
            “Tante, Farhan jemput Marsha dulu,”
            “Mohon bantuannya nak Farhan”
            Mama Marsha kembali disibukkan melayani pelanggan yang datang, malam adalah waktu yang sangat ramai, banyak pengunjung yang datang.
            Sementara itu Marsha tengah berjuang untuk bisa keluar dari penjara itu. Ia berkali-kali berhasil menghindar dari lelaki yang ternyata bringas itu. Marsha sudah dua kali terhempas di kursi panjang itu dan lelaki itu sudah mau menirkamnya, dengan kekuatan yang tersisa dan minim ilmu bela diri gadis berjilbab biru itu berusaha mengirim pukulan dengan kaki panjangnya. Ia berusaha mencari kunci ruangan itu. terus megedor-gedor pintu dan berteriak-teriak minta tolong. Ingin sekali ia menelpon, tapi Pak Chandra yang sudah berubah menjadi buas itu menyita tasnya.
            “Kamu kira kamu bisa begitu mudahnya menjauhi saya, saya sudah lama menanti hal ini, saya sudah lama ingin bersama denganmu” lelaki bringas itu memeras erat tangan Marsha. Marsha berusaha melawan. Dengan kekuatan yang masih ada, ia mendorong binatang buas itu. lelaki itu tampak lemah, ia seperti sedang mabok. Melihat ia terjatuh dilantai dan lemah. Marsha berlari mengambil tasnya dan segera memencet tombol dial, panggilan terakhir.
            “Assalamu’alaikum Marsha, kenapa kamu baru mengangkat telponku, kamu dimana sekarang?”
            “Farhaaann….tolong aku..Farhaaaann..” hanya kata itu yang bisa ia ucapkan, dengan nafas tersengal-sengal, tangan yang menginggil “aaarrgghh…” teriakan Marsha membuat Farhan bertambah khawatir. Ia menambahkan kecepatan. Mobil sport merah melaju kencang.
            “Marshaaa…..”
            Telpon masih tetap tersambung. Sayup-sayup terdengar suara laki-laki buas itu.
            “Apa kamu kira kamu bisa menjauhi saya, hah?”
            Farhan terus berpikir keras.
            “Maaf Farhan, aku tutup telponnya, aku harus ke ruangan Pak Chandra dulu,bye”
Pak Chandra.
            “Lepaskan saya pak, Saya mohoonn……” Marsha terus menangis.
            Lelaki bringas itu terdiam. Ia melepaskan genggamannya. Ia memandang gadis berjilbab biru-yang sudah tak karuan bentuk jilbabnya, ia tiba-tiba ikut menangis.
            “Maafkan saya Marsha, saya sebenarnya tidak ingin menyakitimu, tapi saya tidak tahu harus bagaimana lagi agar kamu bisa melihat saya, saya sudah berusaha berbagai macam cara agar dekat denganmu, agar bisa bersamamu, sudah sekian tahun saya menunggu, saat saya sudah mendapatkan jabatan ini, saya pikir ini kesempatan saya, maafkan saya Marsha” ia memukul-mukul kepalanya seperti merasa bersalah “Maafkan saya Marsha, apa kau terluka, hah?”
            Marsha terdiam, ia menahan isak tangisnya. Ia menunggu waktu yang tepat untuk lari.
            “Sepertinya aku sudah berlebihan, kita bicara baik-baik, ayo berdirilah, saya akan mengajakmu ke rumah agar lebih nyaman, ayo”
            Lelaki gila. Marsha mengira ia mulai sadar, ternyata bertambah tak warasnya dia.
            “Ka-ka lau begitu, biarkan saya keluar dulu dan merapikan pakaian saya, ba-baru setelah itu kita pergi”
            “Benarkah? Kalau begitu kenapa tidak dari tadi saja begini, seharusnya saya bisa membujukmu lebih lembut, silahkan rapikan dirimu di kamar mandi”
            “Peralatan saya masih tertinggal dari ruang kerja saya , izinkan saya keluar dari sini..”
            “TIDAK!! Tidak, kamu pastikan akan kabur”
            “Kenapa kamu tidak ikut juga sekalian, kalau khawatir saya kabur”
            Lelaki bringas itu terdiam sejenak. Lalu mengangguk setuju.
            Marsha langsung bergegas merapikan tasnya. Telponnya ternyata sudah putus.
            Mereka berdua pun keluar dari ruangan yang sudah tak karuan itu.
Farhan melesat memasuki gedung itu. mobilnya ia parkir tepat didepan pintu lobby. ia meraih jaket dan keluar dari mobil.Farhan sudah berlari.
            “Maaf pak, Anda siapa?” salah seorang security menahan Farhan.
            “Saya Farhan, Marsha ada dialam dan ia sedang dalam bahaya”
        “Maaf Pak, tapi semua karyawan sudah tidak ada lagi didalam dan sudah pulang, yang ada palingan cleaning service”
            “Apa kau yakin? Kau sudah melihatnya?”
        “Mengen-“ Plak! Farhan mengelurakan jurusnya. Security itu pingsan. Farhan tidak punya banyak waktu.
            Ia terus berlari masuk ke dalam. Ia bertemu dengan cleaning service.

            “Dimana ruangan Pak Chandra?” Tanya Farhan dengan penuh emosi.

***

Bersambung Part VII ~ Terbit Senin/Kamis


Senin, 26 September 2016

Marsha- Part V

“Marshaaaaa…” teriakan mama dari dapur memecah ruangan “ada Farhan”
            “iya maaa…” Marsha kecil berlari dengan semangat.
            Hari itu Marsha kecil dan Farhan kecil janjian untuk bermain sepeda bersama. Farhan janji mengajarkan Marsha kecil agar bisa bermain sepeda mengingat M
arsha yang beberapa waktu lalu jatuh belum bisa menyeimbangkan sepeda dengan baik.
            “kamu pegang yang kuat ya Farhan, jangan dilepas lhoo” cemas Marsha sambil terus menggayuh sepedanya.
            “iya..iya..kamu terus kedepan matanya, focus, jangan lirik-lirik ke belakang terus”
            “iyaa….” Setelah mengucapkan hal itu Marsha jatuh karena ada batu “aarrrggh..”
            Bruk! Untuk kesekian kali Marsha terluka lagi.
            “sudah ku bilangkan, focus sama jalanan…” Marsha yang cemberut sambil meringis kesakitan.
            Farhan mengambil kotak p3k didalam tas yang terus ia sandang.
            “Kamu sudah nyiapin ini semua?”
            “Ini untuk darurat, lagipula kejadian ini kemungkinan terjadi”
            Marsha berdecak kagum. Farhan terlihat seperti Ayahnya. Sangat cekatan mengobati lukanya.
            “sudah siap, sekarang kita mau lanjut lagi atau tidak?”
            “Lanjuuuttt…..”
            Seiring waktu berlalu. Marsha sudah mulai lancar mengendarai sepeda, kini Farhan tak perlu memegangi sepeda Marsha. Mereka bahkan sudah bersepeda masing-masing. Mengelilingi komplek rumah mereka yang masih sepi penduduk. Hingga suatu hari segerombolan anak-anak yang 3 tahun lebih besar dari usia mereka berdua menghadang jalan mereka. Sepeda mereka ditahan dan mereka diminta turun.
            “Wooii… mana uang lu” Salah seorang dari mereka yang berbadan besar menarik kerah baju Farhan kecil.
            “Uang? Saya gak punya uang” jawab Farhan tanpa gentar. Ia justru terus melirik ke arah Marsha. Marsha terus dijahili oleh dua orang yang menarik-narik rambutnya. Gadis kecil berambut gaya loli itu menangis tertahan. Farhan tidak senang melihat itu.
            “woii.. bocah jangan bohong lu” anak itu memeriksa saku Farhan. Nihil tidak ada isinya. “Apaan niiih… woi Genta, lho bilang ni anak orang kaya, mana buktinya, miskin gini” ia menghempas Farhan ke tanah.
            “Farhaann…” Teriakan kuat Marsha membuat segerombolan anak badung itu terkaget-kaget. Beberapa warga yang lewat mulai mendekat melihat apa yang terjadi. Segerombolan anak badung kabur. Farhan terus menatap Marsha tanpa berkedip sedikitpun. Ia mematung. Marsha terus saja menangis mengkhawatirkan Farhan.
            “Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka? Hikss..hiks…hikss”
            Farhan kecil malah tersenyum. Ia membelai lembut rambut panjang teman kecilnya itu.
            “Aku baik-baik saja, kenapa kau terus menangis”
***
            “Memang dasarnya perempuan itu suka menangis” komentar Ayah menimpali pertanyaan Nadine yang terhern-heran melihat peran utama yang sangat melankolis.
            “Bukanlah, perempuan itu memiliki perasaan yang sangat sensitif, ditambah lagi ketika orang yang dia sayang menderita, wuiih sedihnya bahkan bisa melebihi orang terluka itu” jelas Mama yang tak mau kalah.
            Marsha yang baru saja pulang dari kantor melihat kedua orang tuanya dan adik bungsunya menonton drama korea yang sedang booming di tv. Ia hanya menggeleng-geleng melihat dan berlalu pergi menuju kamarnya yang dilantai atas.
            “Kak sha, udah pulang kok gak nyapa siih?” Sapa Nadine yang melihat kakaknya berlalu tanpa basa-basi.
            “Kakakmu takut ganggu kamu nonton drama korea, untung aja kakak mu lewat gitu aja, biasanya? Bakal dimati-in” Mama malah menimpali pertnyaan anak bungsunya..
            “Mama….”
            “Nadine, cepat bantu Ayah” Pak Broto sudah mulai bekerja di dapur. Kali ini sengaja menganggu anak bungsunya yang tengah asyik menonton serial favoritenya.
            “Ayaahh…. Sebentar lagii… Ayah sengaja ni…”
            Marsha menghempaskan tubuhnya dikasur. Ia memandang langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda. Ia ikut memikirkan pertanyaan adiknya tadi. Pertanyaan itu mengingatkan sebuah kenangan lama.
            “Aku baik-baik saja..kenapa kau terus menangis? Perempuan itu memang dasar penangis”
            Marsha kecil yang daritadi mencemaskan diri Farhan dan menagis kini terdiam dan raut mukanya berubah kesal. Ia memukul Farhan sampai kesakitan.
            “Kenapa kamu tiba-tiba memukulku,hey”
            Marsha berdiri dan mengambil sepedanya lalu mengayuhnya meninggalkan Farhan yang masih terbengong-bengong.
            Gadis bermata belok dengan bulu mata yang panjang itu tiba-tiba menangis dalam diam. Lagi-lagi ia masih memikirkan masa lalu. Bukankah ia yang memutuskan untuk melupakan lalu kenapa begini. Ia menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipinya.
            “Apa memang dasar perempuan itu penangis” batinnya.
            “Kakak jangan lupa makan malam” Teriak Nadine dari lantai bawah.
            Ia pun bergegas ke kamar mandi dan persiapan shalat.
***
            Farhan membereskan barang-barangnya di hotel. Seminggu lagi ia harus terbang ke Turki untuk proyek berikutnya. Ini adalah proyek pertamanya berada di negeri Eropa, sedikit lebih jauh dari sebelumnya.
            “Iya, Ma, minggu depan Farhan pergi...Mama sama papa gak perlu repot-repot nganterin…baiklah” Farhan menutup telponnya dengan perasaan gelisah. Ia tahu walaupun ia sudah sering ke luar negeri, tapi tempat yang akan ia datangi sangat jauh dari kotanya, pasti orang tuanya sangat khawatir. Dia juga merasakan khawatir, apalagi ia sudah mulai akrab kembali dengan Marsha. Ada rasa bahagia yang muncul dari sudut hatinya.
            Tiba-tiba ia ingin menelpon Marsha. Menurutnya bincang-bincang kala itu sudah menunjukkan bahwa gadis itu sudah tidak dingin lagi padanya.
            Ia meraih ponselnya kembali dan mencari kontaknya. Kontak itu bernama “Marsha-ku”.
            Telponnya tersambung tapi tidak diangkat. Sudah tiga kali mencoba. Ia pun merasa sedikit kecewa. Ia hempaskan badanya ke kursi tempat tidur. Memandang langit-langit.
            “Apa mungkin tidak usah kuberitahu, toh selama ini juga tidak pernah memberitahunya, kenap tiba-ti---Halo” seketika Farhan mengangkat telponnya ketika Hpnya bergetar. Ia seperti sangat menanti ‘Marsha-ku’ yang menelpon kembali.
            “Farhan”
            “Oh, Kamu”
            “Kenapa? Lagi nungguin telpon dari seseorang special?”
            “Bukan siapa-siapa, ada apaan nelpon?”
Marsha menaruh smartphonenya. Ia mencoba menelpon balik nomor yang tak dikenal itu tapi sibuk.
            “Mungkin orang iseng” piker gadis itu.
            Ia menarik selimut dan mulai membaca novel yang baru ia beli.
Farhan yang sudah selesai berbincang via telpon dengan rekannya di Turki nanti, terpaku menatap layar ponselnya, ada panggilan tak terjawab dari orang yang dinantikan.
            Ia ingin segera menelpon kembali tapi tertahan. Ia lihat jam. Sudah pukul sepuluh malam. Ini bukan waktu yang tepat.

            “Apa sebaiknya ku kirim pesan?”

***
Bersambung Part VI ~ Terbit Senin/Kamis


Kamis, 22 September 2016

Marsha- Part IV

Malam ini nadine sudah sibuk melayani para pelanggan. Restaurant Pak Broto ramai karena malam minggu. Banyak anak muda dan juga keluarga besar yang datang untuk mencicipi masakan Restaurant keluarga Pak Broto yang terkenal enak di kompleks.
“nadine, pesanan meja 28” Pak Broto menaruh tiga mangkok miso di meja pesanan sambil memencet bel.
“Baik, Bos” nadine dengan sigap membawa makanan itu dan segera menuju meja yang dituju.
“sibuk neng?” sapa Farhan yang datang bersama dengan teman-temannya. Ia mempersilahkan teman-temannya duduk duluan.
“iya atuh kang, neng sibuk pisan,haha” mengelap keringat didahinya. “mau pesan apa kang?”
“miso 4 porsi plus teh herbal”
“sip” nadine bergegas menuju dapur setelah mencatat pesanan.
“eiittss...nad, kak Marsha sudah pulang kerja”
Nadine berhenti sejenak, ia memberi isyarat belum. Farhan merasa cemas. Ia melirik jam tangan ditangan kirinya. Sudah pukul 9 malam.
“Farhan, ayo sini” temannya yang sudah duduk di meja yang ditunjuk Farhan tadi terus memanggil Farhan.
“sorry guys, gue harus pergi sebentar,”
“loe mau kemana?” yang ditanya tidak menjawab sudah berlari pergi.
Marsha sudah merapikan mejanya. Ia memasukkan barang-barang penting ke dalam tas hitamnya. Tak lupa ia mengganti sepatu hak tingginya dengan sendal biasa.
Ia melangkah keluar ruangan. Menuju lift. Memencet tombol lantai satu. Siti teman rekan kerjanya sudah pulang dari tadi, setelah menerima telpon tadi sore ia pulang lebih awal, terpaksa ia lembur sendiri. Marsha berdiri di depan lift. Menghela nafas panjang sambil menenteng sepatu hak tinggi dan menyandang tas hitamnya yang lumayan berat.
Pintu lift terbuka. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. Ia pun masuk dan menutup pintu lift. Berada di dalam lift sendiri di saat malam hari seperti ini membuat Marsha mau tidak mau jadi teringat kejadian semalam. Sangat mencekam. Tiba-tiba rasa ketakutan menyapanya. Tidak biasanya ia seperti ini. Bulu romanya merinding.
Farhan berlari sehabis turun dari bus. Ia sudah sampai di gerbang. Ia melirik ke arah pos satpam. Ada lelaki separuh baya berseragam hitam tertidur sambil memegang tongkat satpam. Ia mendekati pak satpam tersebut dan membangunkannya. Pak satpam itu terkejut ia sempat latah.
“Eh.. kamu siapa? ada perlu apa?” Pak Satpam sampai kelagapan. Farhan tertawa melihat tingkah laki-laki berseragam hitam dengan posisi tongkat yang seperti siap melayang ke arah Farhan.
“Saya kesini mau jemput sese-“
“Farhan?” suara yang amat dikenal. Suara yang sangat lembut.
“Nah, itu dia orangnya, saya permisi dulu ya pak” Farhan melangkah mendekat ke arah perempuan berkerudung cokelat itu.
“kenapa kamu ada disini?” mereka berdua sudah berjalan keluar gerbang meninggalkan Pak Satpam yang sudah kembali tidur di kursi jaganya.
“menjemputmu”
“apa? Untuk apa?”
Bus terakhir malam itu sudah sampai ditempat mereka berdiri.
“ayo naik,” Laki-laki tinggi berkulit putih itu tidak menjawab ia tetap tersenyum membuat kesal Marsha.
Mereka duduk terpisah. Marsha berada tempat duduk yang dekat jendela disebelah kiri badan Bus sedangkan Farhan di seberangnya. Awalnya Farhan ingin duduk disamping Marsha tapi Marsha meletakkan tas hitam dan tentengannya di kursi sebelahnya. Farhan mau tidak mau memilih kursi lain. Malam itu tidak terlalu banyak penumpang.
“Untuk apa menjemputku, aku bukan anak kecil lagi”
“kamu tidak ingat cerita semalam, bahaya pulang malam sendirian”
Marsha hanya diam. Ia juga berpikir demikian.
“Apa Ayah yang menyuruhmu?”
“bukan, ini inisiatifku sendiri”
Marsha terkejut. Ia menoleh ke arah Farhan, tidak percaya. Farhan juga menoleh ke arah perempuan berkerudung cokelat. Mata mereka sempat beradu pandang. Farhan memberikan senyum termanisnya,Marsha langsung memalingkan wajahnya ke jendela. Malam itu mereka tidak terlalu banyak bercakap.
Mereka tidak lewat gang kecil yang sempit dan gelap itu. mereka memilih jalan yang lebih ramai dan terang walau jalan itu cukup jauh untuk bisa sampai daripada gang itu.
Ditengah perjalanan,Farhan berecerita tentang aktivitasnya mengajar taekwondo, sesekali ia bernostalgia seperti taman yang sedang mereka lewati, taman yang waktu kecil sering menjadi tempat main mereka. Ada lagi parit besar, kejadian yang menimpa Marsha waktu jatuh dari sepeda dan Farhan datang menolongnya.
“kamu masih ingatkan?” Tanya Farhan penasaran sambil melihat ekspresi Marsha.
Marsha cuman mengangguk.
Farhan merasa sedikit sedih. Marsha seperti tidak beselera mendengarnya bercerita. Ia pun diam dan terus berjalan. Beberapa detik kemudian.
“Dan itu..” Marsha menghentikan langkahnya. Farhan ikut terhenti dan melihat arah yang Marsha tunjuk. “Tempat kesukaanmu kan?” Farhan tersenyum, Marsha ternyata masih ingat “itu tempat favorit kamu kalau main petak umpet” mereka berdua tertawa mengenang masa kecil mereka.
            “Loe, kemana aja sih, kita semua udah selesai makan baru nongol”
            “sorry guys, gue tadi ada urusan penting”
            “menjemput wanita sholehah itu ya” salah satu dari mereka yang melihat Farhan dan Marsha masuk dari restoran tadi bersuara.
            Farhan mengangguk. “Dia putri pemilik restaurant ini”

            “Oh Tuan Putri” Teman-teman mengangguk paham dan tersenyum jahil memandang Farhan. Lelaki berkulit putih dan berlesung pipi itu mengerutkan dahinya.

***
Bersambung Part V ~ Terbit Senin/Kamis


Senin, 19 September 2016

Marsha- Part III

Embun pagi yang masih terasa bau basahnya. Sinar matahari pagi yang terasa hangat menyapa. Farhan membuka pintu kamar perlahan menghirup udara pagi yang menyejukkan itu.
“sipp... kita siap berangkat” Farhan merapikan pakaiannya dan menata dirinya dikaca. Mengacak-acak rambutnya yang masih sedikit basah. Ia tersenyum manis, dua lesung pipi kiri dan kanan menambah pesonanya. Tak hanya tampan tapi juga manis.
Nadine sudah sibuk di dapur. Dengan pakaian putih abu-abunya ia membawa nampan berisi dua porsi nasi goreng dan air putih. Ia menaruh nampan itu di meja yang sedari tadi sudah ada Marsha yang sibuk mengetik laptopnya.
“ini sarapan buat kakak” ia menyodorkan piring yang berisi nasi goreng itu. “ dan ini air mineralnya”
Marsha langsung menutup laptopnya dan memasukannya ke dalam tas hitam favoritenya. “mana susu coklatnya?”
“owh.. iya lupa,sebentar” nadine langsung berlari menuju dapur.
“waaah.... nasi goreng” Farhan yang baru turun dari kamar yang di lantai 3 yang memang dikhususkan untuk tamu yang datang menginap di rumah keluarga Pak Broto, Ayah Marsha. Farhan langsung duduk dihadapan Marsha.
“kamu masih disini?” tanya Marsha dingin.
Farhan merasa tidak senang mendengar pertanyaan Marsha, apa dia masih marah soal semalam?.
“kak Farhan libur kerja selama hampir 3 minggu, dan sambil mengisi liburan beliau mengajar di tempat pelatihan taekwondo di kompleks rumah kita ini” jawab nadine yang sudah membawa 2 susu coklat dan menaruhnya di meja. “ ini susu coklat buat kakak, oya kak Farhan mau minum apa?” tanya nadine ramah.
“air putih hangat aja” jawab Farhan seadanya.
Farhan berdiri dari tempat duduk itu. Ia merasa harus jaga jarak dengan Marsha, ia akan menunggu wanita berkerudung coklat itu reda dari marahnya.
“maaf...” Farhan yang sudah akan berjalan menuju meja lain terhenti mendengar kata dari Marsha itu. “aku bersikap dingin padamu..aku..”
“aku mengerti, seharusnya aku yang minta maaf atas kejadian semalam”
“aku sudah tahu semuanya, kamu menjemputku dan sudah menolongku dari orang yang mencurigakan, nadine yang cerita” Marsha masih dengan wajahnya yang menunduk, ia belum berani melihat Farhan.
“kalau begitu, apa aku boleh duduk disini?”
Marsha mendongakkan kepalanya. Ia melihat senyum Farhan yang di temani lesung pipi kiri dan kanannya.
Marsha tiba-tiba flasback. Ia teringat waktu kecil dulu saat ia baru belajar mengendarai sepeda. Ia terjatuh dan kakinya terluka. Seorang anak laki-laki mendekatinya dan mengangkat sepeda Marsha yang menghimpit badannya yang masih mungil itu. Tangan dan lutunya lecet. Ia meringis kesakitan.
“sini tanganmu, aku bantu berdiri” anak lelaki itu tersenyum manis. Marsha kecil langsung terfokus pada lesung pipinya.
“Marsha” Farhan melambaikan tangannya ke wajah wanita berkerudung coklat itu yang sedang melamun.
“astaghfirullah..” ia terkejut.
“melamun?”
Marsha hanya mengangguk.
***
“apa kamu akan pergi?”
“iya, aku harus pergi”
“kenapa?apa kamu tidak mau teman denganku lagi?”
“bukan begitu sha, aku masih mau temanan denganmu, kita masih bisa telponan, sekarang kan sudah ada telpon”
Marsha kecil hanya menunduk kecewa.
“sha, kita akan jadi teman selamanya jadi jangan sedih”
“kamu janji?”
 “iya aku janji, oya ini buat kamu” Farhan kecil menyodorkan sebuah mainan kunci. Marsha kecil sangat senang, matanya berbinar. Ia menghapus air matanya.
“ini lucu sekali, makasih han, tapi...aku tidak punya apa-apa buat kamu”
“kalau begitu ikat rambutmu” Farhan kecil menunjuk ikat rambut bunga berwarna pink yang dipakai Marsha.
“tapi... nanti rambutku...” Marsha ragu ingin memberinya.
“ya sudah kalau begitu” Farhan kecil kecewa ia pun berbalik. Mamanya dari tadi terus memanggilnya untuk kembali ke rumah, sejam lagi mereka harus berangkat.
“Farhan, ini” Marhsa kecil menyodorkan ikat rambut pink itu. Rambutnya yang awal kuncir dua sekarang salah satu rambutnya lepas. “aku punya dua, jadi satu untukmu, satu untukku”
Mainan kunci itu kini ia pegang. Ia cermati dengan baik sambil mengenang masa itu. Mainan kunci itu sudah terlihat kucel, tapi Marsha masih menyimpannya sampai sekarang.
“lagi ngeliatin apa sih? Dari tadi senyam-senyum sendiri, apa barang online bagus ya?” tanya siti rekan kerjanya yang suka kepo dan hobi belanja.
“apaan sih, pikiran loe olshop mulu” Marsha buru-buru menyimpan benda kecil itu di tempat yang paling terpencil di bagian tasnya. Hanya dia yang tahu dimana tempat itu.
“heumm..kirain.” siti mendengus.
“hari ini apa kita lembur lagi?”
“Bapak bilang ini harus segera di laporkan lusa, jadi mau tidak mau ya harus lembur”
“huffttt....” Marsha menyandarkan dirinya ke kursi panasnya. “pulang malam lagi ya?” gumam wanita berkerudung coklat itu.
***
Seorang lelaki berjalan sedikit lesu. Hari ini tenaganya terkuras habis. Ia berjalan di lorong menuju ruang ganti. Ia membuka loker dan mengambil baju gantinya. Dompetnya jatuh dan hampir seluruh isinya berceceran.
“waduh pakai jatuh sega---“ Farhan terpaku. Benda kecil itu ikut keluar. Benda berbentuk bunga berwarna pink. Lelaki berbadan tegap itu perlahan memungutnya. Ia teringat wajah manis dan mungil itu. Wajah yang selalu tersenyum.
“ada apa mas? Ada yang jatuh ya?” Sahab teman Farhan yang juga ikut mengajar murid-murid kompleks sekitar rumah Marsha tiba-tiba penasaran melihat sikap aneh Farhan. “sepertinya itu ikat rambut, apa punya adik mas ya?”
“owh..bukan apa-apa kok” Farhan buru-buru mengambil dan memasukkannya kembali ke dalam dompet.
Sebuah masa lalu yang tak dapat lagi diulang. Itulah yang selalu Marsha katakan dalam hatinya. Kenangan masa kecilnya bersama Farhan tak dapat diulang lagi. Jikapun ia ingin bercengkrama bersama Farhan, mengenang masa itu, hanya menambah luka Marsha, sebuah luka penyesalan, sebuah luka yang ingin kembali ke masa itu. Masa yang terlalu indah untuk dikenang. Kini mereka sudah dewasa tidak bisa sekakrab dulu. Sikap dan perasaan Marsha sudah berubah pada Farhan, walau Farhan terlihat masih seperti dulu, tetap ceria, suka tersenyum memamerkan lesung pipinya. Namun bagi Marsha Farhan sudah berubah.
“jelas berubah dong, ini kan waktu dia kecil dulu sekarang sudah dewasa, gimana sih loe” Marsha tersadar dari lamunannya. Ia melihat siti rekan kerjanya.
“loe gimana sih aneh banget...gue kan udah bilang itu dia orangnya..coba----“

Marsha menarik nafas lega. Siti ternyata sedang berbicara dengan seseorang lewat telpon. Ia mengira siti mendengar isi hatinya. Ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

***

Bersambung Part IV ~ Terbit Senin/Kamis