“Marshaaaaa…” teriakan mama dari dapur memecah ruangan
“ada Farhan”
“iya
maaa…” Marsha kecil berlari dengan semangat.
Hari
itu Marsha kecil dan Farhan kecil janjian untuk bermain sepeda bersama. Farhan
janji mengajarkan Marsha kecil agar bisa bermain sepeda mengingat M
arsha yang
beberapa waktu lalu jatuh belum bisa menyeimbangkan sepeda dengan baik.
“kamu
pegang yang kuat ya Farhan, jangan dilepas lhoo” cemas Marsha sambil terus
menggayuh sepedanya.
“iya..iya..kamu
terus kedepan matanya, focus, jangan lirik-lirik ke belakang terus”
“iyaa….”
Setelah mengucapkan hal itu Marsha jatuh karena ada batu “aarrrggh..”
Bruk!
Untuk kesekian kali Marsha terluka lagi.
“sudah
ku bilangkan, focus sama jalanan…” Marsha yang cemberut sambil meringis
kesakitan.
Farhan
mengambil kotak p3k didalam tas yang terus ia sandang.
“Kamu
sudah nyiapin ini semua?”
“Ini
untuk darurat, lagipula kejadian ini kemungkinan terjadi”
Marsha
berdecak kagum. Farhan terlihat seperti Ayahnya. Sangat cekatan mengobati
lukanya.
“sudah
siap, sekarang kita mau lanjut lagi atau tidak?”
“Lanjuuuttt…..”
Seiring
waktu berlalu. Marsha sudah mulai lancar mengendarai sepeda, kini Farhan tak
perlu memegangi sepeda Marsha. Mereka bahkan sudah bersepeda masing-masing.
Mengelilingi komplek rumah mereka yang masih sepi penduduk. Hingga suatu hari
segerombolan anak-anak yang 3 tahun lebih besar dari usia mereka berdua
menghadang jalan mereka. Sepeda mereka ditahan dan mereka diminta turun.
“Wooii…
mana uang lu” Salah seorang dari mereka yang berbadan besar menarik kerah baju
Farhan kecil.
“Uang?
Saya gak punya uang” jawab Farhan tanpa gentar. Ia justru terus melirik ke arah
Marsha. Marsha terus dijahili oleh dua orang yang menarik-narik rambutnya.
Gadis kecil berambut gaya loli itu menangis tertahan. Farhan tidak senang
melihat itu.
“woii..
bocah jangan bohong lu” anak itu memeriksa saku Farhan. Nihil tidak ada isinya.
“Apaan niiih… woi Genta, lho bilang ni anak orang kaya, mana buktinya, miskin
gini” ia menghempas Farhan ke tanah.
“Farhaann…”
Teriakan kuat Marsha membuat segerombolan anak badung itu terkaget-kaget.
Beberapa warga yang lewat mulai mendekat melihat apa yang terjadi. Segerombolan
anak badung kabur. Farhan terus menatap Marsha tanpa berkedip sedikitpun. Ia
mematung. Marsha terus saja menangis mengkhawatirkan Farhan.
“Apa
kau baik-baik saja? Apa kau terluka? Hikss..hiks…hikss”
Farhan
kecil malah tersenyum. Ia membelai lembut rambut panjang teman kecilnya itu.
“Aku
baik-baik saja, kenapa kau terus menangis”
***
“Memang
dasarnya perempuan itu suka menangis” komentar Ayah menimpali pertanyaan Nadine
yang terhern-heran melihat peran utama yang sangat melankolis.
“Bukanlah,
perempuan itu memiliki perasaan yang sangat sensitif, ditambah lagi ketika
orang yang dia sayang menderita, wuiih sedihnya bahkan bisa melebihi orang
terluka itu” jelas Mama yang tak mau kalah.
Marsha
yang baru saja pulang dari kantor melihat kedua orang tuanya dan adik bungsunya
menonton drama korea yang sedang booming di tv. Ia hanya menggeleng-geleng
melihat dan berlalu pergi menuju kamarnya yang dilantai atas.
“Kak
sha, udah pulang kok gak nyapa siih?” Sapa Nadine yang melihat kakaknya berlalu
tanpa basa-basi.
“Kakakmu
takut ganggu kamu nonton drama korea, untung aja kakak mu lewat gitu aja,
biasanya? Bakal dimati-in” Mama malah menimpali pertnyaan anak bungsunya..
“Mama….”
“Nadine,
cepat bantu Ayah” Pak Broto sudah mulai bekerja di dapur. Kali ini sengaja menganggu
anak bungsunya yang tengah asyik menonton serial favoritenya.
“Ayaahh….
Sebentar lagii… Ayah sengaja ni…”
Marsha
menghempaskan tubuhnya dikasur. Ia memandang langit-langit kamarnya yang
berwarna biru muda. Ia ikut memikirkan pertanyaan adiknya tadi. Pertanyaan itu
mengingatkan sebuah kenangan lama.
“Aku
baik-baik saja..kenapa kau terus menangis? Perempuan itu memang dasar penangis”
Marsha
kecil yang daritadi mencemaskan diri Farhan dan menagis kini terdiam dan raut
mukanya berubah kesal. Ia memukul Farhan sampai kesakitan.
“Kenapa
kamu tiba-tiba memukulku,hey”
Marsha
berdiri dan mengambil sepedanya lalu mengayuhnya meninggalkan Farhan yang masih
terbengong-bengong.
Gadis
bermata belok dengan bulu mata yang panjang itu tiba-tiba menangis dalam diam.
Lagi-lagi ia masih memikirkan masa lalu. Bukankah ia yang memutuskan untuk
melupakan lalu kenapa begini. Ia menghapus air mata yang terlanjur membasahi
pipinya.
“Apa
memang dasar perempuan itu penangis” batinnya.
“Kakak
jangan lupa makan malam” Teriak Nadine dari lantai bawah.
Ia
pun bergegas ke kamar mandi dan persiapan shalat.
***
Farhan
membereskan barang-barangnya di hotel. Seminggu lagi ia harus terbang ke Turki
untuk proyek berikutnya. Ini adalah proyek pertamanya berada di negeri Eropa, sedikit
lebih jauh dari sebelumnya.
“Iya,
Ma, minggu depan Farhan pergi...Mama sama papa gak perlu repot-repot
nganterin…baiklah” Farhan menutup telponnya dengan perasaan gelisah. Ia tahu
walaupun ia sudah sering ke luar negeri, tapi tempat yang akan ia datangi
sangat jauh dari kotanya, pasti orang tuanya sangat khawatir. Dia juga
merasakan khawatir, apalagi ia sudah mulai akrab kembali dengan Marsha. Ada
rasa bahagia yang muncul dari sudut hatinya.
Tiba-tiba
ia ingin menelpon Marsha. Menurutnya bincang-bincang kala itu sudah menunjukkan
bahwa gadis itu sudah tidak dingin lagi padanya.
Ia
meraih ponselnya kembali dan mencari kontaknya. Kontak itu bernama “Marsha-ku”.
Telponnya
tersambung tapi tidak diangkat. Sudah tiga kali mencoba. Ia pun merasa sedikit
kecewa. Ia hempaskan badanya ke kursi tempat tidur. Memandang langit-langit.
“Apa
mungkin tidak usah kuberitahu, toh selama ini juga tidak pernah memberitahunya,
kenap tiba-ti---Halo” seketika Farhan mengangkat telponnya ketika Hpnya
bergetar. Ia seperti sangat menanti ‘Marsha-ku’ yang menelpon kembali.
“Farhan”
“Oh,
Kamu”
“Kenapa?
Lagi nungguin telpon dari seseorang special?”
“Bukan
siapa-siapa, ada apaan nelpon?”
Marsha menaruh smartphonenya. Ia mencoba menelpon
balik nomor yang tak dikenal itu tapi sibuk.
“Mungkin
orang iseng” piker gadis itu.
Ia
menarik selimut dan mulai membaca novel yang baru ia beli.
Farhan yang sudah selesai berbincang via telpon dengan
rekannya di Turki nanti, terpaku menatap layar ponselnya, ada panggilan tak terjawab dari orang yang dinantikan.
Ia
ingin segera menelpon kembali tapi tertahan. Ia lihat jam. Sudah pukul sepuluh
malam. Ini bukan waktu yang tepat.
“Apa
sebaiknya ku kirim pesan?”
***
Bersambung Part VI ~ Terbit Senin/Kamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar