Senin, 26 September 2016

Marsha- Part V

“Marshaaaaa…” teriakan mama dari dapur memecah ruangan “ada Farhan”
            “iya maaa…” Marsha kecil berlari dengan semangat.
            Hari itu Marsha kecil dan Farhan kecil janjian untuk bermain sepeda bersama. Farhan janji mengajarkan Marsha kecil agar bisa bermain sepeda mengingat M
arsha yang beberapa waktu lalu jatuh belum bisa menyeimbangkan sepeda dengan baik.
            “kamu pegang yang kuat ya Farhan, jangan dilepas lhoo” cemas Marsha sambil terus menggayuh sepedanya.
            “iya..iya..kamu terus kedepan matanya, focus, jangan lirik-lirik ke belakang terus”
            “iyaa….” Setelah mengucapkan hal itu Marsha jatuh karena ada batu “aarrrggh..”
            Bruk! Untuk kesekian kali Marsha terluka lagi.
            “sudah ku bilangkan, focus sama jalanan…” Marsha yang cemberut sambil meringis kesakitan.
            Farhan mengambil kotak p3k didalam tas yang terus ia sandang.
            “Kamu sudah nyiapin ini semua?”
            “Ini untuk darurat, lagipula kejadian ini kemungkinan terjadi”
            Marsha berdecak kagum. Farhan terlihat seperti Ayahnya. Sangat cekatan mengobati lukanya.
            “sudah siap, sekarang kita mau lanjut lagi atau tidak?”
            “Lanjuuuttt…..”
            Seiring waktu berlalu. Marsha sudah mulai lancar mengendarai sepeda, kini Farhan tak perlu memegangi sepeda Marsha. Mereka bahkan sudah bersepeda masing-masing. Mengelilingi komplek rumah mereka yang masih sepi penduduk. Hingga suatu hari segerombolan anak-anak yang 3 tahun lebih besar dari usia mereka berdua menghadang jalan mereka. Sepeda mereka ditahan dan mereka diminta turun.
            “Wooii… mana uang lu” Salah seorang dari mereka yang berbadan besar menarik kerah baju Farhan kecil.
            “Uang? Saya gak punya uang” jawab Farhan tanpa gentar. Ia justru terus melirik ke arah Marsha. Marsha terus dijahili oleh dua orang yang menarik-narik rambutnya. Gadis kecil berambut gaya loli itu menangis tertahan. Farhan tidak senang melihat itu.
            “woii.. bocah jangan bohong lu” anak itu memeriksa saku Farhan. Nihil tidak ada isinya. “Apaan niiih… woi Genta, lho bilang ni anak orang kaya, mana buktinya, miskin gini” ia menghempas Farhan ke tanah.
            “Farhaann…” Teriakan kuat Marsha membuat segerombolan anak badung itu terkaget-kaget. Beberapa warga yang lewat mulai mendekat melihat apa yang terjadi. Segerombolan anak badung kabur. Farhan terus menatap Marsha tanpa berkedip sedikitpun. Ia mematung. Marsha terus saja menangis mengkhawatirkan Farhan.
            “Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka? Hikss..hiks…hikss”
            Farhan kecil malah tersenyum. Ia membelai lembut rambut panjang teman kecilnya itu.
            “Aku baik-baik saja, kenapa kau terus menangis”
***
            “Memang dasarnya perempuan itu suka menangis” komentar Ayah menimpali pertanyaan Nadine yang terhern-heran melihat peran utama yang sangat melankolis.
            “Bukanlah, perempuan itu memiliki perasaan yang sangat sensitif, ditambah lagi ketika orang yang dia sayang menderita, wuiih sedihnya bahkan bisa melebihi orang terluka itu” jelas Mama yang tak mau kalah.
            Marsha yang baru saja pulang dari kantor melihat kedua orang tuanya dan adik bungsunya menonton drama korea yang sedang booming di tv. Ia hanya menggeleng-geleng melihat dan berlalu pergi menuju kamarnya yang dilantai atas.
            “Kak sha, udah pulang kok gak nyapa siih?” Sapa Nadine yang melihat kakaknya berlalu tanpa basa-basi.
            “Kakakmu takut ganggu kamu nonton drama korea, untung aja kakak mu lewat gitu aja, biasanya? Bakal dimati-in” Mama malah menimpali pertnyaan anak bungsunya..
            “Mama….”
            “Nadine, cepat bantu Ayah” Pak Broto sudah mulai bekerja di dapur. Kali ini sengaja menganggu anak bungsunya yang tengah asyik menonton serial favoritenya.
            “Ayaahh…. Sebentar lagii… Ayah sengaja ni…”
            Marsha menghempaskan tubuhnya dikasur. Ia memandang langit-langit kamarnya yang berwarna biru muda. Ia ikut memikirkan pertanyaan adiknya tadi. Pertanyaan itu mengingatkan sebuah kenangan lama.
            “Aku baik-baik saja..kenapa kau terus menangis? Perempuan itu memang dasar penangis”
            Marsha kecil yang daritadi mencemaskan diri Farhan dan menagis kini terdiam dan raut mukanya berubah kesal. Ia memukul Farhan sampai kesakitan.
            “Kenapa kamu tiba-tiba memukulku,hey”
            Marsha berdiri dan mengambil sepedanya lalu mengayuhnya meninggalkan Farhan yang masih terbengong-bengong.
            Gadis bermata belok dengan bulu mata yang panjang itu tiba-tiba menangis dalam diam. Lagi-lagi ia masih memikirkan masa lalu. Bukankah ia yang memutuskan untuk melupakan lalu kenapa begini. Ia menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipinya.
            “Apa memang dasar perempuan itu penangis” batinnya.
            “Kakak jangan lupa makan malam” Teriak Nadine dari lantai bawah.
            Ia pun bergegas ke kamar mandi dan persiapan shalat.
***
            Farhan membereskan barang-barangnya di hotel. Seminggu lagi ia harus terbang ke Turki untuk proyek berikutnya. Ini adalah proyek pertamanya berada di negeri Eropa, sedikit lebih jauh dari sebelumnya.
            “Iya, Ma, minggu depan Farhan pergi...Mama sama papa gak perlu repot-repot nganterin…baiklah” Farhan menutup telponnya dengan perasaan gelisah. Ia tahu walaupun ia sudah sering ke luar negeri, tapi tempat yang akan ia datangi sangat jauh dari kotanya, pasti orang tuanya sangat khawatir. Dia juga merasakan khawatir, apalagi ia sudah mulai akrab kembali dengan Marsha. Ada rasa bahagia yang muncul dari sudut hatinya.
            Tiba-tiba ia ingin menelpon Marsha. Menurutnya bincang-bincang kala itu sudah menunjukkan bahwa gadis itu sudah tidak dingin lagi padanya.
            Ia meraih ponselnya kembali dan mencari kontaknya. Kontak itu bernama “Marsha-ku”.
            Telponnya tersambung tapi tidak diangkat. Sudah tiga kali mencoba. Ia pun merasa sedikit kecewa. Ia hempaskan badanya ke kursi tempat tidur. Memandang langit-langit.
            “Apa mungkin tidak usah kuberitahu, toh selama ini juga tidak pernah memberitahunya, kenap tiba-ti---Halo” seketika Farhan mengangkat telponnya ketika Hpnya bergetar. Ia seperti sangat menanti ‘Marsha-ku’ yang menelpon kembali.
            “Farhan”
            “Oh, Kamu”
            “Kenapa? Lagi nungguin telpon dari seseorang special?”
            “Bukan siapa-siapa, ada apaan nelpon?”
Marsha menaruh smartphonenya. Ia mencoba menelpon balik nomor yang tak dikenal itu tapi sibuk.
            “Mungkin orang iseng” piker gadis itu.
            Ia menarik selimut dan mulai membaca novel yang baru ia beli.
Farhan yang sudah selesai berbincang via telpon dengan rekannya di Turki nanti, terpaku menatap layar ponselnya, ada panggilan tak terjawab dari orang yang dinantikan.
            Ia ingin segera menelpon kembali tapi tertahan. Ia lihat jam. Sudah pukul sepuluh malam. Ini bukan waktu yang tepat.

            “Apa sebaiknya ku kirim pesan?”

***
Bersambung Part VI ~ Terbit Senin/Kamis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar