Kamis, 29 September 2016

Marsha- Part VI

            Jari-jemari yang menari diatas keyboard, mata belok dengan bulu mata yang panjang terus memindahkan pandangannya dari kertas-kertas yang tertumpuk ke monitor.
            “Pak Chandra masih nyuruh kamu lembur? Kerjaan setumpuk ini bakalan diselesaikan hari ini? gila “ komentar Siti rekan kerja sekaligus teman rempongnya Marsha. Dari tadi ia terus memperhatikan teman satunya itu bekerja keras.
            “Laporan ini harus segera diselesaikan, ini untuk proyek lusa Beliau”
            “Ha? Beliau? Aku gak salah dengar?” Marsha hanya geleng-geleng tersenyum mendengar teriakan geli teman rempongnya itu. “Cuman kamu yang sopan banget sama Pak Chan itu sampai panggil Be-be-be..”
            “Beliau”
            “Iya itu, biasa aja lagi manggilnya. Sekarang aku jadi ngerti kenapa kamu selalu yang disuruh ngerjain tugas sebanyak ini, karena kamu terlalu baik sama dia, semua karyawan rata-rata gak suka dengan Pak Chan itu”
            “He-em”
            Siti yang ingin melanjutkan silat lidahnya tiba-tiba diam terpaku, yang diomongin datang.
            “Bapak”
            “mm..Marsha, saya cuman ingatkan tugas ini harus diselesaikan hari ini dan langsung diantar ke ruangan saya, mengerti?” Pak Chandra bicara dengan Marsha tapi matanya melirik tak senang ke arah siti yang tiba-tiba jadi sibuk sendiri dengan computer. “Kamu jangan kebanyakan gossip nanti tugasmu terbengkalai, ya sudah kalau begitu saya pergi dulu”
            “Ya pak”
            Siti tetap pura-pura sibuk dan  Pak Chandra terus menatap siti tak senang.
Sudah pukul 5 lewat 30 menit. Marsha masih terus sibuk dengan tumpukan kertas dan monitornya.
            “Kamu yakin baik-baik aja?”
            “Iya aku baik-baik aja, kamu duluan aja”
            Siti menarik napas panjang. Ia tidak tega melihat temannya itu.
            “Aku tem-“
            “Pulanglah”
            Kali ini Siti mengalah.
***
            Mobil sport merah yang melaju dijalan dengan kecepatan sedang. Pengendaranya tidak sabar berada di tempat tujuannya “Restoran Pak Broto”.
            Mobil yang sudah lama-lama ia nantikan akhirnya datang juga, namun sayang minggu depan ia akan meninggalkan mobilnya yang baru datang dari Australia itu.
            “Kak Farhan, sudah lama gak main kesini” Nadine menyambut ceria.
            “Kakak ada banyak urusan dan sepertinya ini bakalan jadi kunjungan terakhir”
            “lho kenapa? Ada proyek lagi? Kakak ke luar negeri lagi?”
            Farhan mengangguk membenarkan.
            “Dimana Kak Marsha?”
            “belum pulang” jawab Nadine ketus.
            Farhan hanya tersenyum mendengar jawaban adik bungsu Marsha itu yang berubah dingin.
            Marsha pulang lama lagi? Lembur? Ini sudah jam 8 lewat.
            Ia meraih ponselnya. Dan mengetuk kontak “Marsha-ku”.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam, Marsha”
            “Farhan? Ini nomor kamu?”
            “Iya, kamu dimana sekarang?”
            “Aku masih dikantor, ada laporan yang harus diselesaikan hari ini”
            “Tapi se-“
            “Maaf Farhan, aku tutup telponnya, aku harus ke ruangan Pak Chandra dulu,bye”
            “owh baiklah” Tapi sebelum Farhan menjawab telponnya sudah putus.
            Marsha merapikan berkasnya sebelum mengetuk pintunya, ia juga merapikan pakaiannya. Saat sudah mantap akan mengetuk, tiba-tiba ada rasa keraguan muncul begitu saja tanpa sebab. Bukan karena khawatir tugas yang kerjakan salah, atau masih ada file yang belum lengkap tapi.
            “Marsha? Kenapa diluar saja ayo masuk” Tiba-tiba pintu sudah terbuka Pak Chandra sudah ada didepannya. “Ayo masuk” sekali lagi Pak Chandra memintanya masuk.
            Dengan perasaan ragu dan khawatir gadis berjilbab biru itu masuk.
            “Saya sudah menunggu dari tadi, kenapa lama sekali?” Pak Chandra mempersilahkan Marsha duduk.
            “Maafkan saya pak, tapi saya sudah berusaha untuk menyelesaikannya sesegera mungkin.”
            “Ya saya sangat menghargai kerja kerasmu” Pak Chandra mulai berdiri dan membelakangi Marsha.
            Marsha mulai merasa gelisah, ada perasaan tidak mengenakkan.
            “Maaf Pak, apa saya sudah boleh pulang sekarang? Keluarga saya sudah menelpon dan saya tidak mau mereka khawatir”
            “Boleh saja asalkan laporan ini sudah benar”
            Marsha yang sudah setengah berdiri terheran-heran dengan kalimat tersebut.
            “Tapi, Laporan itu sudah benar saya kerjakan”
            “Itu menurutmu, aah..ini tidak adil” Pak Chandra mulai mengelilingi ruangan tersebut. “saya sudah menunggu hingga sampai semalam ini dan kamu pulang begitu saja tanpa tahu apakah semua ini benar atau tidak” Pak Chandra menghamburkan kertas yang sudah seharian Marsha kerjakan.
            Raut wajah kecewa Marsha tak bisa disembunyikan.
            “Maaf Pak, apa maksud Pak Chandra melakukan hal itu-“
            “Kamu ingin pulang kan? Silahkan keluar!”
            Dengan perasaan kecewa yang tak bisa dijelaskan, mungkinkah ini perasaan ganjilnya dari tadi?. Marsha melangkah mendekati pintu ruangan, saat akan membukanya pintu itu terasa sulit dibuka.
            “Pak Chandra pin-“
            “Apa kamu kira bisa keluar dengan mudahnya di ruangan saya ?” suara Lelaki berbadan besar itu terasa sangat dekat ditelinga Marsha. Ia bahkan tak sanggup menoleh. Tangannya beku, tetap mengenggam pintu.
            “Ini sudah hampir jam 9, kenapa ia belum pulang juga, apa dia sudah menelpon tante?”
            “Belum nak, terakhir tadi habis maghrib dia bilang masih mengerjakan laporannya jadi pulang terlambat”
            Tiba-tiba Farhan merasakan hal yang ganjil.
            “Tante, Farhan jemput Marsha dulu,”
            “Mohon bantuannya nak Farhan”
            Mama Marsha kembali disibukkan melayani pelanggan yang datang, malam adalah waktu yang sangat ramai, banyak pengunjung yang datang.
            Sementara itu Marsha tengah berjuang untuk bisa keluar dari penjara itu. Ia berkali-kali berhasil menghindar dari lelaki yang ternyata bringas itu. Marsha sudah dua kali terhempas di kursi panjang itu dan lelaki itu sudah mau menirkamnya, dengan kekuatan yang tersisa dan minim ilmu bela diri gadis berjilbab biru itu berusaha mengirim pukulan dengan kaki panjangnya. Ia berusaha mencari kunci ruangan itu. terus megedor-gedor pintu dan berteriak-teriak minta tolong. Ingin sekali ia menelpon, tapi Pak Chandra yang sudah berubah menjadi buas itu menyita tasnya.
            “Kamu kira kamu bisa begitu mudahnya menjauhi saya, saya sudah lama menanti hal ini, saya sudah lama ingin bersama denganmu” lelaki bringas itu memeras erat tangan Marsha. Marsha berusaha melawan. Dengan kekuatan yang masih ada, ia mendorong binatang buas itu. lelaki itu tampak lemah, ia seperti sedang mabok. Melihat ia terjatuh dilantai dan lemah. Marsha berlari mengambil tasnya dan segera memencet tombol dial, panggilan terakhir.
            “Assalamu’alaikum Marsha, kenapa kamu baru mengangkat telponku, kamu dimana sekarang?”
            “Farhaaann….tolong aku..Farhaaaann..” hanya kata itu yang bisa ia ucapkan, dengan nafas tersengal-sengal, tangan yang menginggil “aaarrgghh…” teriakan Marsha membuat Farhan bertambah khawatir. Ia menambahkan kecepatan. Mobil sport merah melaju kencang.
            “Marshaaa…..”
            Telpon masih tetap tersambung. Sayup-sayup terdengar suara laki-laki buas itu.
            “Apa kamu kira kamu bisa menjauhi saya, hah?”
            Farhan terus berpikir keras.
            “Maaf Farhan, aku tutup telponnya, aku harus ke ruangan Pak Chandra dulu,bye”
Pak Chandra.
            “Lepaskan saya pak, Saya mohoonn……” Marsha terus menangis.
            Lelaki bringas itu terdiam. Ia melepaskan genggamannya. Ia memandang gadis berjilbab biru-yang sudah tak karuan bentuk jilbabnya, ia tiba-tiba ikut menangis.
            “Maafkan saya Marsha, saya sebenarnya tidak ingin menyakitimu, tapi saya tidak tahu harus bagaimana lagi agar kamu bisa melihat saya, saya sudah berusaha berbagai macam cara agar dekat denganmu, agar bisa bersamamu, sudah sekian tahun saya menunggu, saat saya sudah mendapatkan jabatan ini, saya pikir ini kesempatan saya, maafkan saya Marsha” ia memukul-mukul kepalanya seperti merasa bersalah “Maafkan saya Marsha, apa kau terluka, hah?”
            Marsha terdiam, ia menahan isak tangisnya. Ia menunggu waktu yang tepat untuk lari.
            “Sepertinya aku sudah berlebihan, kita bicara baik-baik, ayo berdirilah, saya akan mengajakmu ke rumah agar lebih nyaman, ayo”
            Lelaki gila. Marsha mengira ia mulai sadar, ternyata bertambah tak warasnya dia.
            “Ka-ka lau begitu, biarkan saya keluar dulu dan merapikan pakaian saya, ba-baru setelah itu kita pergi”
            “Benarkah? Kalau begitu kenapa tidak dari tadi saja begini, seharusnya saya bisa membujukmu lebih lembut, silahkan rapikan dirimu di kamar mandi”
            “Peralatan saya masih tertinggal dari ruang kerja saya , izinkan saya keluar dari sini..”
            “TIDAK!! Tidak, kamu pastikan akan kabur”
            “Kenapa kamu tidak ikut juga sekalian, kalau khawatir saya kabur”
            Lelaki bringas itu terdiam sejenak. Lalu mengangguk setuju.
            Marsha langsung bergegas merapikan tasnya. Telponnya ternyata sudah putus.
            Mereka berdua pun keluar dari ruangan yang sudah tak karuan itu.
Farhan melesat memasuki gedung itu. mobilnya ia parkir tepat didepan pintu lobby. ia meraih jaket dan keluar dari mobil.Farhan sudah berlari.
            “Maaf pak, Anda siapa?” salah seorang security menahan Farhan.
            “Saya Farhan, Marsha ada dialam dan ia sedang dalam bahaya”
        “Maaf Pak, tapi semua karyawan sudah tidak ada lagi didalam dan sudah pulang, yang ada palingan cleaning service”
            “Apa kau yakin? Kau sudah melihatnya?”
        “Mengen-“ Plak! Farhan mengelurakan jurusnya. Security itu pingsan. Farhan tidak punya banyak waktu.
            Ia terus berlari masuk ke dalam. Ia bertemu dengan cleaning service.

            “Dimana ruangan Pak Chandra?” Tanya Farhan dengan penuh emosi.

***

Bersambung Part VII ~ Terbit Senin/Kamis


Tidak ada komentar:

Posting Komentar