Setiap hari kutuliskan cerita tentangnya di buku diaryku, untaian kata dan tiap goresan lukisan tentangnya.
Kebaikannya yang selalu memberiku kekuatan. Senyum manisnya yang menjadi lukisan Tuhan yang begitu indah memberi warna dihidupku.
"Kamu menyapaku di saat aku melewati pagar rumahmu, sesibuk apapun kamu dengan motormu, kamu akan segera menyapaku. Sepertinya aku begitu menanti hal itu sampai tak sadar berhenti begitu saja menunggu sapamu."
"Kamu, hari ini pulang lambat, tiba-tiba rasa khawatirku muncul, apa kamu begitu banyak tugas di tempat kerja paruh waktumu?"
"Aku sungguh malu, apa yang ku harapkan sampai begitu kecewanya ketika kamu hanya meminta bantuanku, mungkin aku sudah begitu berlebihan atas perasaan ini hingga hilang logika"
"Kamu tahu? Aku sering menatap rumahmu di balik jendela kamarku, meski hujan membasahi jendela hingga membentuk urat di kacanya, aku sekalipun tak pernah bosan menunggu kabarmu. Aku tahu ini tidak baik, Tapi perasaanku tak bisa ku cegah"
"Sudah begitu banyak air mata jatuh, memohon ampun pada Allah, atas perasaanku ini padamu. Aku masih gelisah menantimu, kamu tak jua hadir. Alam seakan mengerti aku, ia ikut menangis. Sesekali aku mendengar keluh ibu, jemuran tak jua kering karena baru sebentar di jemur harus di bawa ke dalam rumah lagi, mungkin jika kamu segera kembali disini, aku tak akan sedih, dan hujan bisa reda bersama dengan kegelisahanku, tapi hujan bukan kuasaku, ini kuasa-Nya."
"Besok adalah hari kelulusanku, semoga kamu bisa hadir disini memberiku selamat atau sekadar duduk sebentar dalam acara syukuran, itu akan membuat hari ku semakin indah"
Semua ceritaku tentangnya, tentang perasaanku padanya, tentang kekhawatiranku padanya,tapi aku lupa mengetahui entah "Apa" aku baginya.
Akan tetapi, semua akan berlalu hanya akan menjadi masa lalu, aku harus membersihkan puing-puing perasaan yang sudah kubangun sendiri dan runtuh dengan sendirinya. Membersihkan hati atas perasaannya yang sudah lama ku ketahui bahwa ini "tak pasti" dan hanya bisa melukai.
Bisikan Pinky hari itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Godaanku Kak Syahnaz tentang 'Pangeran berkuda putih' itu juga salah, ia bukan pangeranku, ia sudah menjadi pangeran orang lain.
"Kamu benar Syarif" ucapku getir, setelah sekian jam aku terdiam di ruangan putih.
Syarif memegang tanganku yang di balut kabel infus.
"Kakak seharusnya sudah lama menghilangkannya, tidak membiarkan bibit perasaan itu tubuh liar di hati kakak. Membuatnya lebih dulu pupus, Perasaan yang tak seharusnya kakak biarkan terkembang dan sekarang dipaksa pecah."
Genggaman tangannya semakin erat, tanpa sepatah katapun darinya.
Air mataku terus basah.
"Kakak baik-baik saja Syarif, hanya saja tubuhku tak sekuat tekad, Jauh sebelum ini aku pernah merasakan hidupku akan berakhir tapi melihat kalian yang begitu menyayangiku membuatku bertahan, karena itulah ini bukanlah apa-apa" aku kembali tercekat, tangisanku memaksaku diam sejenak, menikmati irama tangis.
"Perasaan sakit ini akan segara hilang dimakan waktu"
Kata itu yang kuucapkan, namun esoknya aku lupa.
Aku terkadang masih menangis, Ayah dan Ibu mencemaskanku, mereka sudah tahu dari Kak Syahnaz tentang perasaanku pada Bang Afkar.
"Kamu tahu, nak?" Kata Ayah sambil membelai kepalaku "Kami begitu mencintaimu, rasa sakitmu menjadi sakit kami semua" demi mendengar itu aku menangis. "Tapi senyum indahmu itu sudah cukup menjadi penyemangat kami hidup, jadi setelah masalah perasaanmu berlalu teruslah tersenyum dan jangan menyesali apa yang terjadi tetapi bersyukur karena itu pernah terjadi membawa hikmah tersendiri untukmu dan juga untuk kami"
Aku mengangguk kuat.
"Jika suatu hari nanti kamu menyukai seseorang, sukalah sedekarnya, dan jika kamu tidak sanggup menyimpannya sendiri sampaikan pada orang tua ini, jika mau kita bisa menikahkanmu dengannya" demi mendengar kalimat itu aku tersenyum berurai air mata.
"Nah begitu tersenyumlah, anak Ayah cantik"
"Anak ibu juga" Ibu menimpali. Tawa pun pecah di ruangan putih itu.
***
Seminggu telah berlalu, meski puing-puing perasaan itu belum sepenuhnya bisa ku bersihkan dari hatiku, namun aku berusaha menjalani hidupku yang baru tanpa "dia" dihatiku lagi.
Satu per satu tiap barang yang menyangkut tentangnya aku singkirkan dan ku masukkan dalam kardus, termasuk bingkai photo itu saat gerimis antara Aku dan dia. Demi melihat photo itu aku terdiam lama menatap, senyum kami sama-sama terkembang di bawah rintikan hujan.
"Kamu sedang beres-beres?" Aku langsung menyeka air mata di ujung mataku.
"Iya" jawabku pendek "Kakak?"
"Ya"
"Kakak benar, aku harus jujur pada perasaanku dari awal, dan aku tahu ini terlambat" aku mengambil nafas dalam-dalam "Aku jujur suka padanya, suka dengan senyum manisnya, tapi, tapi sekarang aku harus melupakannya, aku harus menghilangkannya-"
"Tapi jangan jadi membencinya, kamu juga tidak harus memaksakan untuk melupakannya saat ini juga, perlahan saja, seiring waktu semua akan berlalu begitu saja bahkan kita mungkin bisa saja tidak ingat akan kejadian kemarin,"
"Kaka benar-" Aku terkejut Kak Syahnaz tiba-tiba memelukku. Aku membalas pelukan hangatnya, kali ini aku tidak ingin nangis lagi.
"Terima kasih kak" Ia mengangguk tanpa sepatah kata pun.
Biarkan aku membereskan puing-puing perasaan ini bersama waktu.
Hingga ceritaku tentangnya luntur bersama hujan.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar