Aku tidak tahu harus bagaimana mengungkapkan rasa kekhawatiran yang tak bisa ku terjemahkan ini. Perasaan yang terus berlarut-larut tanpa berani menegaskan per kata. Ini sudah lama terjadi.
Ketidakhadirannya bukan saja di festival, namun berlanjut berhari-hari.Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah melihanya belanja di warung nasi keluargaku, juga sosoknya yang siap-siap berangkat ke kampus.
Aku tiba-tiba merasakan kehilangan. Tak sebaiknya aku merasakan hal ini, namun aku tidak bisa membohonginya. Semakin aku berusaha menghilangkannya semakin rasa khawatir itu terus menghantuiku.
Tak bosan-bosannya aku memandang di balik jendela kamarku, memandang rumahnya yang tampak sepi. Hujan gerimis ini seakan ikut menangisi ketidakhadirannya.
"Telpon saja kalau khawatir" Saran Kak Syahnaz.
"Tadi sudah, tapi gak diangkat" Jawabku datar sambil tetap memandang rumahnya.
"Telpon rumah?"
"iya"
"Ya ampun dek, telpon ke nomor pribadinya dong, atau chat gitu"
"Enggak ah, lagian aku gak punya" wajahku terasa panas.
Kakak menepok jidatnya, ia sudah kehabisan kata memujukku untuk tenang.
Mungkin ia memang ada urusan penting sampai tidak ada kabar. Sebenarnya ada kabar yaitu tak ada kabar.
***
Hujan seakan enggan beranjak dari langit menambah rasa dingin dihatiku, ini sudah hari ke, aku bahkan sudah lupa menghitungnya.
"Besok pengumuman kelulusan, habis dari situ kita jalan-jalan yuk, trus kita bikin acara di rumahmu, barbeque gimana?" Pinky terus berusaha menghiburku yang dari tadi terus diam sambil meneruskan pekerjaanku.
"Boleh"
"Besok hari penentu kita lulus apa gak lho mila, kamu gak antusias?"
Aku diam sejenak meletakkan alatku dan mengambil nafas panjang.
"InsyaAllah aku yakin besok adalah hasil yang terbaik" jawabku sambil tersenyum, senyuman pertamaku setelah beberapa hari ini terus murung.
"Aamiin" Pinky ikut tersenyum lebar.
Besok paginya hujan sudah mulai reda, udara paginya begitu menusuk tulangku. Ibu lebih ekstra mengingatkanku untuk tidak terlalu capek, jika sudah selesai agar segera pulang. Aku mengangguk mematuhinya.
Aku mulai melangkah pergi, merapatkan jaket dan memperbaiki syal di leherku.
Acara di sekolah berjalan lancar, hasil pengumuman mengatakan kami semua lulus, begitu terpancar wajah bahagia di setiap insan yang ada disana. Teman-teman, Guru-guru yang sudah berjuang mengajar dan memberikan motivasi, dan tidak ketinggalan kepala sekolah bahkan tukang sapu di sekolah kami pun ikut terharu, akhirnya yang biasanya menggoyangkan pohon agar daun berserakan lulus juga, berkuranglah beban kerjanya.
"Alhamdulillah kita lulus, dan siap-siap jadi anak kuliahan, yeeaayy" Pinky begitu ceria menikmati perjalanan pulang. Hari ini kami akan mengadakan syukuran kecil-kecilan, pinky lebih memilih ke rumahku daripada pulang ke rumahnya, dia hanya ditemani pembantu karena kedua orang tuanya ke luar kota.
"Oia , kamu jadi mendaftar bea siswa ke Jepang mila?"
"Sudah, hasilnya nanti dikabarkan, mudah-mudahan positif"
"Aamiin"
Kami terus melangkah pulang meninggalkan hiruk pikuk kegembiraan siswa-siswi yang lulus, kami tidak ikut mencore-coret baju. Kasihan, itu hasil jerih payah orang tua membelikannya, dan dcoret begitu saja, lebih baik disumbangkan karena masih ada orang yang belum mempunyai seragam sehingga malu untuk pergi sekolah.
Sejenak kekhawatiranku beberapa hari yang lalu sirna, walau hari ini masih mendung namun bukan berarti hujan.
Beberapa langkah lagi kami sampai di pagar rumahku, aku melihat ibu yang sedang melayani pelanggan dan tiba-tiba tersenyum bahagia menyambut seseorang.
"Siapa tu mila? kayaknya-"
"Bang Afkar?"
Ia menoleh padaku, aku tidak bisa menahan wajah kagetku.
"Syarmila" Bang Afkar tersenyum padaku, tapi kali ini senyumnya berbeda. Gurat wajahnya terlihat lelah.
Ibu menegurku yang tidak beri salam ketika pulang. Aku hampir lupa akan hal itu karena sosok yang ada dihadapanku saat ini.
Aku ingin sekali bertanya kemana saja ia selama ini, apa yang terjadi padanya? Wajahnya tak bersinar seperti biasanya.
Mendung kali ini sepertinya juga ingin tahu.
*Bersambung
Ep9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar