Udara
pagi hari selalu memberi kesejukan dihati ini. Meski pagi hari aku tidak boleh
terlambat untuk sarapan. Segelas susu coklat dan mineral serta sarpan pagi dan
cemilan wajib harus segera kukunyah. Tubuhku tak sekuat tekadku. Menderita
gagal jantung 6 tahun yang lalu, serasa duniaku akan segera berakhir. Demi
biaya berobatku, seluruh keluargaku bekerja ekstra, Kak syahnaz yang baru saja
wisuda segera mencari kerjaan dan setelah itu seluruh gaji dari hasil proyeknya
dihabiskan untuk biaya operasiku.
“Kamu
jangan kalah semangat sembuh dari kami ini ya, kamu harus kuat” Ucap kakak
sambil mengenggam erat tanganku sebelum perawat membawaku ke ruang operasi.
Perjuangan
hidupku terbesar mungkin adalah saat itu, Antara hdup dan mati.
Namun
untuk kali ini, jantungku masih saja berdetak cepat. Melihat sosok yang begitu
menyilaukan mata.
Aku
dulunya tidak begitu mengenalnya meski sudah bertahun-tahun menjadi
tetangganya. Hingga suatu hari., ketika aku terjatuh pingsan dalam perjalanan
pulang sekolah, dia lah yang menolongku.
Menyadari
kebaikannya dan senyumnya yang manis, membuat jantungku berdetak lebih cepat.
“Gambarmu
bagus,” Pujinya ketika menyapaku yang sedang mengambar pemandangan di bukit
dekat rumah Pak RT. Tempat itu cukup ramai dan biasa dikunjungi turis yang
sedang berwisata. Dari bukit itu bisa melihat pemandangan hijau dan rumah petak
yang bersusun rapi.
“Terimakasih,
Bang” Ucapku setengah tidak percaya,satu untuk kebaikan hatinya menghargai
gambarku, dua untuk sapanya padaku.
Dia
salah satu orang yang membuat semangat menggambarku semakin menggebu selain
pinky.
***
Aku
sudah selesai berkutat dengan poster ini. Aku merasa sudah cukup lama
mengerjakannya padahal ini bisa dikerjakan dalam waktu singkat, mau bagaimana
lagi, aku tidak boleh terlalu memporsir.
Aku
berlari menuju ke lantai bawah, ini sudah jam ia datang ke warung biasanya.
Sesampai
dibawah aku perlambat langkahku, mengintip apakah ia sudah datang atau belum.
Tapi warung ibu masih sepi, apa karena hari ini gerimis ya?.
“Bang
Afkar sudah kesini belum buk?” Aku memberanikan diri bertanya pada ibu. Ini
kali keduanya aku tidak seperti biasanya, sebelumnya syarif bilang ‘tumben’.
“Sudah,
baru aja. Kenapa?” Ibu mejawab sambil menyiapkan pesanan orang yang baru saja
datang.
Aku
merasa sedikit kecewa atas keterlambatanku.
“Kamu
nyari dia? Langsung ke rumahnya aja, tadi dia juga nanya-in kamu,”
“Ibu
serius?” Aku kaget bukan kepalang. Bang Afkar menyariku?. Tidak-tidak, jangan
berlebihan tentu saja menyariku untuk menanyakan tentang posternya.
“Kalau
gitu Mila ke rumah bang Afkar bentar ya bu, mau kasih ini” Aku menunjukkan
gulungan poster itu pada ibu. Ibu hanya mengangguk cepat.
“Jangn
lupa pakai payung, gerimis”
“Ya
bu”
Aku
bergegas mengambil payung. Tidak ingin terlambar kali ini, bisa –bisa si
pemilik senyum manis segera pergi ke kampus.
Benar
dugaanku, dia sudah mengeluarkan motornya. Dan sudah didepan pagar siap
meng-gas motor dan pergi.
“Assalamu’alaikum
bang” Aku berlari mendekatinya dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Wa’alaikumsalam
Syarmila”
“Maaf
Mila terlambat kasih posternya, ini” aku menjulurkan gulungan poster.
Dia
menerima gulungan posterku dengan senyum manisnya. Aku melihat bajunya yang
sedikit basah karena rintik hujan. Aku refleks memayunginya. Dia terlihat
sangat kaget.
“Tidak
apa Syarmila, lebih baik untuk kamu aja, kamu nanti bisa basah” Ia mendorong
payungnya ke arahku.
Bukan
hanya dia yang kaget, bahkan aku sendiri juga tidak menyangka berbuat begitu.
“Oia,
ini kartu special VIP ,khusus untuk 5 orang yang mendapatkan ini, hitung-hitung
sebagai imbalan sudah mau membantu
buatkan poster. Kamu bisa gunakan kartu ini ke semua stand yang ada di
festival, gratis. Tapi ini khusus untuk makanan saja ya” Terangnya.
“Ya
kak, Terimakasih banyak” Aku sangat senang mendapatkan kartu special.
“Sama-sama
Syarmila, Abang justru minta maaf karena sudah buat kamu hujan-hujan kesini-“
“Tidak
kok bang, tidak masalah, Mila senang kok”
Gerimis
kali ini sungguh syahdu. Setiap rintikannya mengabarkan kebahagiaan. Jika aku
bisa memotretnya, aku ingin menyimpan dalam sebuah bingkai foto. Namun aku
teringat akan perkataan Syarif adikku, perempuan harus menjaga dirinya.
Aku
pamit pulang, Bang Afkar pun juga sudah harus berangkat ke kampus. Sebelum
pergi ia mengingatkanku untu datang ke acara festival kampusnya. Aku
mengangguk.
“InsyaAllah
Mila datang, boleh ajak teman Bang?”
“Tentu
aja boleh, lebih ramai lebih seru”
Pagi
hari yang ditemani gerimis itu, aku menatap punggunya yang semakin kecil dikejauhan
hingga hilang dikelokkan. Berpayung dalam gerimis sambil menatap kartu special VIP
digenggaman.
***
Aku
sedang mencari referensi untuk komikku, tinggal 3 hari lagi tapi aku masih
belum mengerjakan hal inti, jika tidak dikerjakan segera bisa-bisa lewat
deadline yang ditentukan.
“Kamu
sibuk banget dek?”
“Iya
kejar deadline”
“Pantesan
kusut gitu”
Aku
sedang tidak berselera digoda olehnya.
“Ini
kakak kasih penyemangat” Kakak melemparkan selembar foto dihadapanku. Aku mau
tidak mau harus meilhatnya karena menghalangi catatan komikku. Aku mengambil
dan berniat untuk membuanganya, namun ketika melihat sekilas, aku urung
membuangnya dan mengamati foto itu lebih teliti lagi.
“Kakak?”
Aku menatap tidak percaya pada kakak “Kapan kakak mengambilnya?”
“Saat
hujan gerimis” Ucapnya jahil.
Itu
adalah sebuah foto antara Aku dan Bang Afkar di saat memberikan gulungan poster
dan kartu spesial ditengah hujan gerimis.
Aku
benar-benar malu. Aku simpan foto itu kedalam laci segera dan menguncinya
rapat-rapat.
Hari
ini aku tidak bisa menjamin bisa menyelesaikan komikku.
Bersambung..
Ep7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar